Oleh Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch
KEHADIRAN UU No. 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) adalah baik untuk mendukung semua masyarakat memiliki rumah. Rumah adalah kebutuhan pokok bagi semua rakyat.
Pada awalnya hanya kebutuhan perumahan bagi pegawai negeri yang dikelola dalam program pemerintah yang bernama Taperum, yaitu untuk memberikan rumah kepada PNS, namun dengan hadirnya UU No 4 tahun 2016 junto PP No 25 Tahun 2020 junto PP 21 tahun 2024, maka seluruh pekerja dan masyarakat mandiri diikutkan dalam penyediaan perumahan tersebut.
Kepesertaan Tapera diatur di Pasal 7 UU Tapera, yaitu di ayat (1) Setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta. Dan ayat (2) menyatakan Pekerja Mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berpenghasilan di bawah upah minimum dapat menjadi peserta.
Pasal 9 Ayat (1) UU Tapera mengamanatkan Pekerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) wajib didaftarkan oleh pemberi Kerja. Dan Ayat (2)-nya menyatakan Pekerja Mandiri sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) harus mendaftarkan dirinya sendiri kepada BP Tapera untuk menjadi peserta.
Pasal 18 ayat (1) menyatakan Pemberi Kerja wajib membayar Simpanan yang menjadi kewajibannya dan memungut Simpanan yang menjadi kewajiban Pekerjanya yang menjadi peserta. Dan ayat (2)-nya menyatakan Pemberi Kerja wajib menyetorkan Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam rekening Peserta yang dikelola oleh Bank Kustodian.
Tentunya keikutsertaan pekerja swasta/BUMN/D dalam UU Tapera ini perlu mendapatkan beberapa kritisi yang perlu disampaikan yaitu:
Pertama, sebagai amanat Pasal 7, 9 dan 18 UU Tapera, pekerja dan pengusaha diwajibkan ikut Tapera dengan membayar iuran 2,5 persen dari pekerja dan 0,5 persen dari pengusaha seperti yang diamanatkan Pasal 15 ayat (2) PP No. 25 Tahun 2020, namun pekerja tidak otomatis mendapat manfaat Tapera, yaitu KPR, Pembangunan Rumah, dan perbaikan (renovasi) Rumah.
Mengacu pada 38 ayat (1b dan 1c) mensyaratkan pekerja yang termasuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dan belum memiliki rumah. Akan ada pembatasan upah yang menjadi kriteria penerima manfaat Tapera (sebagai kriteria golongan MBR).
Baca juga: Berat! Di Zaman “Distrust”, Gaji Karyawan Kena “Palak” untuk Tapera, Apa Urgensinya?
Demikian juga ketentuan pada Pasal 39 ayat (2c) menyatakan pemberian manfaat berdasarkan tingkat kemendesakan kepemilikan rumah yang dinilai oleh BP Tapera, artinya BP Tapera akan menentukan juga akses peserta ke manfaat Tapera.
Jadi pekerja swasta/BUMN/D diwajibkan menjadi peserta Tapera tetapi tidak mendapat manfaat seperti pekerja yang memiliki upah di atas kriteria MBR.
Dilansir dari website BP Tapera, Selasa (28/5/2024), yang dimaksud dengan MBR adalah mereka yang berpenghasilan maksimal Rp8 juta per bulan dan Rp10 juta per bulan untuk wilayah Papua dan Papua Barat.
Pekerja dengan upah di atas Rp8 juta dan di atas Rp10 juta untuk wiayah Papua dan Papua Barat, sebenarnya juga masih sulit mengakses pinjaman KPR untuk memiliki rumah, tapi di Tapera tidak berhak mendapat manfaat Tapera.
Kedua, dana yang dipupuk di Tapera tidak mendapatkan kepastian imbal hasilnya, yang nanti ditentukan secara subyektif oleh BP Tapera. Hal ini berbeda dengan dana JHT di BPJS Ketenagakerjaan yang imbal hasilnya minimal sama dengan rata-rata deposito bank pemerintah. Dan selama ini rata-rata imbal hasil yang dikembalikan kepada peserta JHT adalah di atas 1 hingga 2 persen di atas rata-rata suku bunga deposito pemerintah.
Ketiga, saat ini sudah ada fasilitas perumahan bagi pekerja formal swasta dan BUMN/D di BPJS Ketenagakerjaan yang diatur dalan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 17 Tahun 2021 (junto Permenaker no. 35 Tahun 2016) tentang Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan program JHT, yang memberikan manfaat yang sama dengan UU Tapera yaitu KPR, Pembangunan rumah, atau Renovasi rumah.
Di Permenaker no. 17 Tahun 2021, nilai besaran Program Uang Muka Perumahan yang diberikan kepada Peserta paling banyak sebesar Rp150 juta, untuk KPR paling banyak Rp500 juta, dan untuk renovasi paling banyak Rp200 juta.
Selain MLT Perumahan, pekerja formal swasta/BUMN/D pun bisa menggunakan Pasal 37 ayat (3) UU SJSN untuk menggunakan paling banyak 30 persen dari saldo JHT-nya untuk perumahan, setelah menjadi peserta minimal 10 tahun.
Jadi, ada overlapping antara MLT Perumahan (dan Pasal 37 UU SJSN) dengan UU Tapera. Oleh karenanya, maksimalkan saja MLT perumahan dan Pasal 37 UU SJSN untuk keperluan perumahan pekerja sehingga pekerja dan pengusaha swasta/BUMN/D tidak perlu lagi dibebani dengan wajib membayar iuran di Tapera.
Ketentuan Permenaker 17 Tahun 2021 harus diperbaiki khususnya tentang suku bunga yang dibayar peserta, yang disesuaikan dengan suku bunga di Tapera. Di UU Tapera pun peserta yang mendapat manfaat Tapera harus juga membayar bunga pinjaman atas dana yang diberikan BP Tapera, yaitu sekitar 5 persen per tahun.
Saya usul agar kewajiban kepesertaan pekerja swasta/BUMN/D diubah menjadi kepesertaan sukarela sehingga bila ada perusahaan swasta/BUMN/D yang ingin menjadi peserta Tapera ya diperbolehkan, namun bila perusahaan tidak mau menjadi peserta Tapera ya diperbolehkan juga, misalnya nanti dengan menggunakan MLT Perumahan dan Pasal 37 UU SJSN untuk kebutuhan perumahan bagi pekerjanya.
Keempat, dengan diwajibkan membayar iuran 2,5 persen dari pekerja dan 0,5 persen dari pengusaha maka akan menggangu kebutuhan konsumsi buruh dan cash flow perusahaan. Kebutuhan rumah pekerja bisa dijawab oleh MLT Perumahan dan Pasal 37 UU SJSN sehingga pekerja dan pengusaha tidak perlu lagi membayar iuran.
Baca juga: Polemik Iuran Tapera Potong Gaji 2,5 Persen Karyawan, Begini Kata Airlangga
Daya beli buruh akan menurun. Hitungannya begini bila upah minimum (UM) naik rata rata 4 persen. Dengan upah Rp5 juta dan naik UM 4 persen maka secara nominal naiknya Rp200.000. Upah pekerja jadi Rp5.200.000.
Lalu, tiap bulan dipotong Tapera 2,5 persen x Rp5,2 juta = Rp130 ribu. Ini artinya upah buruh naik 70 ribu.
Kalau upah minimum naik 2,5 persen dan potongan upah 2,5 persen untuk Tapera maka akan “impas” sehingga upah buruh benar-benar tergerus oleh inflasi.
Sementara faktanya inflasi lebih dari 4 persen, dan upah dipotong 2,5 persen, dipastikan upah riil buruh semakin terpuruk.
Kelima, kebutuhan perumahan Masyarakat miskin dan tidak mampu belum diakomodir dalam UU Tapera. Seharusnya Pasal 7 ayat (2) UU Tapera dimaknai oleh pemerintah dengan juga memberi prioritas fasilitas perumahan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.
Pembiayaan perumahan rakyat miskin diberikan dengan skema PBI (Penerima Bantuan Iuran) seperti di Program JKN, dengan sumber pembiayaan dari Dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan yang berasal dari APBN.
Dari hal di atas, saya mengusulkan agar pemerintah dan DPR segera merevisi UU Tapera khususnya Pasal 7, 9 dan 18 dengan mengubah kewajiban bagi pekerja formal/BUMN/D menjadi kepesertaan sukarela. Pemerintah sebaiknya fokus saja untuk pemenuhan kebutuhan rumah untuk ASN dan masyarakat mandiri termasuk masyarakat miskin. Lalu, Kementerian Ketenagakerjaan merevisi Permenaker no. 17 tahun 2021 khususnya pada ketentuan suku bunga yang dikenakan pada pekerja yang mendapat manfaat perumahan. (*)