Jakarta – Kegaduhan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang mensyaratkan pemotongan 3 persen gaji karyawan, rupanya bukan kali ini terjadi. Usut punya usut, pro dan kontra pun telah mewarnai aturan ini di zaman pemerintahan SBY-Boediono.
Melansir berbagai sumber, rupanya regulasi Tapera tidak dibuat dalam waktu ‘semalam’. Awal perjalanannya dimulai dari pembahasan jaminan sosial nasional pada 2004.
Saat itu, yang dibahas sebatas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Sayangnya, jaminan akan kebutuhan perumahan tidak dijelaskan secara rinci.
Melihat jaminan ketersediaan perumahan belum tersentuh, lahirlah UU Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan yang dimaksudkan untuk membantu pembiayaan pembelian rumah bagi masyarakat penghasilan rendah.
Baca juga: Berat! Di Zaman “Distrust”, Gaji Karyawan Kena “Palak” untuk Tapera, Apa Urgensinya?
Dalam aturan tersebut baru disebutkan cara pemerintah menyejahterakan masyarakat melalui program Tapera. Program satu ini diharapkan dapat membantu masyarakat dalam hal pembiayaan.
Pada 2016, DPR akhirnya mengesahkan Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Empat tahun berselang, Jokowi akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Aturan itu kembali diubah dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 25/2020 Tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.
Dalam pasal 7 tercantum, pengerahan dana Tapera tak hanya dikumpulkan dari para ASN, TNI, Polri hingga pegawai BUMN saja, melainkan akan turut serta dipungut dari pekerja swasta serta pekerja lain.
Ditolak Wapres Boediono
Kegaduhan iuran Tapera yang terjadi saat ini, membuat Ekonom Ari Perdana buka suara di akun X pribadinya @ari_ap. Ia pun bercerita mengenai Tapera yang sempat ditolak oleh Boediono kala itu.
Ari yang pernah menjabat sebagai Koordinator Kelompok Kerja Kebijakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah pada Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengatakan, Wakil Presiden (Wapres) ke-11, Boediono berupaya agar RUU Tapera tidak lolos di DPR pada periode 2013/2014.
Baca juga: Apindo Tegas Tolak Iuran Tapera: Tambah Beban Baru
“Beliau melihat ide ini memberatkan, sementara benefit buat yang iuran nggak jelas. Tapi ya cuma berhasil ditunda aja sampai akhir periode,” cuitnya, dikutip Rabu, 29 Mei 2024.
Ia melanjutkan, keberatan Boediono saat itu bukan tanpa sebab karena tidak terlepas dari paksaan ‘menabung’ bagi para pekerja untuk ‘rumah’ yang bukan untuk mereka sendiri.
“Keputusan soal rumah yang dibangun bukan ada di penabung. Padahal dia sendiri perlu menabung buat rumah dia sendiri,” sambungnya.
“Kalo lihat di PP BB Tapera kan begitu. Kepesertaan berakhir pas peserta pensiun atau usianya 58. Sementara, orang butuh rumah di usia 20-30an,” tambahnya.
Lanjut, Ari bercerita kekhawatiran Boediono ihwal dana Tapera yang merupakan pooled funds untuk mengatasi soal ketersediaan atau suplai perumahan.
“Kekuatiran Pak Boed, kalau kebijakan berorientasi supply, prakteknya lagi-lagi akan kejar target. ‘1 juta unit rumah. Gampang sih dipenuhinya. Buka aja lahan baru di mana gitu,” katanya.
Hanya saja, masalah perumahan/pemukiman bukan soal ketersediaan rumah semata. Melainkan akses ke tempat kerja dan sarana-sarana lain.
“Tetangga di Benhil, kerjanya supir, bisa nyicil tuh rumah di Karawang coret. Cuma dia tetap tinggal sempit-sempitan di Benhil karena kerjaannya di situ,” pungkasnya.