Jakarta – Rencana membentuk holding BUMN migas yang diupayakan pemerintah menuai kontroversi. Pasalnya, dengan menghapus status salah satu BUMN timbulkan kesan menghindari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan pengawasan DPR.
“DPR kan memandang bahwa jika holding migas yakni menjadikan Pertamina induk dan menghapuskan status BUMN PGN, terkesan menghindari DPR dan audit keuangan BPK. Kalau ada apa-apa ‘kan yang maju holdingnya, PGN nanti tidak punya kewajiban ke DPR maupun ke BPK,” kata Anggota BPK Achsanul Qasasi saat dihubungi wartawan, Kamis, 1 April 2016.
BUMN, sambung Achsanul bermasalah dalam hal efisiensi. Di mana anak usaha juga terkadang membebani induknya.
“Dan DPR sendiri tidak bisa mengurusi anak usahanya dan BPK juga. Efisiensi pun menjadi bias. Pertamina buat anak usaha Pertagas, kemudian ada Waskita buat Waskita Beton,” katanya.
Menurutnya, holdingisasi haruslah bertujuan untuk masyarakat banyak dan memberikan efisiensi kepada BUMN itu sendiri. Lebih jauh BUMN yang mendapatkan tugas negara seperti PSO atau Public Service Obligation harus diaudit oleh BPK. Hal ini sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada negara.
Jika PGN tidak lagi jadi BUMN maka fungsi kewajiban pelayanan umum (public service obligation/PSO) hilang. PGN tidak dapat bertindak sebagai perintis kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan swasta, dan tidak lagi memperoleh prioritas alokasi gas bumi. (*) Dwitya Putra