Rencana Impor Nikel dari Solomon Bikin Boncos, APNI Jelaskan Penyebabnya

Rencana Impor Nikel dari Solomon Bikin Boncos, APNI Jelaskan Penyebabnya

Jakarta – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menanggapi rencana Indonesia mengimpor bijih nikel dari Kepulauan Solomon dan New Caledonia mulai bulan Juni 2025. 

Anggota Dewan Penasihat APNI, Djoko Widajatno mengatakan, rencana impor tersebut berpotensi lebih menguras biaya ketimbang impor dari Filipina.

“Kebutuhan bijih nikel kita kan 300 juta ton, sesuai dengan rencana produksi RKAB. Akhirnya, yang 96 juta ton itu kita harus cari. Mau tidak mau, kita harus ke Solomon. Jadi harganya akan mahal,” katanya dikutip Kamis, 5 Juni 2025.

Selain Solomon, impor bijih nikel juga bisa datang dari New Caledonia. Namun kadar nikel dari negara tersebut masih belum memenuhi spesifikasi untuk diolah smelter di Indonesia. 

Di mana, masih harus melalui proses pembauran atau blending sebelum bisa diproses smelter.

“Dari New Caledonia juga bisa, tetapi yang paling memungkinkan dari Solomon. Nah, yang New Caledonia ini ada masalah,” jelasnya.

Baca juga: Danantara-INA Gandeng Perusahaan Tambang Prancis Genjot Hilirisasi Industri Nikel

Saat ini, kata dia, stok bijih nikel yang belum digunakan di dalam negeri masih sekitar 30 persen dari kebutuhan smelter. Jumlah tersebut bisa mencukupi kebutuhan selama maksimal 3 bulan.

“Nanti baru cari lagi. Akan tetapi, negosiasinya tidak semudah itu. Karena apa? Semua negara butuh nikel kan, sehingga siapa yang punya uang, itu yang dapat,” tuturnya.

Artinya, Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain untuk memperoleh tambahan pasokan bijih nikel dengan harga kompetitif. 

Cadangan Terbatas

Ketua Badan Kejuruan (BK) Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Rizal Kasli, memperkirakan keterbatasan cadangan nikel Indonesia dalam 9-13 tahun kemudian. Hal ini, membuka risiko makin tingginya candu impor bijih.

Ia menjelaskan, smelter nikel, utamanya pirometalurgi atau yang berbasis rotary kiln electric furnace (RKEF) setidaknya membutuhkan nikel dengan kadar tinggi di atas 1,5 persen atau saprolit. Di sisi lain, cadangan nikel jenis tersebut sudah makin tergerus di dalam negeri.

“Cadangan kita, itu kalau dihitung antara 9-13 tahun daya tahannya. Itu bukan waktu yang lama. Kita belum apa-apa sudah pensiun. Habis sudah. Kalau menurut saya, karena smelter itu banyak sekali dibangun; 100 lebih, bahkan 144 terakhir ya,” jelasnya.

Baca juga: Tak Hanya Nikel, Hilirisasi Tembaga Bikin Penerimaan Negara Melejit

Di sisi lain, kata dia, cadangan nikel saprolit terus menipis karena tak diimbangi dengan upaya eksplorasi di wilayah-wilayah greenfield dan frontier untuk mempertebal daya tahan cadangan tertakar domestik.

Hasilnya, impor bijih nikel tidak terhindarkan, padahal Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia.

“Perusahaan-perusahaan besar seperti Vale atau Antam, memang dia akan survive karena areal [tambangnya] luas. Cadangannya banyak. Akan tetapi, yang kecil-kecil—apalagi smelter yang tidak terintegrasi dengan tambangnya — itu akan riskan,” pungkasnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri mencatat, volume impor bijih nikel dan konsentrat dengan kode HS 26040000 dari Filipina pada Februari 2025 sekitar 2,38 juta ton. Jumlah ini melonjak dari bulan sebelumnya sebanyak 2,07 juta ton. (*)

Editor: Yulian Saputra

Related Posts

News Update

Netizen +62