Oleh Mudji Sutrisno, Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Dosen Pascasarjana ISI Solo, dan Budayawan
MEMAKNAI atau proses memberi makna memuat dua proses sekaligus, yaitu mengungkapkan penilaian dan memberi sumber atau acuan dari penilaian itu. Kaum tekstualis menyumberkan “kebenaran” acuan dari teks suci yang dalam agama amat jelas mengacu pada teks kitab suci, yang mematok kebenarannya karena dipercaya sebagai wahyu.
Sementara, kaum kontekstualis memaknai kenyataan hidup menurut konteks atau sitz im leben. Sekolahan kontekstualis kerap tampil untuk mengambil makna substansial teks suci yang ditetapkan dan dicarikan dialog sejarahnya dengan peristiwa “kini” dan “di sini” dalam relevansi nilai acuan untuk terus bisa menghayati hidup.
Wilayah kritis dalam memaknai ada dua, yaitu dengan mengeksplisitkan (mengungkapkan) pemak naan, maka terjadi para doks dan sekaligus tetap tersembunyi sisi implisit atau tersirat. Memaknai adalah menyingkap misteri hidup dengan eksplisit tersurat.
Namun, begitu menyingkap, tetap tersem bunyilah sebagian besar realitas, yang dalam este tika sebelum teknologi pelipatgandaan reproduksi (foto, misalnya) dikenal sebagai aura, layar misteri realis.
Tradisi lisan menarasikan kearifan menghormati aura, sisi misteri kehidupan untuk dirawat, dipelihara, dan dimuliakan dengan ritus festival religius. Semua menyatu dalam estetika religius, magis, auratis, serta mistis yang terus didongengkan, dituruntemurunkan lewat dongeng, legenda, pantun, peribahasa, atau tuturan pengajak dan pengimbau cinta akan hidup secara positif.
Apa yang berubah dan bergeser ketika tradisi tulisan dan penalaran logis akal budi berlangsung dalam peradaban? Ada tiga pembacaan berlapis yang terjadi dalam memaknai realitas kehidupan.
Pembacaan pertama, diproses garis lurus subjektivitas manusia dengan rasionalitas logis akal budinya dalam merumuskan hidup dan menuliskannya. Tahap auratik mistik – misteri kehidupan dinamai tahap pralogis. Artinya, mengonsepkan nalar yang tersistem dengan penggolongan-penggolongan logis terhadap realitas belum terjadi.
Maka, masuklah tahap an logis peradaban yang membedakan diri secara baru dari yang tradisional pralogis tadi. Namun, perkembangan teknologi yang menabrak kan kesadaran manusia bahwa rasionalitas instru mental memperbudak dan membuat perkembangan modern menjadi tidak manusiawi. Itu karena alam diperalat, dihancurkan, dan kehidupan dieksploitasi dengan dalih menaklukkan alam demi kemajuan iptek.
Pembacaan ke dua mulai dari monopoli, tafsir, dan pemaknaan kebenaran hanya pada yang logis atau logosentrisme. Dengan gandengan kekuasaan, modal ekonomi kapital dan kekuasaan politik monopoli, tafsir kebenaran, dan hegemoni makna, maka mengurailah resistensi resistensi kearifankearifan lokal melawan sentralisasi penyeragaman tafsir makna.
Itulah gejala kembali dihidupinya lagi apa apa yang indah, baik, dan yang benar, menurut pasang surutnya tradisi tradisi kecil dan lokal yang membuat penafsiran ragam kehidupan atau aksi laku kearifankearifan jadi beragam.
Tradisi lisan menarasikan kearifan menghormati aura, sisi misteri kehidup an untuk dirawat, dipelihara, dan dimuliakan dengan ritus festival religius.
Orang pun menjadi sadar dan sampai pada (pembacaan ketiga) kesadaran bahwa nilai dan makna serta proses pemaknaan itu adalah buah bentukan atau konstruksi masyarakatnya. Bentuk konstruksi sosial adalah bacaan teks penataan hidup bersama.
Konstruksi kultural religius adalah konsensus bentuk an penafsiran bersama untuk hidup di situ, dan estetika kehidupan menyusuri perayaan dan pemuliaan apa-apa yang dihormati bernilai dari rahim kehidupan untuk anak-anaknya.
Homo significans, manusia sebagai subjek yang memaknai hidup agar tidak “asal hidup”, itulah yang membuka luas ruang kemerdekaan menafsir, mulai dari eksplisit atau implisit, tersurat atau tersirat, kemudian tekstualis atau kontekstualis, dan acuan-acuan nilai mana yang disediakan sumber tafsirannya.
Menjadi dan mau rendah hati menyadari proses memaknai ini akan membuat kita lebih arif untuk tahu batas-batas makna simbolis kisah “Sinta Obong” atau simbol “Garuda Titian Wisnu” ataupun karya-karya seni yang menafsirkan pemaknaan lewat idiom ikon seni yang pasti bisa diuji apa demi merayakan hidup dengan lebih memuliakan-Nya atau sebaliknya.
Saya yakin para seniman adalah perawat perawat dan pemulia kehidupan lewat filmnya, drama, tari, atau media media seni lainnya dan keterbukaan agamawan. Sungguh dimohon pema haman dan penyediaan luas ruangruang bersama dialog demi pemaknaan hidup agar lebih indah lagi antarkita. (*)
Artikel ini juga dimuat di Majalah Infobank Edisi Juli 2025. Jika ingin baca artikel lainnya secara lengkap bisa kunjungi laman Infobankstore atau hubungi costumer service (CS) Infobankstore 081250002552 (WhatsApp).










