Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank
PRESIDEN Prabowo Subianto yang akan dilantik pada 20 Oktober 2024 ingin pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8%. Namun, mesin ekonomi Indonesia tidak memiliki kapasitas untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi 6% ke atas. Selama 10 tahun dari 2014 sampai 2023, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata hanya 4,11% per tahun atau 4,90% per tahun jika mengeluarkan tahun pandemi 2020. Bahkan, sejak era reformasi 1998 ekonomi Indonesia tidak pernah mencapai 7%. Pertumbuhan ekonomi di atas 7% hanya pernah diraih Indonesia pada zaman Orde Baru, itupun karena berkat booming minyak pada periode 70-an hingga awal 80an.
Dalam 2024 Article IV Consultation, International Monetary Fund (IMF) memprediksi ekonomi Indonesia pada 2025-2029 tumbuh konstan 5,1%. Artinya, pertumbuhan ekonomi tersebut sedikit lebih baik dari apa yang dicapai pada masa pemerintahan Jokowi. Pertumbuhan ekonomi sulit menembus 7% karena berbagai masalah klasik. Padahal, Indonesia memiliki sumber daya ekonomi yang besar berupa sumber daya alam (SDA) dan populasi besar yang didominasi usia produktif.
Baca juga: Bank Mandiri: Program MBG Prabowo Berpotensi Tingkatkan Ekonomi 1,94 Persen
Pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di level 5% karena biaya pembangunan di Indonesia yang sangat besar seperti terindikasi dari tingginya incremental capital output ratio (ICOR). ICOR Indonesia mencapai 6,5 atau jauh di atas rata-rata ICOR negara-negara ASEAN yang hanya 3,7. Makin tinggi ICOR kian tidak efisien ekonomi suatu negara. Sebab, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 1% di Indonesia, dibutuhkan tambahan rasio investasi terhadap PDB sebesar 6,5.
Banyak faktor yang membuat nilai ICOR Indonesia tinggi mulai birokrasi yang korup, mahalnya ongkos produksi, hingga tingginya biaya logistik. Sejak pemerintahan Orde Baru hingga sekarang, Indonesia belum beranjak dari peringkat tertinggi negara terkorup di dunia. Transparency International pun melaporkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2023 jatuh ke peringkat 115, lebih buruk dari peringkat 110 pada 2022 dan 96 pada 2021.
Aparat pemerintah, termasuk aparat hukum yang seharusnya menjadi penegak hukum, justru ikut terlibat di dalamnya. Seperti pernah dianalisis Begawan Ekonomi Profesor Sumitro Djojohadikusumo, ayah dari Prabowo Subianto, dana pembangunan di Indonesia mengalami pemborosan atau kebocoran yang begitu besar, seperti terindikasi dari ICOR yang tinggi.
Pada penghujung tahun 1993, Soemitro yang meninggal dunia pada 2001 pernah menghitung bahwa dana pembangunan negeri ini telah mengalami kebocoran hingga 30%. Angka itu diperoleh dari ICOR Indonesia yang pada waktu itu sebesar 5, sementara ICOR rata-rata negara ASEAN sekitar 3,5. Selisih ICOR Indonesia dan rata-rata negara ASEAN yaitu 1,5 dibagi 5 kemudian dikalikan 100% hasilnya 30%.
Apabila menggunakan perhitungan tersebut, dengan nilai ICOR Indonesia saat ini 6,5 sementara ICOR rata-rata ASEAN 3,7 maka ada selisih 1,8. Apabila selisih 1,8 dibagi 6,5 dikalikan 100%, maka pemborosan atau kebocoran dana pembangunan di Indonesia sebesar 27,69%.
Baca juga: Ekonomi RI Ditargetkan 8 Persen, Wamenkeu Thomas: Perlu Sumber ‘Mesin Baru’
Jika kebocoran tersebut bisa berasal dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN) yang sebesar Rp3.304 triliun, maka terjadi kebocoran sebesar Rp914,87 triliun. Pantas semua orang berlomba masuk ke lingkaran kekuasaan baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, untuk bisa mengakses berbagai sumber daya ekonomi yang dimiliki negara, termasuk sumber daya alam.
Seperti apa arah kebijakan ekonomi pemerintahan Prabowo Subianto? Apa yang menyebabkan dana pembangunan di Indonesia sangat mahal dibandingkan rata-rata di negara-negara di ASEAN? Seperti apa proyeksi pertumbuhan ekonomi, kredit perbankan, dan lembaga keuangan non bank tahun 2025? Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 558 Oktober 2024!