Surabaya – Kebijakan Giro Wajib Minimum Averaging (GWM Rata-Rata) yang akan diterapkan pada Semester II 2017 mendatang oleh Bank Indonesia (BI), dinilai bakal memberikan kemudahan bagi perbankan untuk mengelola likuiditasnya.
Demikian pernyataan tersebut seperti disampaikan oleh Ekonom dari Bank Permata Josua Pardede, di Surabaya, Kamis, 24 November 2016. Lewat GWM Averaging, kewajiban bank dalam menaruh simpanan di giro BI akan dihitung secara rata-rata per periode.
“Kebijakan GWM Averaging ini, jadi lebih kepada BI untuk memberikan fleksibilitas untuk perbankan dalam mengelola likuiditasnya. Tapi kita lihat, sebenernya dampaknya ke likuditas agak netral,” ujarnya.
Dia menilai, di tengah mengetatnya likuiditas perbankan, kebijakan GWM Averaging yang ditempuh BI ini diharapkan akan mendorong perbaikan likuiditas pada perbankan nasional, yang juga sejalan dengan keberhasilan program tax amnesty (pengampunan pajak) di periode pertama tahun ini.
“Ke depannya kita harapkan likuditas semakin membaik ditambah dengan adanya tax amnesty, dan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, meskipun tantangan likuiditas semakin meningkat,” ucapnya.
Menurutnya, penerapan GWM Averaging ini juga merupakan bentuk antisipasi BI terkait dengan adanya rencana Bank Sentral AS untuk menaikkan suku bunganya. “Dengan arah kebijakan suku bunga AS yang diperkirakan cukup agresif, ini antisipasi dari BI untuk memberikan fleksibilitas buat perbankan mengelola likuiditasnya.
Saat ini, ketika GWM Averaging belum berlaku, BI menghitung dana milik bank yang disimpan di giro BI setiap waktu, bukan per periode. Setelah pemberlakuan GWM Averaging kewajiban bank dalam menaruh simpanan di giro BI akan dihitung secara rata-rata per periode
Misalkan, saat ini rasio GWM-Primer atau yang diartikan sebagai simpanan minimum bank dalam rupiah atau valas di BI sebesar 6,5%. Maka, setiap waktu bank harus menaruh 6,5% dari total Dana Pihak Ketiga bank di giro BI.
Sementara jangka waktu periode GWM Averaging tersebut yakni dua minggu rata-rata. BI memperkirakan dengan likuiditas yang lebih baik pada 2017, dan pemulihan kondisi ekonomi, pertumbuhan kredit bank dapat tumbuh 10-12%, sementara DPK bank berkisar 9-11%.
Senada dengan Josua, di tempat terpisah Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, kebijakan GWM Averaging ini akan memberikan ketenangan perbankan dalam mengelola likuiditas yang selalu naik turun setiap waktu.
“Itu bagus, karena kan memang kita selama ini managing short-term liquiditynya harus ngepasin supaya pas. Dengan GWM Averaging kan kita bisa menjaga supaya kita nggak harus top up,” paparnya.
Sementara itu, Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja menuturkan, ke depan kebijakan ini memang diperlukan guna menjaga likuditas di pasar dan mengantisipasi berbagai kemungkinan pengetatan likuiditas. “Ke depan kalau proyek infrastruktur semua bekerja kan likuiditas akan lebih ketat,” tandas Jahja.
Jahja memandang, kebijakan ini juga akan memberikan efisiensi bagi perbankan dalam mengelola likuiditas, pasalnya nanti ada kemungkinan bank bisa menarik likuiditas dari cadangan (GWM) BI.
“Ya harusnya dong itu kan pake duit sendiri. Untuk bank yang likuditas ketat kita bisa pake cadangan GWM sendiri daripada dia minjam di pasar. Kalau di pasar kan bunganya lebih mahal dari itu,” ungkapnya.
Sebagai informasi, dalam Pertemuan Tahunan BI, Bank Sentral memperkenalkan kebijakan GWM Averaging kepada industri perbankan di Indonesia. Rencananya kebijakan ini akan diterapkan pada Semester II 2017. Gubernur BI Agus DW Martowardojo, mengatakan, kebijakan GWM Averaging ini merupakan best practice (praktik terbaik) yang sudah dijalankan di negara-negara maju.
Oleh sebab itu, kata Agus, Indonesia sebagai negara berkembang harus mencontoh praktik-praktik tersebut. “GWM Averaging adalah best practice di negara-negara yang sudah mapan. Untuk itu kita akan mempersiapkannya,” ucap Agus. (*)