Jakarta – Laporan Mercer Marsh Benefits Health Trends 2024 mengungkapkan bahwa tren kenaikan biaya perawatan medis di Indonesia diproyeksikan akan mencapai 13 persen pada tahun ini. Jauh di atas rata-rata Asia sebesar 11,4 persen.
Inflasi medis tersebut membawa tantangan baru bagi sektor asuransi dan perusahaan yang harus menyesuaikan tunjangan kesehatan karyawan agar tetap kompetitif.
Inflasi medis ini dipicu oleh tingginya harga layanan kesehatan yang mencakup biaya perawatan rumah sakit, obat-obatan, serta tes kesehatan yang terus merangkak naik.
Situasi ini diperparah dengan lonjakan klaim kesehatan asuransi jiwa yang mencapai Rp11,83 triliun per Juni 2024, atau naik 26 persen secara tahunan dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menunjukkan, tren kenaikan klaim kesehatan sudah terlihat sejak 2023 dengan lonjakan hingga 35,5 persen dari Juni 2022.
Baca juga: Indonesia Rendezvous 2024 Dorong Kolaborasi Global Demi Stabilitas Industri Asuransi
Head of Consulting and Analytics Mercer Marsh Benefits Indonesia, Ria Ardiningtyas, menjelaskan bahwa biaya perawatan medis di Indonesia saat ini didorong oleh beberapa faktor utama, seperti harga fasilitas kesehatan, biaya pelayanan rumah sakit, serta biaya obat-obatan.
“Penyakit pernapasan, seperti infeksi saluran pernapasan bagian atas akut, menjadi diagnosis yang paling umum dengan biaya terbesar dalam kelompok penyakit ini, yaitu mencapai 57 persen dari total biaya perawatan terkait,” ujarnya, dikutip Selasa (8/10).
Tren kenaikan biaya kesehatan ini memberikan beban besar bagi perusahaan, khususnya dalam mengelola tunjangan kesehatan karyawan.
Menurut hasil studi dari Mercer Marsh Benefits, sebanyak 94 persen perusahaan di Indonesia memberikan tunjangan kesehatan berupa rawat inap bagi karyawan dan keluarganya. Fasilitas ini mencakup biaya kamar, dokter umum, spesialis, hingga biaya tindakan bedah.
“Namun, perusahaan kian kesulitan menyeimbangkan antara memberikan manfaat kesehatan yang memadai dan mengelola biaya kesehatan yang terus meningkat. Banyak perusahaan menerapkan dua jenis skema dalam tunjangan kesehatan karyawan, yaitu skema indemnity dan managed care,” kata Ria.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, skema indemnity memberikan kebebasan kepada karyawan untuk memilih fasilitas kesehatan sesuai batasan yang ditetapkan, sementara managed care lebih membatasi akses dengan mengharuskan rujukan bertahap.
Sementara, untuk rawat jalan, 79 persen perusahaan memberikan tunjangan ini kepada karyawan, yang mencakup biaya dokter umum, spesialis, obat, dan layanan kesehatan lainnya. Perusahaan biasanya menerapkan skema as charge atau inner limit.
Skema as charge memberikan batas penggantian tahunan yang dapat digunakan secara fleksibel, sedangkan inner limit membatasi penggantian biaya per-item, yang berarti ada batasan berbeda antara biaya dokter dan obat.
Strategi Atasi Inflasi Medis
Dengan inflasi medis yang terus melonjak, Ria mengatakan, perusahaan perlu merancang strategi baru agar tetap dapat menawarkan tunjangan kesehatan yang memadai tanpa mengorbankan profitabilitas.
Adapun, Mercer Marsh Benefits menawarkan Cost of Care, yaitu alat benchmarking atau tolok ukur biaya rumah sakit di Indonesia. Ini menghasilkan laporan komprehensif yang memberikan informasi terperinci tentang biaya perawatan medis rumah sakit di Indonesia.
Baca juga: 8 Perusahaan Asuransi Berada dalam Pengawasan Khusus OJK
Cost of Care merupakan cara efektif bagi perusahaan, termasuk perusahaan asuransi, untuk menganalisis dan membandingkan biaya rawat inap berdasarkan diagnosis, area dan kelas rumah sakit, kelas R&B, dan jenis perawatan (dengan atau tanpa pembedahan).
“Hal ini memungkinkan perusahaan untuk merencanakan,mengontrol, dan memprediksi biaya tunjangan kesehatan bagi karyawan guna menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan karyawan sekaligus mengelola risiko tenaga kerja,” tutup Ria. (*) Alfi Salima Puteri