Jakarta – Rupiah masih bertengger di atas Rp16.000 per dolar Amerika Serikat (AS) sejak pertengahan Desember 2024 lalu hingga awal tahun 2025 ini, dan enggan kembali ke kisaran Rp15.000.
Menanggapi hal tersebut, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, BI akan terus fokus pada kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah untuk pengendalian inflasi, mendorong pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan fiskal, dan stabilitas sistem keuangan.
“Fokus yang kami maksud stabil sesuai dengan mata uang regional peer bahkan rupiah menguat dibandingkan mata uang negara-negara maju,” kata Perry dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), di Jakarta, Jumat, 24 Januari 2025.
Baca juga: Sri Mulyani: Rupiah Melemah 1,14 Persen, Tapi Tetap Stabil
Perry menyebutkan bahwa ruang untuk stabilitas dan penguatan nilai tukar rupiah ke depan akan terbuka, yang ditentukan oleh indeks dolar AS (DXY). Beberapa hari lalu, indeks dolar berada di atas 109 dan kemudian melemah di level 108.
“Kami akan cermati ke depan ini akan sangat tergantung dari arah kebijakan dari pemerintah AS dan suku bunga Fed Fund Rate (FFR), kami akan terus jaga stabilitas dari nilai tukar,” imbuhnya.
Pentingnya Inflow dan DHE SDA untuk Stabilitas
Secara tren, tambah Perry, rupiah pernah berada di angka Rp15.300 per dolar AS pada kuartal III-2024.
“Pada waktu itu indeks dolar mengarah ke sekitar 103 di triwulan III tahun lalu. Ada SBN inflow Rp60,7 triliun, SRBI Rp54,2 triliun. Besarnya inflow ini juga akan menentukan, dan tentu saja harapan kami dengan implementasi DHE SDA itu juga akan mendukung penguatan stabilitas nilai tukar lebih lanjut,” pungkasnya.
Baca juga: Rupiah Berpeluang Menguat, Ini Faktor Pendorongnya
Untuk itu, BI memastikan pihaknya akan berada di pasar dalam melakukan stabilitas nilai tukar rupiah. Selain itu, cadangan devisa RI cukup besar yakni USD155,4 miliar, digunakan untuk menjaga stabilitas niai tukar.
Selain itu, BI juga akan melakukan intervensi di pasar spot maupun secara domestic non–deliverable forward dan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk pembelian SBN di pasar sekunder.
“Tahun lalu kami membeli SBN dari pasar sekunder jumlahnya Rp178,4 triliun, ini koordinasi yang erat antara fiskal dan moneter. Dan tahun ini kami juga akan terus melakukan pembelian SBN dari pasar sekunder termasuk mekanisme debt switching dari SBN dari burden sharing jumlahnya Rp100 triliun, insyaallah kami juga bisa membeli lebih dari itu, sehingga kami dapat bersama-sama untuk juga bisa melakukan stabilitas,” paparnya. (*)
Editor: Yulian Saputra










