Celios: PPN 12 Persen Bikin Pengeluaran Masyarakat Bertambah Rp4,2 Juta

Celios: PPN 12 Persen Bikin Pengeluaran Masyarakat Bertambah Rp4,2 Juta

Jakarta – Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan menyebabkan merosotnya daya beli masyarakat, namun juga menambah biaya pengeluaran rumah tangga.

Direktur Hukum Celios Muhammad Zakiul Fikri mensimulasikan kenaikan kebutuhan masyarakat akibat kenaikan PPN. Kelas menengah diprediksi mengalami penambahan pengeluaran hingga Rp354.293 per bulan atau Rp4,2 juta per tahun dengan adanya kenaikan tarif PPN 12 persen.

Sedangkan, keluarga miskin diprediksi menanggung kenaikan pengeluaran hingga Rp101.880 per bulan atau Rp1,2 juta per tahun. 

“Kian mencekik bagi masyarakat karena meningkatnya jumlah pengeluaran berbanding terbalik dengan peningkatan pemasukan dari gaji bulanan yang rata-rata hanya tumbuh 3,5 persen per tahun,” jelas Zaikul Fikri dikutip, Selasa 24 Desember 2024.

Bayangkan saja, pada tahun 2023 rata-rata kenaikan gaji di Indonesia hanya 2,8 persen atau setara dengan Rp. 89.391 per bulan. Belum lagi ditambah dengan peningkatan jumlah pengangguran akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang pada tahun 2023 menyentuh angka 11,7 persen. Per November 2024 saja telah terjadi PHK terhadap 64.751 orang.

“Kondisi inilah yang mendorong berbagai kalangan masyarakat urun rembuk menyuarakan penolakan terhadap upaya kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen,” ujarnya.

Zaikul Fikri, menambahkan, banyaknya suara penolakan itu bukan tanpa alasan. Sebab mayoritas penduduk Indonesia saat ini merupakan penduduk dengan kelas ekonomi menengah ke bawah yang akan merasa dampak langsung dari kenaikan PPN tersebut.

Akan tetapi, pemerintah dengan enteng berlindung di balik narasi bahwa kenaikan itu merupakan perintah undang-undang, sehingga ambisi menaikkan tarif PPN terus diupayakan.

Baca juga: PDIP Ubah Sikap, Kini Dukung Kenaikan PPN jadi 12 Persen pada 2025
Baca juga: Kenaikan PPN 12 Persen Perparah Kesenjangan Ekonomi

Zaikul menyebut, perintah yang dimaksud tepatnya termaktub dalam Bab IV tentang Pajak Pertambahan Nilai Pasal 4 Angka 2 Undang-Undang 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dari Bab IV Pasal 4 Angka 2 UU HPP 2021 mengatur bahwa tarif PPN sebesar 12 persen mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.

Padahal, pemerintah bisa saja mengevaluasi kenaikan PPN dengan menurunkannya hingga menjadi 5 persen atau menaikkan hingga maksimum 15 persen, sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (3).

Namun, menurunkan angka PPN atau menunda saja berlakunya kenaikan PPN mustahil terjadi, sebab mereka fokus untuk menjalankan perintah dari Pasal 7 ayat (1), dalih yang terus diumbar di berbagai media.

“Meskipun opsi Pasal 7 ayat (3) dilaksanakan, tetap akan terjadi kekacauan hukum akibat aturan pada ayat tersebut ambigu dan tidak jelas mengenai barometer untuk menentukan 5 persen hingga 15 persen. Selain itu, pelaksanaanya harus dilakukan bersama dengan DPR RI sesuai ketentuan dari Pasal 7 ayat (4). Akibatnya, memakan proses yang panjang, lama, dan rumit,” imbuhnya.

Oleh sebab itu, tambahnya, terhadap perintah Pasal 7 ayat (1) Bab IV Pasal 4 Angka 2 UU HPP 2021, pemerintah wajib menganulirnya melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Setidaknya ada tiga alasan mengapa Perpu pembatalan kenaikan PPN 12 persen harus dikeluarkan. Pertama, norma kenaikan PPN menimbulkan masalah hukum yang mendesak untuk diselesaikan. Masalah hukum itu mulai dari inflasi atau naiknya harga barang jasa, merosotnya kemampuan konsumsi rumah tangga kelas menengah ke bawah, meningkatnya angka pengangguran, tertekannya UMKM, industri manufaktur dan potensi menambah jumlah rakyat miskin di Indonesia. 

Kedua, keberadaan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Bab IV Pasal 4 Angka 2 UU HPP 2021 tidak memadai karena tidak memuat kepatutan dan keadilan hukum.

Ketiga, kondisi saat ini tidak mungkin diatasi dengan cara membuat atau merevisi undang- undang melalui prosedur biasa, mengingat memakan waktu yang cukup lama sementara keadaan telah mendesak. (*)

Editor: Galih Pratama

Related Posts

News Update

Top News