Waktunya Tiba, Gelombang Pergantian Direksi Komisaris BUMN

Waktunya Tiba, Gelombang Pergantian Direksi Komisaris BUMN

Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group

“THE Winner Takes It All”. Judul lagu dari ABBA yang dirilis pada 1980 itu kini sedang berkumandang di Indonesia. Memang pemerintah baru belum terbentuk, tapi pemegang kekuasaan sudah mulai “mengambil” apa yang bisa mereka ambil, “menggotong” apa yang bisa mereka gotong. Kursi menteri contohnya, seperti di Kementerian Pertanian dan Kementerian Keuangan. Sejalan dengan itu, pos-pos direksi dan komisaris badan usaha milik negara (BUMN) juga sudah diduduki oleh orang-orang yang “berjasa” menaikkan Prabowo Subianto menjadi presiden.

Menurut catatan Biro Riset Infobank (birI), hingga awal Agustus 2024 sudah ada 20 BUMN yang melakukan pergantian direksi serta komisaris. Dan, sebagian besar posisi komisaris dan direksi itu bukanlah di BUMN duafa, melainkan di BUMN yang kelas gaji, bonus, dan tantiemnya aduhai. 

Seperti Pertamina dan beberapa anak usahanya. Juga Perusahaan Listrik Negara (PLN), Perusahaan Gas Negara (PGAS), PT Timah, MIND.ID, dan PT Hutama Karya. Tapi, ada juga yang di BUMN kelas lebih rendah, seperti Perhutani, Indofarma, dan Kimia Farma, yang lebih dulu melakukan pergantian. 

Jujur, sebenarnya pergantian pengurus perusahaan terbatas tergantung pemegang saham, dan untuk perusahaan negara pemiliknya juga negara yang diwakili oleh Kementerian BUMN.

Jumlah BUMN di Indonesia menurut data dari Kementerian BUMN sebanyak 142 perusahaan. Itu tidak termasuk anak, cucu, cicit BUMN. Jumlahnya ratusan perusahaan. Malah mungkin bisa ribuan. Bahkan, akhir tahun lalu, Erick Thohir, Menteri BUMN, pernah menyebut akan membubarkan 600 anak, cucu, cicit BUMN.

Baca juga: Top! BRI Jadi BUMN Penyetor Dividen Terbesar pada 2023

Tidak semua BUMN kondisinya sehat. Ada beberapa BUMN yang selamanya duafa, kecil dan tak menghasilkan laba, dan tentu tak memberikan dividen kepada negara. Masih banyak BUMN yang jadi sarang “perompak”. Seperti kasus di Indofarma, yang bahkan direksinya melakukan pinjaman online (pinjol). 

Memang ada beberapa BUMN yang langganan menyumbang dividen jumbo. Ada sebanyak 20 BUMN yang menyumbang dividen kepada negara. Total angkanya sebesar Rp85,5 triliun. Mereka adalah BRI, Bank Mandiri, MIND.ID, Pertamina, Telkom, BNI, PLN, Pupuk Indonesia, Pelindo, BTN, dan 10 BUMN lainnya. 

Menurut data, besaran PMN (2024-2025) untuk BUMN adalah Rp57,96 triliun. Angkanya masih lebih kecil ketimbang setoran dividen BUMN yang diterima negara. Ini artinya, PMN bersumber dari dividen BUMN, bukan dari utang. Selama ini, nyatanya tidak semua kucuran PMN itu mampu memperbaiki kinerja BUMN. Lihat saja BUMN karya. Seperti tak pernah berhenti kucuran PMN untuk mereka. PMN dikucurkan karena BUMN rusak akibat kebobrokan pengurusnya. Pendek kata, jika tata kelola ”ugal-ugalan” PMN akan mubazir dan akan terus ”donor” uang dari ”kocek” negara.

Menurut catatan Biro Riset Infobank, selama 2020-2024 (termasuk PMN untuk tahun 2025) jumlah PMN yang diguyur ke BUMN mencapai Rp253,96 triliun. Sementara dividen yang disetor ke kas negara sebesar Rp273,5 triliun. Jadi selama lima tahun BUMN ini hanya berkontribusi tak lebih dari Rp20 triliun, dan angka itu akan lebih besar jika memperhitungkan dividen tahun 2024. Jelas ini perlu dilakukan peningkatan, meski kontribusi pajak dari aktivitas BUMN juga besar, apalagi ketika terjadi COVID-19, peran BUMN teramat penting.

Ada beberapa BUMN yang langganan ”donor uang” seperti BUMN karya-karya yang ”kekenyangan” pinjaman, dan juga karena ada BUMN salah urus akibat pengurusnya ”amburadul” seperti Jiwasraya. Meski PMN tidak lagi memakai utang negara, tapi harusnya jangan sampai PMN hanya menutup BUMN yang salah kelola dan bukan untuk ekspansi atau menaikan kapasitas. Lebih banyak PMN untuk mengobati BUMN akibat salah urus dan direksinya ”kriminal”.

Selain karena pasar, rusaknya BUMN lebih banyak karena kapasitas pengelola. Soal integritas dan governance dari pengelola. Sering dicap sebagai ”sapi perah” oleh siapa saja yang punya kekuasaan. Jadi, sudah sewajarnya pengelolaan BUMN selalu dengan pendekatan korporasi yang baik. Selama lima tahun terakhir terlihat BUMN dikelola dengan pendekatan korporasi. Tapi tetap saja tidak luput dari intervensi politik balas jasa. Pergantian direksi dan komisaris sering tidak transparan, dan jujur dari lingkaran ”itu-itu” saja yang belum tentu kualitasnya baik.

Namun, kalau berkaitan dengan urusan kekuasaan, memang sulit bagi BUMN untuk mengelakkannya. BUMN tak berdaya menolak orang titipan dari atas, yaitu kekuasaan. Mereka adalah para anggota tim sukses. Mau orang titipan, para tim sukses, boleh-boleh saja menjadi komisaris atau direksi BUMN sepanjang punya kapasitas. Wajar-wajar saja. Asal jangan menaruh orang di BUMN karena pertimbangan tim sukses, atau orang dengan standar KW2, atau bahkan KW3. Tim sukses tidak salah, tapi unsur kapasitas menjadi penting dalam BUMN.

Tampaknya kebiasaan itu akan terulang. Hari-hari ini, nama-nama yang menjadi Tim TKN Prabowo-Gibran satu per-satu sudah mulai masuk jajaran komisaris sejumlah BUMN. Sebut saja Fuad Bawazier, Grace Natalie, Burhanuddin Abdullah, dan Andi Arief. Ada juga Prabu Revolusi. Pergantian komisaris di jajaran BUMN tampaknya akan terus berlangsung. Apalagi, dari 270 tim sukses TKN masih banyak yang belum kebagian kursi empuk di BUMN. Selain tim sukses TKN, ada kelompok-kelompok pendukung yang tersebar di mana-mana.

Pergantian Agus D. Martowardoyo di PLN oleh Burhanuddin Abdulah, ditafsirkan mempunyai ”dimensi” lain, karena Agus Martowardoyo mempunyai nama yang kredibel, dan jaminan mutu selama di lingkungan BUMN dan pemerintahan. Agus Marto mantan dirut Mandiri, mantan Menkeu, dan mantan Gubernur BI. Jam terbang tinggi, kemampuan dan kredibilitasnya tak diragukan. 

Namun masih saja, pergantian Agus Marto tetap ada tanya tanya, apalagi usia jabatanya belum setahun. Plus lagi yang ”mencopot” adalah anak buahnya sendiri Kartiko Wiryoatmodjo  di Mandiri — mewakili Kementerian BUMN. Ini kalau tidak urusan ”politik” tentu tak akan terjadi. Atau, karena ini sebuah signal dari era pemerintahan mendatang?

Deretan nama itu diperkirakan akan lebih panjang jika menghitung jumlah tim sukses pemenangan Prabowo-Gibran. Cara-cara lama inilah yang tidak membuat BUMN benar-benar sehat, segar bugar. Bandingkan dengan sektor swasta. Penempatan direksi dan komisaris di BUMN boleh saja sesuai dengan keinginan dan visi pemerintah. Tapi, prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) tetap tak boleh diabaikan. Prinsip-prinsip korporasi tidak boleh ditaruh di “ketiak” Kementerian BUMN akibat tekanan politik, dan tentunya politik harus tahu diri dengan etika dan kepatutan.

Selain itu, harus mengikuti aturan Kementerian BUMN, seperti pengurus partai tidak boleh duduk di BUMN. Ini harus ditegakkan. Jangan sampai semua lini diisi oleh orang-orang partai. Simak, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga diramalkan akan dipenuhi orang-orang partai. Bisa jadi KPK juga ada ”utusan” partai. 

Baca juga: Daftar Politisi yang Diberi “Jatah” Jabatan Komisaris BUMN oleh Jokowi

Sendi-sendi negara sudah ”berlumpur” politik, termasuk olah raga, seperti PBSI yang mengurus bulu tangkis yang ”bertabur orang politik”. Kita tidak mengatakan politik itu tidak baik, tapi setiap bagian punya tugas masing-masing dan kemampuan sendiri-sendiri. 

Jangan lagi ada istilah the winner takes it all di tubuh BUMN. Harus disisakan untuk para profesional yang lebih hebat. Bahwa ada penyesuaian visi dari pemerintah itu adalah biasa, tapi tidak serta-merta mengisi kursi komisaris dan direksi BUMN dengan orang-orang yang tak punya kapasitas. Balas jasa boleh, akan tetapi, tidak untuk mengurus korporasi yang penuh persaingan ini yang berdampak pada setoran modal negara jika terjadi kerusakan. 

Tapi, tampaknya gelombang pergantian direksi BUMN akan terus terjadi. Tidak bisa dibendung, dan orang-orang politik yang ikut berjasa akan minta jatah bak meminta ”warisan”. Padahal, BUMN itu Badan Usaha Milik Negara bukan ”Badan Usaha Milik Nenek” moyangnya. Dan, tampaknya ini akan berulang. Jadi BUMN akan begitu-begitu saja lagi yang terus tambah PMN.

Pemenang tidak seharusnya mengambil semua. The winner doesn’t have to take it all. Namun tampaknya waktu telah tiba, dag-dig dug telah melanda direksi dan komisaris BUMN di hari-hari ini.

Related Posts

News Update

Top News