Oleh Mudrajad Kuncoro, Guru Besar Ilmu Ekonomi, Sekolah Vokasi UGM; penulis 75 buku termasuk “Pengantar Keuangan Negara & Daerah” (2023)
PERGANTIAN Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati (SMI) dengan Purbaya Yudhi Sadewa (PYS) pada 8 September 2025 menandai perubahan mendasar dalam politik fiskal Indonesia. Arah kebijakan fiskal dan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 bergeser menuju paradigma ekspansif dan pro-pertumbuhan (pro-growth).
Dari Disiplin Fiskal ke Ekspansi & Pro-Growth
Di bawah SMI, defisit anggaran diproyeksikan 2,48 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 4,7 persen-5,0 persen. Target ini mencerminkan kehati-hatian dan stabilitas fiskal yang menjadi ciri khas SMI. Namun, setelah tongkat estafet diserahkan kepada PYS, muncul sinyal perubahan. PYS merevisi defisit menjadi 2,68 persen terhadap PDB (sekitar Rp689 triliun) dengan target pertumbuhan 6 persen.
Dalam pidato 20 Agustus 2025, Purbaya menekankan pentingnya pemerataan pembangunan: “Purbaya highlighted the importance of equitable development for social justice and recalled the economic thinking of Prabowo’s father, Sumitro Djojohadikusumo, who was an economist and minister under Indonesia’s late authoritarian ruler Suharto” (Reuters, 9/9/2025).
Sumitro Djojohadikusumo, ayahanda Presiden Prabowo Subianto, merupakan salah satu arsitek ekonomi pembangunan terkemuka Indonesia yang menekankan peran negara aktif dalam mendorong industrialisasi, pemberian kredit kepada pengusaha nasional (pribumi), dan pembangunan yang seimbang antarwilayah/sektor. Kebijakan fiskal yang cenderung “aktivis” yang diterapkan Menteri Keuangan PYS sejak pengangkatannya memunculkan pertanyaan: sejauh mana ada kesinambungan paradigma, antara Sumitro dan Purbaya?
Ada beberapa simpul pemikiran Sumitro yang beresonansi dengan kebijakan Purbaya. Pertama, peran negara sebagai aktor pembangunan aktif. Sumitro (1991) menyatakan bahwa negara memiliki peran penting dalam menginisiasi dan menyalurkan sumber daya untuk kapasitas produktif nasional. PYS menunjukkan sikap aktif negara melalui penempatan likuiditas pemerintah ke bank negara untuk mendorong penyaluran kredit ke sektor riil.
Kedua, pemberian dukungan finansial terarah. Sumitro mendukung instrumentasi keuangan (kredit, pembiayaan terarah) untuk membangun pengusaha nasional dan sektor strategis. PYS menggunakan instrumen penempatan dana publik agar bank menyalurkan kredit – terutama untuk UMKM dan sektor padat karya.
PYS menerbitkan KMK Nomor 276 Tahun 2025, yang mengatur penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun ke lima bank umum Himbara (BRI, BNI, Mandiri, BTN, dan BSI) untuk memperkuat likuiditas perbankan agar bisa menyalurkan kredit ke sektor riil.
Baca juga: Membaca Arah Purbayanomic di Tengah Jebakan Pertumbuhan 5 Persen
Dana tersebut tidak boleh digunakan oleh bank penerima untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN). Bank yang menerima harus melaporkan penggunaan dana tersebut kepada Menkeu melalui Dirjen Perbendaharaan secara bulanan, dan tenor penempatan dana awal adalah enam bulan kendati bisa diperpanjang.
Ketiga, pragmatisme kebijakan. Sumitro dikenal pragmatis: menggabungkan teori dengan konteks politik-ekonomi Indonesia. PYS juga menampilkan retorika pragmatis: menegaskan disiplin fiskal formal (tidak ingin mengubah aturan ambang defisit) sambil memanfaatkan instrumen fiskal untuk percepatan pertumbuhan (Reuters, 2025). Apa strategi PYS menutup defisit anggaran yang dipatok 2,68 persen terhadap PDB?
Pertama, pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih (SAL), dana menganggur, atau relokasi dana pemerintah. Di era SMI, SAL dipandang sebagai “dana cadangan hari hujan”, berfungsi sebagai bantalan fiskal menghadapi guncangan eksternal atau kekurangan penerimaan negara.
Kini, PYS mengisyaratkan perubahan fungsi SAL menjadi instrumen stimulus ekonomi, mendorong kredit, investasi, dan aktivitas ekonomi tanpa langsung menambah utang publik. Dana SAL dalam APBN tidak “mengganggu postur fiskal” dan digunakan sebagai bagian dari manajemen kas.
Kedua, kebijakan utang yang lebih selektif. PYS berkomitmen menahan penerbitan utang luar negeri dan menolak penggunaan APBN untuk menanggung utang BUMN, termasuk proyek kereta cepat Whoosh. Beban pembiayaan dialihkan ke holding BUMN Danantara melalui dividen, restrukturisasi, dan ekuitas, serta memastikan proyek strategis BUMN tetap berjalan dan dikelola agar tidak menjadi beban keuangan negara.
Ketiga, meningkatkan penerimaan negara, terutama pajak atau melakukan efisiensi penerimaan. PYS mengatakan, “upaya mengurangi ketergantungan utang dengan mendorong pertumbuhan ekonomi cepat untuk meningkatkan pendapatan”. PYS menawarkan program “quick win” untuk menutup kekurangan penerimaan negara di sisa 2025, yaitu (1) penagihan 200 penunggak pajak besar (yang sudah inkrah) dengan potensi penerimaan sekitar Rp50 triliun-Rp60 triliun; (2) pengawasan impor dan jalur impor agar tidak terjadi kecurangan atau pelanggaran; (3) penegakan hukum di sektor cukai dan bea masuk agar penerimaan dari sumber impor tidak bocor; dan (4) memperluas basis pemungutan pajak, memperbaiki kepatuhan, dan meningkatkan efektivitas pemungutan.
Kepergian SMI sebagai “jangkar kredibilitas fiskal” membuat investor khawatir hilangnya disiplin anggaran. IHSG ditutup melemah sebesar 100,498 poin atau minus 1,28 persen ke level 7.766,85 pada hari pengumuman pergantian Menkeu (8/9/2025). Namun, IHSG berangsur menguat karena respons pasar atas langkah awal kebijakan PYS, khususnya kebijakan penyaluran dana Rp200 triliun ke bank BUMN.
Kebijakan-kebijakan konkret yang diumumkan PYS menjadi sinyal penting yang mampu menenangkan pasar bahkan menerbitkan optimisme pasar yang sempat anjlok akibat demo besar-besaran. IHSG merambat naik, bahkan mencapai 8.168,48 pada 7 Oktober 2025, naik 5,2 persen tepat satu bulan setelah pengangkatan PYS, bahkan tercatat sebagai rekor tertinggi Bursa Efek Indonesia selama lima tahun terakhir (lihat grafik).
Sejalan dengan IHSG, kurs rupiah mengalami apresiasi sekitar 0,42 persen terhadap dolar Amerika Serikat dari Rp16.350 pada 8/9/2025 menjadi Rp16.282 pada 8/10/2025 setelah selama ini mengalami depresiasi sekitar 7 persen sejak Prabowo menjadi Presiden RI.
Pola Alokasi APBN
RAPBN 2026 mengusung tema “APBN Sehat, Akseleratif, dan Suportif” dengan fokus pada kedaulatan pangan, energi, dan ekonomi. Arah kebijakannya bersifat pro-growth dan pro-stability, dengan tiga pilar utama: (1) menjaga kesehatan APBN: melalui pengelolaan defisit moderat dan pembiayaan yang berkelanjutan; (2) mendorong pertumbuhan inklusif melalui hilirisasi industri, peningkatan SDM, dan pembangunan dari desa; (3) memperkuat daya tahan ekonomi nasional lewat diplomasi ekonomi, ketahanan pangan-energi, dan reformasi birokrasi.
Perkembangan IHSG Pasca PYS Menjadi Menkeu, 8 September – 7 Oktober 2025

Pola alokasi APBN 2026 secara eksplisit mencerminkan prioritas pemerintahan di bawah pimpinan Presiden Prabowo. Anggaran pendidikan dalam APBN 2026, yang sebesar Rp769,1 triliun, merupakan yang terbesar sepanjang sejarah. Tahun 2021 anggaran pendidikan masih Rp549,5 triliun; 2025 menjadi Rp724,3 triliun. Namun, anggaran jumbo untuk pendidikan vokasi dihadapkan pada fakta tingginya tingkat pengangguran lulusan SMK (8 persen) dan SMA (6,4 persen).
Badan Gizi Nasional (BGN) menjadi pemegang anggaran terbesar sebesar Rp268 triliun. Anggaran BGN berkaitan langsung dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ada sejumlah kelemahan dalam program MBG ini, yang bisa menggagalkan keberhasilan jika tidak segera diatasi: perencanaan dan anggaran yang belum realistis, tidak adanya uji coba sebelum pelaksanaan nasional, serta lemahnya integrasi dengan program bantuan pangan yang sudah ada.
Presiden Prabowo mengumumkan alokasi MBG sebesar Rp335 triliun, di mana sekitar Rp223,6 triliun akan diambil dari pos anggaran pendidikan. Sisanya dari anggaran kesehatan (sekitar Rp24,7 triliun) dan fungsi ekonomi serta anggaran cadangan lainnya.
Proporsi ini menimbulkan kekhawatiran akan inefisiensi, kebocoran, tumpang tindih program bantuan pangan, gizi, dan sosial, serta lemahnya tata kelola dalam pelaksanaan program besar yang menargetkan 82,9 juta penerima manfaat. Tanpa desain yang matang dan pengawasan ketat, MBG berpotensi menjadi salah satu sumber pemborosan terbesar dalam sejarah APBN Indonesia.
Dalam APBN 2026, Indonesia menggeser prioritas belanjanya secara signifikan, dengan porsi besar untuk memperkuat ketahanan pangan dan gizi serta pertahanan nasional. Pemerintah diperkirakan mengalokasikan 4 persen-5 persen dari total anggaran untuk program pangan dan gizi (subsidi, bantuan pangan, pengembangan pertanian). Ini mencerminkan fokus strategis untuk meningkatkan kesehatan publik dan memastikan pasokan pangan stabil di tengah ketidakpastian global.
Baca juga: Sederet PR Pemerintahan Prabowo-Gibran Agar Ekonomi Tumbuh 8 Persen
Sektor pertahanan mendapat sekitar 5 persen-6 persen dari total APBN, ditujukan untuk modernisasi alutsista dan peningkatan kemampuan keamanan nasional. Dengan total APBN diperkirakan sekitar Rp3.000 triliun, gabungan anggaran pangan-gizi dan pertahanan mencapai sekitar 9 persen-11 persen dari total belanja pemerintah. Ini menandai pergeseran nyata dari tahun-tahun sebelumnya yang lebih fokus pada infrastruktur, menunjukkan pendekatan baru menuju pertumbuhan berkelanjutan dan ketahanan nasional.
APBN 2026 adalah pertaruhan. Di satu sisi, kebijakan yang diusung PYS menawarkan harapan akselerasi melalui kebijakan fiskal yang ekspansif dan pro-growth. Alokasi anggaran dari APBN ini selaras dengan janji politik pemerintahan Presiden Prabowo untuk memperkuat fondasi negara di bidang pangan, pendidikan, dan kesehatan. Namun, keberhasilannya akan sangat bergantung pada eksekusi di lapangan.
Menteri PYS harus membuktikan bahwa pergeseran dari mazhab kehati-hatian ke ekspansif mampu membuahkan hasil nyata, bukan sekadar belanja yang masif tanpa dampak signifikan. Pengawasan yang ketat dan evaluasi berbasis kinerja menjadi kunci agar APBN 2026 seperti kapal besar melaju kencang, tetapi juga tiba di tujuan kesejahteraan rakyat tanpa menabrak karang risiko fiskal. (*)









