Digitalisasi, Perilaku dan Literasi Keuangan

Digitalisasi, Perilaku dan Literasi Keuangan

Oleh Agus Herta Sumarto, Dosen FEB UMB dan Ekonom INDEF

ADA satu anekdot yang mampu menggambarkan perilaku masyarakat Indonesia saat ini: “dalam suatu perjalanan, suami boleh ketinggalan istri, tapi tidak boleh ketinggalan gawai”.

Digitalisasi yang telah berjalan selama satu dekade terakhir ini telah membawa dampak yang luar biasa besar terhadap perilaku seluruh umat manusia di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Bahkan, masyarakat Indonesia mengalami proses transformasi perilaku dari konvensional ke digital dalam waktu yang relatif sangat cepat.

Bila dibandingkan 10 tahun lalu, mayoritas perilaku masyarakat Indonesia dari mulai bangun pagi sampai dengan menutup hari di waktu petang sudah berubah signifikan. Tiada hari tanpa gawai dan tiada hari tanpa daring. Bahkan penggunaaan gawai sudah menjadi aktivitas harian yang tidak bisa dipisahkan lagi. 

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengumumkan jumlah pengguna internet Indonesia tahun 2024 mencapai 221.563.479 jiwa dari total populasi 278.696.200 jiwa penduduk Indonesia tahun 2023. Dengan kata lain, sebanyak 79,5 persen penduduk Indonesia sudah menggunakan internet dalam aktivitas kesehariannya. Padahal pada tahun 2019, jumlah pengguna internet di Indonesia baru mencapai 47,7 persen dari total penduduk. Oleh karena itu, wajar jika perilaku masyarakat berubah dalam waktu yang relatif singkat.

Drastisnya perubahan perilaku ini terlihat dalam bidang ekonomi dan keuangan khususnya konsumsi, perdagangan, tabungan, dan investasi. Banyak ritel-ritel besar yang berguguran dan menutup sebagian usahanya karena sepi pembeli. Kantor-kantor cabang lembaga perbankan mulai tutup seiring maraknya mobile banking dan branchless banking.

Pasar-pasar tradisional mulai sepi peminat karena tergantikan oleh marketplace, suatu platform online yang mempertemukan penjual dan pembeli untuk bertransaksi jual-beli barang dan jasa hanya dalam genggaman gawai.

Sebaliknya, semua yang berbau online tumbuh subur mulai dari pasar online, pendidikan online, online banking (bank digital), online trading sampai ke pinjaman online (pinjol), judi online (judol) dan penipuan online.

Baca juga: Transaksi Digital Melonjak 14 Kali Lipat, Ini Arahan Bank Indonesia

Literasi Keuangan

Perubahan pola perilaku masyarakat juga terkonformasi dari temuan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Indeks literasi keuangan Indonesia mengalami peningkatan tajam dalam lima tahun terakhir pascamaraknya digitalisasi ekonomi dan keuangan.

Pada tahun 2019, indeks literasi keuangan Indonesia baru mencapai 38,03 persen. Hasil SNLIK tahun 2024 menunjukkan indeks literasi keuangan penduduk Indonesia sudah mencapai 65,43 persen, atau meningkat hampir dua kali lipatnya.

Jika dilihat berdasarkan kelompok umur, literasi keuangan paling tinggi ada di kelompok umur 26-35 tahun, 36-50 tahun, dan 18-25 tahun yakni masing-masing sebesar 74,82 persen, 71,72 persen, dan 70,19 persen. Dengan kata lain, yang melek literasi keuangan adalah masyarakat muda yang berasal dari generasi milenial, generasi Z (Gen-Z), dan generasi alpha (Gen-A).

Peningkatkan indeks literasi keuangan ini patut disyukuri, semakin banyak penduduk yang melek dunia keuangan. Pada tahun 2016, jumlah investor di pasar modal tidak mencapai 1 juta single investor identification (SID). Dari jumlah tersebut, lebih dari setengahnya didominasi oleh investor asing. Investor dalam negeri hanya berkisar di angka 400 ribuan. Angka yang sangat rendah untuk ukuran negara dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa.

Pada Oktober 2024, Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan jumlah laporkan jumlah investor pasar modal telah mencapai 14.001.651 SID dan sebagian besarnya adalah investor dalam negeri. Loncatan peningkatan yang luar biasa besar.

Hal yang sama juga terjadi di dunia perdagangan mata uang kripto (crypto currencies). Tahun 2016 perdagangan mata uang kripto masih sangat tidak populer. Transaksi perdagangannya pun masih bermain “kucing-kucingan” dengan peraturan perdagangan di Indonesia.

Namun saat ini, transaksi mata uang kripto sudah mencapai ratusan triliun rupiah. Nilai transaksi aset kripto di Indonesia pada periode Januari–Juni 2024 saja sudah mencapai Rp 301,75 triliun. Angka ini naik 354,17 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya, yaitu Rp 66,44 triliun.

Namun di waktu bersamaan kita juga tidak boleh tutup mata dan tutup telinga. Perubahan perilaku keuangan ini telah memakan korban yang tidak sedikit. Masih segar dalam ingatan kita beberapa kasus bunuh diri yang dilakukan oleh generasi milenial dan Gen-Z yang disebabkan karena rugi besar di investasi mata uang kripto. Banyak juga yang mengalami gangguan jiwa karena tidak mampu mengembalikan pinjol. Bahkan, belum lama ini kita dikejutkan oleh fenomena judol.

Masyarakat Indonesia dibuat terperangah oleh banyaknya masyarakat yang sudah kecanduan judol. Tidak tanggung-tanggung, ternyata ada pemain judol yang berasal dari kalangan pejabat negara, aparatur sipil negara, dan TNI-Polri. Menurut catatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), nilai transaksi judol ini sangat fantastis, lebih dari Rp600 triliun.

Rentetan kejadian yang tidak enak didengar dan dibaca tersebut merupakan sisi lain dari konsekuensi meningkatnya literasi keuangan. Literasi keuangan yang tidak diimbangi dengan kedalaman literasinya akan berujung pada pengetahuan dan kesadaran yang rendah akan risiko keuangan yang dihadapi. Diperlukan pendalaman dan perluasan literasi keuangan. Bukan hanya sekedar kenal dan tahu produk-produk keuangan, lebih jauhnya harus bisa memahami dan memetakan setiap risiko yang terkandung di setiap produk-produk industri keuangan tersebut.

Baca juga: Optimalkan Layanan BPR Melalui Digitalisasi: Jalin Hadirkan Solusi Infrastruktur Terintegrasi untuk BPR dan BPRS di RI

Peran OJK

Patut diapresiasi upaya OJK dalam merespon berbagai isu-isu pelindungan konsumen di masyarakat dan juga dalam rangka menindaklanjuti amanah UU P2SK.

OJK telah mengeluarkan kebijakan berkelanjutan melalui Peta Jalan Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen 2023-2027. Peta jalan ini diharapkan menjadi pedoman bagi seluruh semua pemangku kepentingan dalam menjalankan 4 pilar utama yaitu (1) Literasi dan Inklusi Keuangan, (2) Pengawasan Market Conduct, (3) Pelindungan Konsumen dan Masyarakat, dan (4) Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal. 

Salah satu strategi yang dilakukan OJK untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan adalah meluncurkan Gerakan Nasional Cerdas Keuangan (GENCARKAN) pada tanggal 22 Agustus 2024 lalu. 

Bersama Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI), program ini diharapkan dapat menjangkau seluruh kabupaten/kota dan kelompok prioritas yang bersinergi dan kolaborasi dengan Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan stakeholders lainnya. 

Target program ini adalah 90 persen pelajar memiliki tabungan, 2,5 juta mahasiswa dan pemuda memiliki rekening, 1,6 juta UMKM memperoleh kredit melalui K/PMR, dan 30 persen penyandang disabilitas menggunakan produk keuangan, dengan end state indeks inklusi keuangan nasional dapat mencapai 98 persen di tahun 2045.

Dari sisi kegiatan edukasi dan literasi keuangan, OJK telah melakukan upaya-upaya berikut: sejak 1 Januari s.d. 26 September 2024, OJK telah melaksanakan 3.141 kegiatan edukasi keuangan yang menjangkau 4.355.176 orang peserta secara nasional. Hal ini didukung dengan masifnya publikasi edukasi keuangan di minisite dan aplikasi Sikapi Uangmu, serta akses modul di Learning Management System Edukasi Keuangan (LMSKU) OJK yang semakin meningkat. 

Kemudian sebagai upaya kolaboratif, OJK juga terus berkolaborasi dengan berbagai pihak antara lain dengan Pelaku Usaha Jasa Keuangan, dan juga stakeholders lainnya.

Tentunya bukan hal yang mudah untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat di tengah cepatnya digitalisasi sektor keuangan serta kejahatan digital yang semakin marak, perlu waktu dan usaha yang lebih besar dan lebih kuat. Namun jika dilakukan bersama oleh seluruh elemen bangsa maka beban tersebut akan terasa lebih ringan. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. (*)

Related Posts

News Update

Top News