Poin Penting
- ICOR Indonesia masih tinggi di kisaran 6 persen, menunjukkan efisiensi investasi yang rendah dibanding Vietnam (4,6 persen), sehingga perlu “upgrade mesin ekonomi”.
- Pertumbuhan PNB Indonesia tertinggal, hanya 3,8 persen dalam 10 tahun terakhir, di bawah Vietnam (6,2 persen) dan India (5,3 persen), sehingga perlu strategi peningkatan daya saing.
- Pemerintah diminta manfaatkan momentum dan perkuat sektor manufaktur, tidak lagi bergantung pada SDA, serta fokus pada produktivitas untuk capai target pertumbuhan 8 persen.
Jakarta – Tepat setahun Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memimpin pemerintahan Indonesia. Namun, masih ada sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang perlu menjadi perhatian guna mencatat pertumbuhan ekonomi 8 persen, sesuai yang pemerintah harapkan.
Pendapat tersebut dikemukakan oleh Raden Pardede, ekonom senior sekaligus Tim Asistensi Kementerian Koordinator Perekonomian (Menko Perekonomian). Menurutnya, “mesin” ekonomi dalam negeri wajib di-upgrade.
Misalnya, ada Incremental Capital Output Ratio (ICOR), yang mencerminkan efisiensi investasi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Raden berujar, kalau ICOR Indonesia masih perlu diperbaiki.
Baca juga: Bos BI Beberkan 3 Langkah Ketahanan Ekonomi RI dalam Pertemuan IMF
“Jika mesin (ICOR) makin bagus, maka penggunaan bahan bakar itu menjadi lebih efisien. Contohnya, bagaimana (ekonomi) Vietnam itu lebih cepat dari Indonesia. Itu yang kita harus perbaiki,” terang Raden di Forum Diskusi Capaian Satu Tahun Kinerja Kabinet Merah Putih di Bidang Perekonomian dengan tema “Kemajuan Ekonomi Menuju Asta Cita: Sudah Sejauh Apa?”, Senin, 20 Oktober 2025.
Tahun ini, kata Raden, ICOR Indonesia masih di kisaran angka 6 persen, masih jauh dari Vietnam yang berada di angka 4,6 persen. Tandanya, investasi di negara ini memerlukan biaya yang lebih banyak untuk bisa menghasilkan imbal balik.
Raden melanjutkan, pertumbuhan Pendapatan Nasional Bruto (PNB) Indonesia juga perlu ditingkatkan. Dalam 10 tahun ke belakang, pertumbuhan PNB Indonesia berada di kisaran 3,8 persen, tertinggal dibanding negara penyedia komoditas lain macam Vietnam (6,2 persen) atau India (5,3 persen).
Tak sampai di sana, Raden merasa pemerintah juga perlu untuk menyiapkan fondasi untuk memperkuat kemauan politik agar terus berproses. Memanfaatkan momentum juga menjadi aspek yang perlu terus didorong.
“Momentum itu tidak datang terus-menerus. Jadi, ketika tiba saatnya momentum yang pas, contohnya (perjanjian) EU-CEPA, itu harus kita manfaatkan. Karena, mungkin 2-3 tahun lagi ini nggak ada lagi,” tegas Raden.
Baca juga: Purbaya Pede Ekonomi RI Kuartal IV 2025 Tembus 5,67 Persen
PR berikutnya adalah fokus di sektor manufaktur. Raden melihat, negara-negara lain tidak hanya mengandalkan sumber daya alam (SDA) setempat, namun juga menambah nilai dari SDA tersebut.
“Seperti yang saya katakan, kita harus upgrade mesin ekonomi kita, yang saat ini tergantung kepada sumber daya alam saja. Sumber daya alam adalah bonus. Tapi jangan tergantung di situ,” ucapnya.
Beberapa aspek penting lain meliputi peningkatan efektivitas, kualitas manusia, produktivitas, dan teknologi. Hal ini, kata Raden, mampu menambah kemampuan daya saing Indonesia di ranah global. (*) Mohammad Adrianto Sukarso










