Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana mengungkap, terdapat sejumlah ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan untuk menjerat ‘Pemilik Manfaat’ atau Beneficial Owner sebagai pelaku kejahatan korporasi, seperti yang terjadi dalam kasus bos Grup Kresna Michael Steven.
Ia mengatakan, tiga di antaranya yakni Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Perpres 13/2018).
Kedua, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi (Permenkumham 15/2019).
Baca juga : Kasus Kresna Life Modus Lama yang Harus Ditindak Tegas dan Tidak Dikasih “Karpet Merah”
“Pemegang saham itu bukan hanya atas nama yang ada di dalam anggaran dasar, tapi dia bisa jadi tidak muncul dalam anggaran dasar dan manfaatnya dia terima,” jelas Denny dalam webinar InfobankTalksnews bertajuk “Membongkar Kejahatan Koorporasi di Sektor Keuangan”, Rabu, 24 Juli 2024.
Ketiga, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10 /POJK.04/2018 Tentang Penerapan Tata Kelola Manajer Investasi (POJK 10/2018).
“Termasuk juga peraturan OJK dengan jelas mengatakan bahwa pemegang saham pengendali adalah pihak yang secara langsung atau tidak langsung. Kalimat tidak langsung ini penerima manfaat yang harus diantisipasi,” jelasnya.
Dalam aturannya secara regulasi, sebenarnya kata Denny, beneficial owner sebagai modus kejahatan sudah diantisipasi oleh penegak hukum. Sayangnya, tidak sedikit oknum penegak hukum tidak memahami, tutup mata, atau bahkan mengenyampingkan ketentuan-ketentuan ini.
Baca juga : Rugikan Pemegang Polis, Bos Kresna Life Harus Tanggung Jawab
Sehingga, dengan mudah para penjahat tersebut berlindung di balik topeng Penerima Manfaat. Di mana, yang dikedepankan adalah anggaran dasar tidak menyebut yang bersangkutan pemegang saham sehingga tidak bisa dianggap sebagai bertanggung jawab.
“Ini yang terjadi kalau kita mau telaah di kasus Kresna Life ini. Keputusan-keputusannya mengatakan tersangka MS misalnya membatalkan sanksi administratif, perintah tertulis dan lain-lain,” jelasnya.
Dalam kasus Kresna Life, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengajukan memori kasasi ke Mahkamah Agung (MA) buntut putusan tingkat banding yang dikeluarkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Sebelumnya, PTUN sendiri mengabulkan gugatan Michael Steven terhadap OJK untuk membatalkan sanksi administratif dan Perintah Tertulis yang dikeluarkan OJK.
Dalam perkara dimaksud, MS keberatan atas sanksi denda sebesar Rp5,7 miliar dan perintah tertulis berupa larangan sebagai pemegang saham, pengurus, dan/atau pegawai di Lembaga Jasa Keuangan bidang Pasar Modal selama lima tahun.
Aksi MS melakukan modus kejahatan di Kresna Group pun mulai terungkap. Di mana, ia sengaja menempatkan dirinya sebagai pemilik manfaat terakhir (ultimate beneficial owner) PT Kresna Asset Management agar kejahatannya terlindungi.
Ia melakukan serangkaian intervensi atas kontrak pengelolaan dana dari PT Kresna Asset Management untuk melakukan transaksi demi kepentingan grup Kresna, sehingga merugikan konsumen. (*)
Editor : Galih Pratama