Pembiayaan Energi Hijau: Tren Elit atau Arah Masa Depan

Pembiayaan Energi Hijau: Tren Elit atau Arah Masa Depan

Oleh Wilson Arafat, GRC & ESG Specialist

INDONESIA sedang berada di titik kritis dalam perjalanan transisi energi. Selama puluhan tahun, pembangunan ekonomi bergantung pada energi fosil yang kian menipis dan mencemari lingkungan. Kini, tekanan global untuk dekarbonisasi dan akselerasi energi terbarukan mendorong negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk mengambil langkah strategis: bertahan dengan pendekatan lama, atau bertransformasi menuju pemimpin ekonomi hijau. Pilihannya akan menentukan posisi Indonesia dalam peta ekonomi dunia ke depan.

Namun, satu pertanyaan besar menggantung: apakah pembiayaan energi hijau hari ini benar-benar mencerminkan arah masa depan yang inklusif, atau justru sekadar menjadi tren elit?

Energi Hijau: Potensi Besar, Realisasi Tertahan

Energi hijau bukan sekadar alternatif, melainkan kebutuhan mendesak bagi masa depan bangsa dan bumi. Indonesia memiliki potensi energi terbarukan terbesar di Asia Tenggara. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat kapasitas panas bumi Indonesia mencapai sekitar 23 gigawatt (GW), tertinggi kedua dunia setelah USA.

Namun, potensi ini belum terkonversi menjadi pencapaian signifikan. Pada 2024, realisasi bauran energi baru terbarukan nasional baru sekitar 13,9 persen, jauh dari target 23 persen di tahun 2025. Salah satu penyebab utama adalah minimnya pembiayaan yang terjangkau, berkelanjutan, dan berpihak pada inklusivitas.

Mengelola potensi ini bukan sekadar menjaga ketahanan energi, melainkan membuka peluang ekonomi hijau yang inklusif. Energi bersih mengurangi ketergantungan impor bahan bakar fosil, membuka lapangan kerja baru, dan memperkuat posisi Indonesia dalam upaya global menurunkan emisi karbon. Namun, mewujudkan potensi besar ini membutuhkan investasi masif, teknologi canggih, dan tata kelola yang adaptif. Di sinilah perbankan nasional berperan vital, bukan hanya sebagai pemberi pembiayaan, melainkan penggerak ekosistem pendanaan hijau.

Baca juga: CPI Beberkan PR Besar Genjot Pembiayaan EBT di Indonesia

Peran Sentral Perbankan Nasional

Sebagai ujung tombak pembiayaan pembangunan, perbankan nasional memainkan peran strategis dalam mendorong transformasi energi hijau yang memerlukan investasi besar dan upaya mitigasi risiko tinggi. Dalam beberapa tahun terakhir, bank-bank di Indonesia menunjukkan komitmen nyata dengan menyediakan dukungan finansial bagi proyek energi bersih. Melalui produk seperti kredit hijau dan obligasi hijau, serta layanan konsultasi ESG, perbankan menjadi mitra penting dalam mewujudkan masa depan energi ramah lingkungan.

Kolaborasi erat antara pemerintah, sektor swasta, dan perbankan menciptakan ekosistem pendanaan yang kokoh dan berkelanjutan. Perbankan nasional tidak sekadar menyalurkan dana, tetapi aktif mendorong percepatan energi hijau dengan memberikan pembiayaan kompetitif untuk proyek terbarukan seperti pembangkit tenaga surya, panas bumi, dan kendaraan listrik yang membutuhkan investasi jangka panjang.

Selain itu, perbankan mendorong implementasi praktik ESG dengan menetapkan persyaratan pinjaman yang mengikat keberlanjutan dan efisiensi energi. Hal ini memotivasi perusahaan menjalankan operasi yang ramah lingkungan dan bertanggung jawab sosial.

Perbankan nasional juga mengelola risiko pembiayaan dengan sistem evaluasi canggih dan transparan. Pendekatan ini membuat proyek energi hijau, yang sebelumnya dianggap berisiko tinggi, kini menarik minat investor domestik dan asing, membuka peluang pendanaan lebih luas.

Peran perbankan pun meluas ke aspek edukasi, membangun literasi keuangan hijau melalui pelatihan kepada pelaku usaha dan masyarakat luas. Upaya ini memperkuat komitmen kolektif menjalankan ekonomi rendah karbon dan mendukung pertumbuhan berkelanjutan. Dengan demikian, perbankan bukan hanya mendukung transformasi energi hijau secara finansial, tetapi juga berkontribusi pada stabilitas ekonomi dan penciptaan lapangan kerja berkelanjutan.

Menjadi Pemain Global

Keunggulan Indonesia dalam energi hijau, dari cadangan nikel terbesar dunia yang esensial untuk baterai kendaraan listrik hingga potensi energi tenaga surya, angin, dan panas bumi yang melimpah, menjadi modal strategis untuk menjadi pemain global dalam transisi energi bersih.

Namun tanpa pembiayaan tepat dan strategi keuangan terstruktur, potensi ini hanya akan jadi simbol. Di sinilah perbankan nasional menjadi jembatan antara visi pemerintah dan implementasi nyata di lapangan. Dengan pembiayaan tepat sasaran, perbankan menjembatani kebutuhan investasi dan pengelolaan risiko proyek energi hijau.

Kebijakan insentif fiskal, regulasi yang mendukung, kemudahan perizinan, dan tarif listrik kompetitif perlu diiringi inovasi produk keuangan hijau dari bank. Sejumlah bank besar telah meluncurkan produk kredit hijau dengan bunga kompetitif dan bermitra dengan lembaga internasional guna mengakses dana hijau global. Ini menunjukkan bagaimana perbankan bukan hanya penyedia modal, tapi katalis adopsi energi bersih dan teknologi ramah lingkungan.

Baca juga: BI Kucurkan Insentif KLM Rp33,7 Triliun untuk Dukung Pembiayaan Hijau

Dari Tren Elit Menuju Arah Strategis Bangsa

Tren energi hijau hanya akan menjadi kosmetik, jika pembiayaannya tidak menyentuh akar persoalan: inklusi, akses, dan keberanian mengambil risiko. Indonesia tidak kekurangan potensi atau sumber daya. Hal yang dibutuhkan adalah keberpihakan kebijakan dan inovasi keuangan yang membuka jalan bagi pelaku kecil dan daerah tertinggal ikut dalam transformasi ini.

Jika skema pembiayaan hijau hanya dinikmati oleh korporasi besar dan proyek megawatt, maka transisi ini tak ubahnya proyek elite, bukan gerakan nasional. Inilah saatnya perbankan nasional, bersama regulator dan pemerintah, mengubah paradigma. Masa depan energi bukan hanya soal pasokan listrik, tetapi tentang siapa yang memegang akses, siapa yang menggerakkan dana, dan siapa yang menentukan arah perubahan. (*)

Related Posts

News Update

Netizen +62