Oleh Babay Parid Wazdi, Dirut Bank SUMUT dan Pemerhati UMKM
DI ZAMAN sekarang ini, banyak perusahaan atau organisasi besar yang menggunakan model manajemen resiko yang dikenal dengan pertahanan 3 lapis atau disingkat dengan 3LD (Three Lines of Defense). Model seperti ini bertumpu pada pegelolaan bisnis yang menekankan bahwa, setiap lini bisnis dalam perusahaan memahami resiko dan memastikan bahwa mereka juga sebagai pemilik risiko.
Pada dasarnya penerapan strategi 3LD ini lebih melekat pada perusahaan besar, walaupun tidak menutup kemungkinan penerapan 3LD dalam pengelolaan UMKM juga bisa dilakukan. Meskipun dalam tahapan implementasinya kita sesuaikan terhadap kebutuhan UMKM.
Kesadaran akan pentingnya manajemen risiko oleh pelaku UMKM akan membuat pelaku usaha lebih berhati-hati dalam mengelola bisnisnya. Pelaku UMKM juga memiliki ukuran yang jelas dalam mencapai tujuan (visi-misi) perusahaan jika risiko yang ada mampu dikelola dengan baik. Karena dalam pengembangan bisnis UMKM selalu melekat sejumlah risiko yang harus dikelola. Seperti risiko operasional, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko produksi dan sejumlah risiko lainnya.
Walaupun tidak ada garansi bahwa 100 persen model pertahanan 3 lapis tersebut bisa secara tepat mampu menentukan fungsi apa saja yang bisa diterapkan di setiap lini pertahanan. Akan tetapi, pelaku UMKM setidaknya sudah memiliki pemahaman dalam hal pengelolaan manejemen risiko. Sebagai langkah awal sebelum masuk kedalam pembahasan mengenai 3LD. Maka hal mendasar yang perlu diketahui oleh pelaku UMKM adalah memahami di level mana bisnis yang tengah dijalankan.
Karena semakin kecil bisnis yang dijalankan, maka manajemen risiko yang relatif lebih sederhana. Namun pelaku UMKM atau pemilik perusahaan akan memilik tanggung jawab atas segala risiko perusahaan yang muncul.
Sebagai contoh, jika pelaku UMKM yang menjalankan bisnis kelas usahanya masuk dalam kategori mikro. Yang notabene memiliki pekerja yang sedikit, atau usaha yang dijalankan justru tenaga kerjanya hanya anggota keluarganya sendiri. Maka menuntut si pemilik usaha memahami konsep 3LD, dan bisa jadi bertanggung jawab langsung terhadap risiko sekaligus mengelola risiko itu sendiri.
Baca juga: Pengembangan UMKM Berbasis Risiko Reputasi
Jika sudah mampu mengenali kelas usaha perusahaan, maka selanjutnya pelaku UMKM dan setiap pekerjanya harus dipastikan memahami pekerjaan utamanya. Dan bagian dari pekerjaan utamanya tersbeut melekat kewajiban untuk mampu mengidentifikasi risiko serta mampu mengelola risiko. Yang artinya setiap pekerja melakukan tugas utamanya dan memahami bagaimana proses pengendalian internal.
Selajutnya kita menjabarkan bagaimana implementasi 3LD tadi dalam konteks pelaku usaha mikro. Pada lini pertama, pastikan bahwa setiap sumber daya manusia (SDM) yang menjalankan aktivitas bisnis setiap hari (operasional) berjalan dengan semestinya. Sekalipun ada banyak gangguan operasional yang disebabkan oleh munculnya sejumlah risiko lain seperti risiko pasar, risiko likuiditas, hingga kesalahan manusia (human error). Maka pastikan bahwa operasional perusahaan tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Ilustrasi sederhanya begini, misalkan ada pedagang ayam penyet yang terganggu dengan kenaikan harga kebutuhan pangan (adging ayam, minyka goreng, cabai, bawang, dll), harga BBM, Listrik, Kesulitan Modal, hingga masalah lainnya. Namun selama usaha tetap berjalan (berdagang) seperti biasa, maka lini pertama (operasional) telah mampu kita penuhi.
Dan untuk memastikan bahwa operasional perusahaan tetap berjalan. Maka pemilik usaha atau pekerja di lini pertama harus juga memastikan tidak ada risiko operasional yang mungkin akan terjadi. Semua masalah kenaikan harga pangan atau enerji tidak menghalangi usaha untuk tetap beroperasi. Dan memastikan semua alat yang mendukung operasional dalam kondisi bisa digunakan, ditambah penempatan orang yang memang kompeten di bidangnya dalam menudukung kegiatan operasional perusahaan.
Pada lini kedua, maka fungsi monitoring, evaluasi dan rekomendasi yang perlu di tekankan disini. Jika para pekerja dilini kedua ini juga diisi oleh pemilik perusahaan. Atau kelas usaha masih berada di level mikro. Pada dasarnya proses pekerjaan di lini kedua ini menjadi sangat sederhana, karena proses pemberian rekomendasi, atau kontrol kebijakan hingga rekomendasi kebijakan menjadi lebih cepat dan mudah.
Di lini kedua, penekanan pekerjaan tetap terfokus pada proses pengembangan manajemen risiko serta pengendalian internal perusahaan. Sebagai ilustrasi, sekalipun lini pertama yang mencakup segala kebutuhan operasional berjalan sebagaimana mestinya. Namun, di lini kedua jika ditemukan risiko adanya kemungkinan kapasitas produksi tidak mampu terpenuhi seperti biasanya. Maka di lini kedua ini akan memberikan masukan dan saran yang akan diambil nantinya.
Sebagai contoh, usaha ayam penyet mengalami gangguan karena pasokan cabai rawit menipis dipasar dan harganya menjadi sangat mahal. Sehingga dengan keterbatasan bahan baku tersebut, kebutuhan akan ayam potong yang diperuntukkan untuk dijual menjadi lebih sedikit. Produksi menurun, yang akan memberikan dampak besar terhadap kemungkinan penurunan omset penjualan.
Sehingga perusahaan bisa mencari alternatif pengganti cabai rawit, meskipun nantinya akan berhadapan dengan tantangan bagaimana menjaga mutu produk ayam penyet perusahaan. Berbeda halnya jika perusahaan memiliki skala bisnis yang besar. Tentunya rekomendasi tersebut akan disampaikan oleh pekerja yang ditempatkan di lini kedua pertahanan. Sehingga memunculkan proses lanjutan yang dibutuhkan.
Selanjutnya adalah lini ketiga, dimana di lini tersebut dibutuhkan orang yang independen yang melakukan audit atau supervise menyeluruh operasional usaha. Di perusahaan besar internal audit bisa merupakan pihak independen yang akan memberikan penilaian terhadap semua proses kerja dari awal hingga akhir. Namun bagaimana penerapan lini ketiga dalam usaha yang kelasnya masih usaha mikro. Dimana keterlibatan dalam setiap lini justru perannya masih dipegang oleh si pemilik usaha.
Maka agar pemilik usaha melakukan evaluasi terhadap seluruh proses kerja yang dilakukan secara mandiri. Si pemilik juga harus memiliki sejumlah aspek penilaian yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam menentukan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Seperti membandingkan kinerja usaha hari ini dibandingkan dengan hari sebelumnya.
Dimana jika dinilai kinerja perusahaan mengalami penurunan, lantas pemiliki bisa melakukan identifikasi dalam apa saja masalah yang harus diatasi untuk memulihkan kinerja perusahaan. Adapun aspek yang dijadikan objek penilaian ada banyak hal. Bisa dimulai dari biaya input produksi, kualitas produk, capaian penjualan, penggunaan bahan baku, penurunan kualitas alat produksi, permodalan, tenaga kerja, dan banyak hal lain yang bisa dilakukan.
Baca juga: 50 Persen UMKM RI Manfaatkan Teknologi Digital, Untuk Apa Saja?
Bila perlu libatkan konsumen sebagai bagian dari penilai perusahaan. Walaupun konsumen justru merupakan pihak yang kemungkinan hanya akan menilai dari sisi produknya saja. Akan tetapi masukan dari konsumen bisa dijadikan rujukan pengambilan kebijakan yang bisa dijadikan rumusan kebijakan dalam proses internal kontrol selanjutnya.
Harapannya, jika perlaku UMKM mampu menerapkan pertahanan 3LD tersebut, maka kesinambungan usaha pelaku UMKM atau upaya untuk naik kelas bisa terwujud. Walaupun implementasi 3LD ini bisa beragam di masing masing UMKM. Akan tetapi setidaknya ada 3 prinsip dasar yang bisa dipegang oleh pelaku UMKM.
Di lini pertama (1st Line of Defense) adalah fungsi sebagai pihak yang bertanggung jawab atas operasional usaha sekaligus menjadi pemilik resiko UMKM. Di lini kedua (2nd Line of Defense) adalah fungsi yang bertanggung jawab dalam merumuskan, memberi masukan, mengevaluasi dan memastikan pengendalian internal sudah dijalankan di lini pertama. Dan lini ketiga (3rd Line of Defense) adalah fungsi usaha yang memberikan penilaian dan evaluasi terhadap kinerja UMKM secara independen.
Akhir kata, mencintai UMKM itu berkah dan mulia.