Jakarta – Pengenaan tarif 32 persen terhadap barang impor asal Indonesia oleh Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di dalam negeri akibat penurunan produksi nasional.
Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda menjelaskan, imbas tarif 32 persen yang ditetapkan oleh Presiden AS itu berpotensi melemahkan ekspor barang dari Indonesia ke AS, yang berdampak pada penurunan produksi domestik.
“Ketika produksi dalam negeri menurun, maka perusahaan di Indonesia akan menyesuaikan dengan cara salah satunya yakni memberhentikan karyawannya,” kata Huda, saat dikonfirmasi Infobanknews, Rabu, 9 Juli 2025.
Baca juga: AS Tetap Kenakan Tarif 32 Persen, Ekonom Sarankan RI Lakukan Hal Ini
Menurutnya, kondisi ini akan mendorong kenaikan angka PHK seiring penurunan permintaan dari pasar AS.
Industri Tekstil Jadi Sektor Paling Terdampak

Berdasarkan permodelan yang dilakukan CELIOS, sektor tekstil dan produk tekstil diprediksi akan mengalami PHK higngga 191 ribu tenaga kerja.
“Pertumbuhan ekonomi akan melambat juga akibat adanya penurunan produksi. Pertumbuhan ekonomi bisa di angka 4,5-4,7 persen saja di tahun ini,” jelasnya.
Di sisi lain, kenaikan tarif impor barang ke AS sebesar 32 persen juga diproyeksikan mendorong kenaikan harga barang konsumsi masyarakat Amerika. Akibatnya, permintaan agregat barang-barang impor akan terkoreksi.
Baca juga: RI Kena Tarif 32 Persen, DPR: Jadi Peluang Diversifikasi Ekspor
Menurut publikasi IMF (2024), setiap kenaikan tarif impor sebesar 1 persen dapat menurunkan volume impor barang sebesar 0.8 persen. Dengan demikian, ekspor Indonesia ke AS bisa turun hingga 25 persen.
Surplus Perdagangan RI Bisa Tergerus

Huda melanjutkan, kondisi ini biisa mengancam surplus perdagangan luar negeri Indonesia, mengingat AS merupakan salah satu penyumbang surplus terbesar bagi Indonesia, dengan nilai mencapai USD16 miliar.
“Kontribusi ekspor ke AS terhadap ekspor total juga menyentuh 10 persen, tertinggi kedua setelah China. China sendiri penyumbang defisit terbesar ke Indonesia. Dengan asumsi tidak ada kenaikan impor dari negara lain dan ekspor ke negara lain, ekspor bersih atau net ekspor Indonesia bisa berkurang -11 persen,” pungkasnya. (*)
Editor: Yulian Saputra










