Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group
SESUNGGUHNYA, pertumbuhan ekonomi Indonesia itu KW2. Selama hampir 10 tahun terakhir ini, pertumbuhan ekonomi kita tidak berkualitas. Bahkan, ada yang menyebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh utang. Pemerintahan Prabowo mendatang harus mengoreksi kebijakan ekonomi Jokowi yang tidak pro penyerapan tenaga kerja.
Indonesia disayang Tuhan. Simak saja! Mau ada badai ekonomi di dunia atau tidak, mau ada perang atau tidak. Juga, mau tambah utang atau tidak, berapa kali reshuffle jajaran menteri, berapa pun bansos digulirkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap di kisaran 4,9 -5,3 persen.
Istilah penulis, Indonesia bolone Gusti Allah. Temannya Tuhan, dan karena temannya, maka terus disayang Tuhan. Diberi berkah pertumbuhan, meski dengan kualitas rendah, atau KW2, seperti kata seorang kawan. Pertumbuhannya dari sisi konsumsi. Pertumbuhan didorong oleh utang yang terus mendaki menjadi Rp8.338 triliun. Utang terus menggunung dari posisi 2014 yang sebesar Rp2.600 triliun. Lebih dari tiga kalinya.
Pemerintahan Jokowi memasuki babak akhir. Namun, Jokowi masih tampak “cawe-cawe”. Reshuffle kabinet dilakukan, dan membiarkan ekonomi bergerak sendiri. Jika di zaman SBY terkenal dengan istilah auto pilot, sementara di zaman Jokowi istilahnya auto rejected – segala permasalahan selesai dengan sendirinya. Selama sembilan tahun, perekonomian tidak juga tumbuh 7 persen, seperti dijanjikan Jokowi dalam kampanyenya.
Baca juga: Ini Bukti Nyata Pentingnya Peran Kelas Menengah untuk Ekonomi Indonesia
Pertanyaannya, apakah Tuhan masih akan memberi berkah pertumbuhan untuk ekonomi Indonesia? Atau, masih tetap tumbuh, tapi dengan susah payah dan dengan kualitas yang makin rendah, dari KW2 jadi KW3? Inilah momentum bagi pemerintahan Prabowo. Harus bisa mengubah menjadi ekonomi berkualitas yang dapat menyerap tenaga kerja. Anak-anak muda harus bekerja agar tidak masuk dalam jebakan kelas menengah. Agar kelas menengah tidak banyak yang jatuh menjadi miskin.
Laporan Kompas menyebutkan, Gen Z (lahir 1997-2012) makin sulit cari kerja di sektor formal. Selama 15 tahun terakhir, serapan tenaga kerja di sektor formal terus menyusut. Gen Z juga makin sulit mencari kerja di sektor informal dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Di periode kedua pemerintahan rezim Jokowi tampak makin sempit lapangan pekerjaan.
Lihat saja data Badan Pusat Statistik (BPS). Selama periode 2009-2014, serapan tenaga kerja di sektor formal sebanyak 15,6 juta orang. Jumlahnya menurun menjadi 8,5 juta orang pada periode 2014-2019, dan merosot tajam pada periode 2019-2024 menjadi 2 juta orang. Tidak hanya itu. Waktu menunggu kerja juga makin lama. Pendek kata, habis lulus sekolah atau kuliah tidak langsung kerja, tapi masih menunggu relatif lama.
Sementara, pemutusan hubungan kerja (PHK) juga sedang menjadi wabah. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), ada 45.000 orang yang terkena PHK. Tapi, jumlah itu diragukan, karena banyak perusahaan yang tidak melapor. Di lain sisi, harga-harga kebutuhan sehari-hari terus naik tak terbeli. Inflasi bahan makanan masih tinggi. Hidup jadi terasa sesak untuk kelompok menengah bawah yang pengeluarannya lebih banyak untuk makan.
Di tengah pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh utang, menurut catatan Infobank Institute, ada tiga horor dalam perekonomian. Satu, suku bunga dan inflasi tinggi yang terjadi di global. Horor ini akan selesai jika Amerika Serikat (AS) tidak melanjutkan tren suku bunga tinggi. Namun, bisa saja kebijakan suku bunga ini akan berakhir pada akhir tahun ini. Bank Indonesia (BI) hampir pasti menyesuaikan penurunan suku bunga ini. Tentu jika nilai tukar rupiah sudah dapat dikendalikan.
Dua, perang dagang dan melambatnya perekonomian dunia. Dua hal ini berpengaruh besar pada ekonomi Indonesia. Selain impor yang masih besar, tentu ekspor juga sulit dilakukan karena adanya blok-blok perdagangan dunia.
Menurut Sri Mulyani Indrawati, Menkeu RI, pada 2023, ada 3.000 trade restriction diberlakukan. Padahal, pada 2019, awal mula terjadinya perang dagang, pembatasan hanya dilakukan untuk 982 jenis barang. Pembatasan diperkirakan bakal meningkat lagi tahun ini.
Tiga, perubahan iklim yang membuat ekonomi Indonesia kepanasan. Perubahan iklim menata ulang perekonomian dunia.
Baca juga: Siasat Pemerintahan Prabowo Genjot Ekonomi RI hingga 8 Persen
Pemerintahan Prabowo-Gibran harus mengubah haluan pembangunan. Jika masih menggunakan cara Jokowi yang tampak berbuat baik kepada rakyat dengan program bagi-bagi sembako, tidak akan mengubah jumlah serapan tenaga kerja. Gaya bagi-bagi sembako hanya menunjukkan sisi orang baik. Tapi, sebagai presiden, harusnya punya tanggung jawab membuat kebijakan agar ekonomi tidak tumbuh berkualitas KW2.
Jangan biarkan ekonomi Indonesia tumbuh dengan kualitas KW2. Karena itulah, mumpung Indonesia masih disayang Tuhan, pemerintahan Prabowo harus mengoreksi seluruh kebijakan Jokowi yang hasilnya tidak sesuai dengan janji. Padahal, janjinya, pertumbuhan ekonomi 7 persen. Jangan biarkan masyarakat miskin terus-terusan dihibur dengan judi online (judol) dan terjebak utang.
Pemerintahan Prabowo harus mengubah haluan pembangunan ekonomi. Stop cara cara Jokowi “beternak” orang miskin untuk kepentingan politiknya. Rakyat sudah hidup sangat susah. (*)