Oleh Babay Parid Wazdi
KITA kerap mengabaikan dan belum memberikan perhatian besar terhadap UMKM yang mengalami guramisasi di sektor pertanian. Ada peningkatan UMKM terguramisasi dalam 10 tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah petani guram mengalami kenaikan dari 14,25 juta petani di 2013 menjadi 16,89 juta di 2023. Definisi petani guram menurut BPS adalah perorangan atau beserta keluarganya yang melakukan usaha pertanian dengan penguasaan lahan pertanian kurang dari 0,5 hektare (ha).
Yang perlu kita sadari adalah bahwa guramisasi di sektor pertanian akan menimbulkan komplikasi pada gangguan ketahanan pangan, peningkatan biaya input produksi pertanian, penurunan produktivitas pertanian, peningkatan tekanan inflasi, serta penambahan jumlah penduduk miskin. Selain itu, menimbulkan ketergantungan impor yang tinggi, hingga alokasi bantuan sosial (bansos) yang kian membengkak karena banyak masyarakat yang harus dijaga daya belinya lewat bansos.
Petani pelaku UMKM yang menjadi guram jelas kemampuan finansialnya akan melemah, baik untuk bercocok tanam maupun memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika tanpa dibarengi dengan kebijakan penambahan luas areal tanaman, petani kita dapat terjebak dalam kemiskinan struktural yang sulit untuk dientaskan.
Guramisasi akan menjadi ancaman serius bagi bangsa ini yang kian membutuhkan banyak sumber pasokan bahan pangan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Guramisasi di sektor pertanian akan membuat biaya produksi pertanian mengalami peningkatan. Sebab, makin banyak petani yang bergantung pada satu areal lahan pertanian. Sulit bagi bangsa ini untuk membangun kemandirian pangan jika tidak ada upaya penambahan jumlah areal pertanian, atau berinovasi pada teknologi pertanian yang bisa mendorong meningkatkan produksi secara signifikan.
Sebelum sejumlah ancaman guramisasi tersebut membesar, ada baiknya kita mempersiapkan serangkaian kebijakan untuk membangun kemandirian pangan di Tanah Air. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah melakukan intervensi dengan menekan biaya input produksi dan mengintervensi dari sisi tata niaga barangnya dalam bentuk subsidi harga.
Baca juga: Pengembangan UMKM Berbasis Risiko Likuiditas
Langkah pertama untuk menekan biaya input produksi adalah dengan menjamin ketersediaan pupuk (bersubsidi), herbisida, dan pestisida yang terjangkau. Belakangan ini telah terjadi kenaikan biaya input produksi yang dipicu oleh kenaikan harga-harga. Langkahkedua yaitu pengalihan dari mekanisme subsidi produk (pupuk) menjadi subsidi pada individu yang membutuhkan, katakanlah UMKM atau petani guram.
Ketiga, biaya input produksi bisa ditekan dengan memberikan subsidi kegagalan panen. Cara itu akan melindungi petani dari kerugian serta dapat meminimalisasi dampak dari penurunan produksi di masa yang akan datang.
Perlindungan petani dalam bentuk asuransi kegagalan panen bisa menghindarkan kita dari kemungkinan kenaikan harga pangan di masa yang akan datang. Hal itu juga dapat meminimalisasi laju guramisasi lahan pertanian, dan alih fungsi lahan pertanian kita. Diketahui bahwa terjadi penambahan jumlah petani guram di Tanah Air, namun kita kerap lupa bahwa ada cerita di balik data penurunan jumlah luas areal lahan pertanian (guram). Dan, itu sangat potensial memberikan ancaman besar terhadap ketahanan pangan nasional.
Dari hasil observasi disimpulkan bahwa petani yang mengalami kegagalan panen akan membuat geliat mereka untuk bercocok tanam mengalami penurunan. Dan, jika mereka mencoba untuk bertanam kembali, mereka terkendala dengan keterbatasan modal. Kalau sudah begitu, tak jarang mereka pinjam modal kepada rentenir atau pinjol sehingga berpotensi kehilangan aset lahan pertaniannya jika tidak mampu membayar utangnya.
Penambahan jumlah petani guram bisa muncul dengan cara seperti itu. Bukan hanya karena faktor kegagalan panen, faktor penurunan harga jual di bawah harga pokok produksi (HPP) juga akan membuat petani kehilangan kemampuan untuk bercocok tanam dan terlilit utang. Jika dibiarkan dalam waktu lama akan membuat mereka menjadi petani guram, atau yang lebih buruk hanya menjadi buruh tani tanpa memiliki lahan pertanian.
Karena itu, dibutuhkan kebijakan keempat,yakni memberikan subsidi harga jual bagi petani yang dirugikan dari harga jual komoditas yang di bawah HPP. Kebijakan ini bisa mengalihkan sebagian anggaran kebijakan subsidi yang banyak digunakan pemerintah yang nilainya hingga mencapai Rp1.000 triliun lebih yang dialokasikan untuk kebijakan perlindungan sosial (bansos).
Kenapa kita perlu melindungi petani dari kerugian akibat penurunan harga jual di bawah HPP? Karena, penurunan harga jual komoditas di bawah HPP akan membuat petani kekurangan modal untuk bercocok tanam selanjutnya. Yang berarti produksi akan turun dan harga komoditas tersebut berpotensi mengalami kenaikan. Inflasi menjadi sulit dikendalikan nantinya.
Di lain sisi, muncul ketergantungan impor yang tinggi seperti yang terjadi saat ini kita mengimpor beras dalam jumlah tertinggi sepanjang masa. Yang tak kalah mengkhawatirkan, petani berpotensi kehilangan asa karena kerap merugi dari hasil jual produk pertaniannya. Di level ini kerap terjadi alih fungsi lahan, dan guramisasi lahan pertanian hingga yang terburuk para petani tidak ingin menjadi petani lagi.
Untuk itu, kita perlu mempersiapkan sejumlah aturan teknis pelaksanaannya. Tahap awal kita perlu memetakan berapa HPP masing-masing komoditas pangan. Sebaiknya kita fokus pada HPP 10 komoditas pangan strategis yang berpengaruh besar terhadap inflasi, seperti beras, bawang merah, bawang putih, cabai merah, cabai rawit, daging ayam, telur ayam, minyak goreng, gula pasir, kedelai, dan daging sapi. Mengenai hal itu akan dibahas secara khusus di tulisan lainnya.
Kita tetapkan terlebih dahulu HPP masing-masing komoditas dimaksud. Seperti cabai merah, cabai rawit, bawang merah, telur ayam, dan beras. Selanjutnya kita menghitung harga di setiap rantai pasok dan dijumlahkan – selanjutnya disebut sebagai harga keekonomian. Jadi, harga keekonomian barang yang dimaksud adalah harga yang ada di tingkat pedagang pengecer di pasar tradisional masing-masing daerah.
Sebagai contoh HPP sejumlah komoditas untuk Maret 2024 di Sumut. Saat ini harga keekonomian beras di Sumut berada di level Rp11.574 per kilogram (kg) di level kilang padi. Jika ditambah dengan biaya distribusi akan menghasilkan harga Rp12.374/kg di pedagang pengecer untuk beras medium. Selanjutnya HPP bawang merah berada di level Rp19.197 per kg di Sumut. Jika menambahkan keuntungan petani (30%) plus distribusi, harga di level pedagang pengecer ada di kisaran Rp25.000 per kg-nya.
Selanjutnya kita menentukan patokan sumber harga pengecer berdasarkan sistem yang dibangun. Salah satu sumber rujukan harga adalah pusat informasi harga pangan strategis (PIHPS), yang bisa menampilkan harga yang berlaku di setiap wilayah masing-masing.
Nah, jika harga pasar komoditas lebih rendah dibandingkan dengan harga keekonomian yang ditetapkan, maka petani akan mengajukan klaim penurunan harga kepada perusahaan asuransi (BUMN/BUMD) karena komoditas pangan yang harganya jatuh di bawah harga keekonomian. Misalnya, jika pada saat penen raya harga bawang merah jatuh pada level di bawah Rp19.197, misalnya Rp10.000/kg, maka perusahaan asuransi akan mengganti sebesar Rp9.197/kg bagi petani yang mengasuransikan kegiatan usahanya.
Adapun anggaran diambil dari dana subsidi yang dialokasikan pemerintah melalui kementerian terkait. Selanjutnya, perusahaan asuransi BUMN atau BUMD yang telah ditetapkan melakukan penagihan ke pemerintah pusat (Kementerian Koperasi dan UKM). Tahap berikutnya secara tahunan perusahaan tersebut akan dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Baca juga: Bansos, UMKM dan Asuransi Kegagalan Panen
Dengan demikian, petani bukan hanya terlindungi melalui asuransi kegagalan panen, tetapi juga terlindungi dari fluktuasi harga yang merugikan petani. Dengan menumbuhkan semangat melalui kebijakan-kebijakan yang prorakyat, pro-UMKM (petani guram), masyarakat di Tanah Air tetap bersemangat menjadi petani. Hal itu pada gilirannya dapat meminimalisasi alih fungsi lahan serta guramisasi, dan lebih memberikan kepastian dalam upaya menjaga ketahanan pangan di Tanah Air.
Dengan kebijakan subsidi harga, kita tidak lagi direpotkan dengan kebijakan pengendalian pasokan dan harga pupuk di level petani. Pemerintah bisa saja menghapus kebijakan pupuk subsidi dan membiarkan pupuk nonsubsidi yang dikonsumsi petani. Karena, kenaikan HPP akan membuat perubahan pada acuan harga keekonomian. Namun, petani akan tetap terlindungi dengan kebijakan subsidi harga.
Kebijakan subsidi harga akan mendidik petani (UMKM) untuk lebih bersemangat berusaha, mendidik pelaku UMKM (petani guram) untuk mandiri, produktif, dan memegang prinsip tangan di atas. Tidak seperti bansos yang lebih konsumtif dan mengajarkan masyarakat meminta-minta alias tangan di bawah.
Sektor pertanian akan tetap menjadi sektor yang menyerap sebagian besar tenaga kerja. Yang pada akhirnya akan menjadi cara untuk menekan tingkat inflasi, tingkat kemiskinan di Tanah Air. Kebijakan subsidi harga akan lebih berdaya guna dibandingkan dengan kebijakan bansos yang digelontorkan pemerintah sejauh ini.
Akhir kata, “Mencintai UMKM Itu Berkah dan Mulia”.
Penulis adalah Dirut Bank Sumut dan pemerhati UMKM