Membaca Arah Purbayanomic di Tengah Jebakan Pertumbuhan 5 Persen

Membaca Arah Purbayanomic di Tengah Jebakan Pertumbuhan 5 Persen

Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank Media Group

INDONESIA masuk jebakan pertumbuhan stagnan. Ekonomi Indonesia telah lama terperangkap dalam pertumbuhan kisaran 5 persen. Angka yang cukup untuk stabilitas, tetapi jauh dari cukup untuk melompat menjadi high-income country. Pertumbuhan 5 persen masih dirasa kurang untuk menopang jumlah tenaga kerja. Anak-anak muda sulit mencari kerja, sementara pajak memburu kelas menengah demikian masifnya.

Lebih celaka, pertumbuhan ekonomi tak mampu mencegah gap antara kenaikan pendapatan kelompok pekerja dan kenaikan biaya-biaya. Dibakar inflasi perumahan, transportasi, pendidikan, dan biaya hidup yang makin berat. Kondisi ini telah melahirkan generasi penuh utang pinjol dan kredit konsumsi tanpa agunan.

Bahkan, selama 10 tahun terakhir, kita menyaksikan bagaimana pertumbuhan yang moderat ini tidak mampu mengangkat Indonesia dari jebakan pendapatan menengah (middle-income trap). Sejarah menunjukkan, hanya negara yang mampu tumbuh di atas 7 persen secara konsisten – seperti Jepang dan Korea Selatan – yang berhasil naik kelas.

Di sinilah gagasan Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan RI, tentang perlunya injeksi likuiditas besar-besaran ke dalam sistem perbankan layak untuk dikaji serius. Sepertinya Purbaya terinspirasi oleh teori Milton Friedman, ekonom kondang yang teorinya dapat memulihkan ekonomi AS ketika terjadi Great Depression.

Menurut catatan Infobank Institute, Milton Friedman dalam A Monetary History of the United States menegaskan bahwa Great Depression dipicu oleh kekeringan likuiditas. Dalam konteks Indonesia hari ini, kita melihat gejala serupa: pertumbuhan uang primer (MO) yang lesu, hanya 0,34 persen (yoy) per Agustus 2025. Bandingkan dengan era SBY yang rata-rata 17,39 persen, yang mendorong pertumbuhan kredit di atas 21 persen.

Dari sini, Purbaya menyimpulkan bahwa dengan “memompa” likuiditas ke dalam sistem perbankan – terutama melalui bank-bank BUMN yang memiliki jangkauan luas – akan mendorong penurunan suku bunga kredit dan pada akhirnya memacu geliat kredit investasi dan konsumsi.

Purbaya mengambil langkah berani: memindahkan dana pemerintah yang mengendap di BI, yang mencapai Rp450 triliun lebih, ke perbankan Himbara, dengan suntikan awal Rp200 triliun. Ini bukan sekadar kebijakan moneter, melainkan sebuah strategi penyelamatan. Paling tidak persoalan likuiditas di bank-bank sudah selesai.

Hasilnya, tidak mengecewakan. Ada sisi positif terutama bagi bank-bank Himbara terkait likuiditas. Kredit-kredit mulai mengucur lancar. Bahkan pencairan kredit dari bank-bank Himbara ini di atas Rp30 triliun. Jadi, angka Rp200 triliun sebenarnya terbilang kecil.

Pada awalnya kebijakan mengguyur likuiditas yang dilakukan Purbaya ini mendapat “cibiran” dari kalangan perbankan, karena alasan permintaan kredit yang rendah. Disebutkan bahwa angka kredit menganggur (undisbursed loan) masih tinggi, yaitu sebesar Rp2.372 triliun. Itu alasan para bankir. Namun, ternyata para bankir merasa terbantu dengan limpahan likuiditas ini. Soal likuiditas, yang selama dua tahun terakhir ini menjadi masalah, langka dan mahal, setidaknya mulai teratasi.

Bahkan, saat ini (Oktober 2025) telah terjadi penurunan simpanan bank-bank umum di rekening BI. Ini artinya, bank-bank pun sudah mulai “greng” untuk “kencing kredit” ke sektor usaha. Sektor korporasi masih menjadi daya dorong kredit perbankan. Jadi, kebijakan suku bunga rendah BI, serta kucuran likuiditas ke bank-bank Himbara, merupakan “doping” bagi sektor riil.

Purbayanomic yang Pro-growth

Purbaya adalah praktisi pasar keuangan dan analis ekonomi senior. Latar belakangnya di industri sekuritas dan sebagai analis di Danareksa Sekuritas Indonesia membentuk perspektifnya. Pendekatannya heterodoks, memadukan prinsip pasar dengan intervensi strategis pemerintah untuk mencapai tujuan nasional.

Dia dekat dengan visi ekonomi Prabowo yang menekankan pada pembangunan berbasis sumber daya alam dan industrialisasi. Bahkan, Purbaya pernah menjadi pembisik dua presiden di zaman SBY dan Jokowi.

Bisa jadi, mazhab Purbaya atau Purbayanomic yang paling menonjol selain soal likuiditas adalah soal fiskal yang lebih ekspansif dan pro-growth. Berbeda dengan kehati-hatian ala Sri Mulyani, Purbaya diperkirakan akan lebih agresif dalam menggunakan anggaran negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi, selaras dengan visi Presiden Prabowo untuk akselerasi pembangunan.

Purbaya mungkin akan lebih toleran terhadap peningkatan defisit anggaran dan utang dalam jangka pendek, asalkan digunakan untuk investasi yang dianggap strategis (seperti food estate, hilirisasi industri, dan infrastruktur energi).

Purbaya seorang yang memahami dinamika pasar. Kebijakannya akan sangat reaktif terhadap sentimen pasar dan kondisi global. Dia akan lihai dalam mengelola persepsi investor. Dengan pragmatismenya, dia tidak terikat secara kaku pada satu mazhab.

Purbaya bisa saja menerapkan kebijakan yang tampaknya “pro-pasar” (seperti kemudahan investasi), tetapi di lain sisi juga “intervensionis” (seperti subsidi untuk industri tertentu) jika dianggap perlu untuk mencapai target pertumbuhan.

Pendek kata, gaya Purbaya merupakan seorang “strategis pertumbuhan” yang pragmatis, berorientasi pada hasil jangka menengah, dan bersedia menggunakan instrumen fiskal secara lebih agresif untuk mendorong industrialisasi dan pertumbuhan.

Perbedaan prinsip yang paling menonjol antara Sri Mulyani dan Purbaya yaitu Sri Mulyani lebih berpegang pada filosofi disiplin fiskal dan kehati-hatian (fiscal prudence). Anggaran harus sehat dan berkelanjutan.

Sementara, Purbaya ekspansif dan pro-growth. Anggaran adalah alat untuk mendorong pertumbuhan, dan defisit sementara dapat ditoleransi. Bagi Sri Mulyani, stabilitas makro-ekonomi dan reformasi institusi (perpajakan, tata kelola) menjadi prioritas utama. Sementara, Purbaya lebih menekankan akselerasi pertumbuhan ekonomi dan program strategis nasional.

Singkatnya, perbedaan paling mencolok di antara keduanya terletak pada filosofi pengelolaan anggaran. Sri Mulyani adalah “penjaga gawang” ketat terhadap keberlanjutan fiskal, sementara Purbaya Yudi Sadewa (dalam skenario hipotetisnya) akan menjadi “striker” yang menggunakan anggaran sebagai alat utama untuk mencetak gol pertumbuhan ekonomi, meskipun harus mengambil risiko fiskal yang lebih besar.

Sri Mulyani membangun fondasi yang kokoh, sementara Purbaya diperkirakan akan lebih fokus membangun menara pencapaian di atas fondasi tersebut, dengan segala risikonya.

Pada akhirnya, gagasan Purbaya Yudhi Sadewa memang layak diapresiasi, yang berani mendorong wacana keluar dari zona nyaman. Namun, kita harus belajar dari sejarah, bahwa membangun ekonomi yang tangguh tidak bisa dengan jalan pintas. “Membanjiri” sistem perbankan dengan likuiditas adalah sebuah ilusi yang berbahaya, sebuah mimpi bahwa pertumbuhan tinggi dapat dicetak begitu saja di ruang rapat bank sentral.

Sebab, ekonomi Indonesia membutuhkan terapi struktural yang komprehensif, bukan sekadar suntikan adrenalin moneter. Tugas kita bersama – pemerintah, otoritas moneter, pelaku perbankan, juga dunia usaha – adalah membangun fondasi ekonomi yang kokoh berdasarkan produktivitas, inovasi, dan pemerataan.

Hanya dengan demikian, transformasi menuju pertumbuhan 8 persen (2029) yang berkualitas dan berkelanjutan bukan sekadar impian, tetapi sebuah takdir yang bisa kita wujudkan. Dan, Purbaya sudah mengawalinya dengan membanjiri pasar dengan likuiditas, yang akan menjelma menjadi kredit, menggairahkan dunia usaha, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan daya beli, dan pada akhirnya pajak kepada negara.

Semoga kebijakan Purbaya membanjiri likuiditas menjadi solusi ajaib di tengah jebakan pertumbuhan 5 persen. Mudah-mudahan bisa beranjak ke 6,5 persen, lalu 8 persen. Tapi, Purbaya butuh teman. Jangan dibiarkan berjalan sendiri. Perlu kebijakan sektor riil yang selama ini tidur pulas. Sektor swasta yang akan digenjot juga perlu lingkungan dan kebijakan pemerintah yang market friendly.

Firaun, Lu!” ucapan Menteri Purbaya mengomentari soal tarif cukai rokok yang dinilai kelewat tinggi. Itulah yang disukai publik. Ucapan dari Menteri Purbaya yang terkesan sarkas itu semoga dapat mendorong industri rokok kembali bangkit sehingga mampu menjaring tenaga kerja secara masif.

Sebagai upaya bersih-bersih, Purbaya bahkan memecat 26 pegawai pajak yang jadi “pemeras”. Publik juga sedang menunggu – bagaimana Purbaya akan melibas pemain cukai-cukai ilegal dan ekonomi siluman di balik ekspor gelap tambang dan komoditas yang banyak “jeger” di belakangnya. Langkah Purbaya dengan mendorong Kementerian untuk segera belanja merupakan langkah yang perlu diapresiasi. Belanja dan belanja.

Setiap zaman punya orangnya, setiap orang punya zamannya. Ini zamannya Purbayanomic. Jangan biarkan berjalan Purbaya sendirian. Lanjutkan!

Related Posts

News Update

Netizen +62