Oleh Hendra Febri, praktisi hukum, banker, lawyer
NEGATIVE pledge dan clean basis menjadi hal yang makin masif dalam dunia bisnis perbankan, khususnya segmen kredit corporate & commercial banking di perbankan Indonesia. Konsep ini awalnya diperkenalkan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang berkembang pesat di era 1950-an. Dalam praktik pembiayaan, konsep ini diimplementasikan oleh World Bank melalui International Bank for Reconstruction & Development (IBRD) dalam melakukan pembiayaan kepada negara-negara anggota yang menjadi debitur dari World Bank.
Konsep ini makin berkembang, termasuk pada tataran credit process di perbankan Indonesia. Di Indonesia, terkait konsep negative pledge dan clean basis belum terdapat ketentuan khusus yang mengatur. Namun, jika kita telaah lebih dalam, konsep ini selaras dengan Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata yang dikenal sebagai “jaminan umum”.
Pasal 1131 KUHPerdata mengatakan: “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu”.
Hal ini sejalan dengan pemaknaan negative pledge yang diartikan sebagai suatu keadaan di mana calon debitur yang mendapat fasilitas kredit tidak dipersyaratkan menyerahkan agunan untuk dilakukan pengikatan; yang kemudian calon debitur tersebut memberikan pernyataan dan janji kepada kreditur. Janji yang dimaksud berisi bahwa calon debitur tidak akan menyerahkan agunan kepada para krediturnya yang lain untuk dilakukan pengikatan, sehingga setiap kreditur memiliki hak yang sama atas kekayaan debitur.
Baca juga: Laju Pertumbuhan Kredit UMKM Melambat di Agustus 2025
Sedangkan, clean basis dapat diartikan sebagai keadaan di mana seluruh harta kekayaan debitur tidak dijadikan jaminan pelunasan utang kepada kreditur mana pun. Tidak dipersyaratkan menyerahkan agunan untuk dilakukan pengikatan dan tidak dilakukan pengikatan jaminan khusus atas hak kebendaan apa pun, meskipun tanpa disertai adanya pernyataan dan janji tidak menjaminkan aset tersebut.
Pertimbangan untuk menggunakan negative pledge maupun clean basis murni menjadi pertimbangan dan keputusan risk appetite masing-masing bank. Lantas, apa saja yang harus diperhatikan oleh bank dalam menyalurkan kredit dengan konsep negative pledge dan clean basis?
Pertama, bank harus memahami bahwa negative pledge dan clean basis bukan merupakan suatu bentuk jaminan khusus kebendaan, melainkan lebih mengarah pada janji atau pernyataan yang dalam praktik bank sering disebut covenant kredit.
Kedua, oleh karena negative pledge dan clean basis bukan merupakan jaminan khusus kebendaan, maka bank tidak memiliki hak preferent atau hak untuk diutamakan dari kreditur lainnya. Sehingga, apabila dalam berjalannya fasilitas kredit, debitur diketahui mengagunkan aset-asetnya kepada kreditur lain dan dilakukan pengikatan, maka bank tidak menjadi kreditur yang diutamakan dari kreditur pemegang hak preferent tersebut.
Ketiga, dalam menyalurkan kredit dengan konsep negative pledge dan clean basis akan lebih baik bank mengutamakan memberikan fasilitas kredit yang memiliki tenor jangka pendek (kurang dari 1 tahun), sehingga memudahkan bank dalam melakukan monitoring ketat atas penggunaan aset dan cash flow debitur.
Keempat, bank harus memastikan pada perjanjian kredit terdapat klausul janji ataupun pelarangan debitur untuk menjaminkan asetnya kepada kreditur lainnya, baik untuk aset yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, baik berwujud maupun tidak berwujud, serta mengatur juga terkait konsekuensi atas pelanggaran atas janji tersebut.
Kelima, janji ataupun pelarangan penjaminan aset tersebut utamanya digunakan dalam konsep negative pledge, sedangkan untuk clean basis janji tersebut tidak harus dicantumkan, namun perlu penegasan klausul bahwa debitur tidak menyerahkan asetnya untuk dijadikan jaminan kepada bank. Dalam clean basis ini, tugas bank menjadi lebih besar sebab harus melakukan monitoring ketat atas cash flow dan posisi serta kepemilikan aset debitur, karena adanya potensi aset-aset tersebut dijaminkan kepada kreditur lain ataupun dialihkan kepada pihak lain.
Keenam, bank harus memahami bahwa terdapat ketentuan terkait kualitas aset perbankan yang di dalamnya mengatur penyisihan penilaian kualitas aset (PPKA) sebagaimana diatur dalam POJK 1 Tahun 2024 tentang Kualitas Aset BPR dan POJK 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Pada pokok intinya menghendaki bahwa agar bank mengupayakan melakukan pengikatan secara yuridis sempurna untuk menjaga kualitas aset bank. Jika tidak, maka bank harus mencadangkan sebesar persentase yang diatur pada kedua POJK tersebut.
Ketujuh, oleh karena seluruh aset debitur tidak dilakukan pengikatan jaminan khusus hak kebendaan, maka berlaku jaminan umum sesuai Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata yang berdampak pada bank tidak dapat melakukan eksekusi mandiri (parate eksekusi) melalui KPKNL/balai lelang swasta sehingga dibutuhkan mekanisme peradilan untuk mengukuhkan hak tagih kreditur dan pengeksekusian aset bilamana debitur wanprestasi di kemudian hari. Mekanisme ini juga harus merujuk pada pilihan penyelesaian hukum yang disepakati para pihak dalam perjanjian.
Baca juga: Kriminalisasi Kredit Macet dalam Perspektif Hukum Perdata
Di samping hal tersebut, pada prinsipnya negative pledge dan clean basis menjadi salah satu solusi bagi debitur dan bank yang memiliki sisi positif, di antaranya sebagai berikut. Satu, proses lebih efisien dan cepat karena tidak memerlukan review dan penilaian agunan. Dua, biaya lebih murah karena tidak memerlukan biaya apraisal agunan, biaya pengikatan agunan, dan biaya pembuatan akta dalam rangka pengikatan agunan.
Tiga, lazim digunakan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat karena keterbatasan hukum untuk melakukan pengikatan jaminan kebendaan lintas negara. Empat, memberikan ruang gerak kepada debitur untuk memanfaatkan aset-asetnya lebih luas namun bertanggung jawab demi perkembangan usaha debitur.
Berdasarkan hal tersebut, negative pledge dan clean basis dalam beberapa tahun ke depan akan menjadi salah satu solusi utama dalam pembiayaan-pembiayaan kredit yang mengutamakan efektivitas dan efisiensi serta peluang pembiayaan lintas negara bagi perbankan. (*)










