Jakarta – Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki mengingatkan bahwa hasil-hasil bumi seperti tambang, perkebunan, pertanian, hingga komoditas kelautan, tidak boleh lagi dilakukan ekspor mentah, termasuk rempah-rempah, melainkan harus melalui proses hilirisasi.
“Harus kita olah, harus kita hilirisasi, supaya kita mendapat nilai tambah ekonomi dari sumber daya kita, termasuk juga di dalamnya bisa menciptakan lapangan kerja,” kata Menkop UKM Teten Masduki pada acara Forum Diskusi dan Temu Bisnis Penguatan Ekonomi Berbasis Rempah Menuju Kejayaan Nusantara (Rantai Pasok, Rantai Nilai, dan Perlogistikan Rempah), dikutip Senin, 14 Oktober 2024.
Menurut Teten, apabila menjual hanya bahan mentahnya saja, tidak akan bisa menciptakan nilai ekonomi tinggi.
“Kita bicara itu dalam konteks menuju negara maju, yang diprediksi pada 2045 itu memiliki potensi besar bertransformasi dari negara berpendapatan menengah ke tinggi,” kata Menkop UKM.
Baca juga : KemenKopUKM Beberkan Pengembangan Koperasi Satu Dekade Terakhir, Begini Hasilnya
Untuk mencapai minimum pendapatan per kapita 13.200 dolar AS sebagai negara maju, Teten menyebut Indonesia harus membangun industri berkelanjutan, dengan mengolah bahan baku yang ada di Indonesia. Hari ini, Indonesia baru mencapai 5.000 dolar AS per kapita.
Pada era 1980-an, kata Menkop UKM, banyak masuk industri manufaktur dari luar, namun menjadi sunset industry karena bahan baku tidak ada di Indonesia.
“Kita tidak akan mengulang pengalaman itu. Kita harus membangun industri berbasis keunggulan domestik. Salah satunya, bahan baku kita punya seperti nikel, bauksit, rumput laut, dan juga rempah,” ujar Menteri Teten.
Baca juga: Hilirisasi ala Jokowi, Naikkan PDB USD235,9 Miliar dan Ekspor USD857 Miliar
Khusus rempah, dirinya mencontohkan bisa dihilirisasi di industri bumbu, selain juga bisa diolah untuk masuk rantai pasok bagian industri farmasi, makanan-minuman, dan industri kecantikan.
“Kita harus samakan visi semua pihak untuk merancang bangun desain program mengarah ke hilirisasi rempah,” kata Teten.
Baginya, teknologi untuk melakukan itu tidaklah sulit. “Kita sudah membangun pabrik-pabrik kecil, lalu mengolah sumber daya yang kita miliki menjadi produk setengah jadi atau jadi,” sambungnya.
80 persen minyak nilam dunia dipasok Indonesia
Teten mencontohkan komoditas nilam yang diolah menjadi minyak atsiri dengan standar industri.
“Sekarang minyak nilam dari Aceh sudah bisa langsung dikirim ke Paris untuk bahan baku industri wewangian. Industri parfum dunia, kebutuhan nilamnya 80 persen yang dipasok dari Indonesia,” katanya.
Selain nilam, juga sudah ada hilirisasi komoditas cabai yang diolah menjadi pasta, sehingga memiliki rantai nilai ekonomi yang lebih panjang. Begitu juga dengan cokelat yang juga sudah ada pabrik pengolahannya.
“Rempah bisa dikembangkan dan diolah menjadi bumbu untuk masuk ke pasar dunia. Makanan Indonesia masih tertinggal bila dibanding Thailand dan Vietnam. Mereka jauh dikenal masyarakat dunia,” kata eks Kepala Staf Kepresidenan itu.
Baca juga : KemenKopUKM Waspadai Serbuan Impor Ilegal yang Ancam Pasar UMKM, Nilainya Bikin Geleng-geleng Kepala
Teten mengakui, saat ini industri rempah-rempah Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan serius. Di antaranya, ketidakstabilan harga, kurangnya infrastruktur pendukung, permasalahan akses pasar, serta pengelolaan lingkungan yang kurang memperhatikan prinsip keberlanjutan.
“Rantai suplai yang belum terintegrasi dengan baik membuat banyak petani rempah berada dalam situasi ekonomi yang sulit. Sementara produk kita sering kali belum mencapai potensi nilai yang optimal di pasar global,” pungkas Teten Masduki.
Potensi USD42 Miliar
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Rempah Kejayaan Indonesia (DRKI), Dr Tjokorda Ngurah Agung Kusuma Yudha mengungkapkan, hasil survei yang menyebutkan bahwa total perdagangan rempah dunia hampir mencapai 42 miliar dolar AS per tahun.
Namun, kata Tjokorda, 80 persen perdagangan rempah dunia dikuasai oleh China. Padahal, dari sisi produk dan industri rempah, Indonesia jauh lebih banyak. “Mayoritas milik kita, tapi diperdagangkan di Provinsi Yulin, China,” ujarnya.
Oleh karena itu, Tjokorda berharap proses hilirisasi di industri rempah nasional bisa berjalan, seperti yang terjadi di hilirisasi sektor tambang.
“Sekarang ini, ekspor rempah kita masih barang mentah, dan itu sendiri-sendiri atau negara terlibat di dalamnya. Pelaku usahanya melakukan jual beli sendiri, dan kita tidak pernah mendapat nilai tambah dari rempah ini,” imbuh Tjokorda. (*)
Editor: Yulian Saputra