Jakarta – Aset industri perbankan syariah terus mengalami pertumbuhan sejak pertama kali industri ini berkembang di Tanah Air. Bahkan, pertumbuhan aset perbankan syariah dalam 10 tahun pertama perkembangannya itu, menyentuh angka dua digit. Di periode 10 tahun pertama atau pada 1991 sampai 2001, secara akumulatif pertumbuhan aset perbankan syariah tumbuh sekitar 49,7 persen.
“Menurut saya pertumbuhan ini sangat impresif,” ujar Komisaris Utama sekaligus Komisaris Independen PT Bank Syariah Indonesia Tbk atau BSI, Muliaman D. Hadad, dalam webinar OJK Institute; “Mengakselerasi Pangsa Pasar Keuangan Syariah”, Kamis, 21 Maret 2024.
Meski demikian, di periode 10 tahun kedua atau pada 2002 sampai 2022, secara akumulatif pertumbuhan aset perbankan syariah turun hanya sekitar 13,94 persen. Menurut Muliaman, di periode kedua terdapat dinamika-dinamika sosial dan ekonomi yang lebih kompleks, sehingga berdampak bagi industri perbankan syariah domestik maupun global.
Baca juga: Perkuat Ekonomi Umat, BSI Serahkan Zakat Lebih dari Rp222 Miliar
“Kalau periode pertama, euphoria kebangkitan perbankan syariah cukup impresif. Di mana-mana berdiri perbankan syariah, bahkan global juga mengembangkan perbankan syariah. Tetapi, di periode kedua ada pandemi COVID-19, dinamika ekonomi global, berbagai krisis terjadi, terbatasnya pertumbuhan ekonomi masing-masing negara, sehingga layanan bank syariah di bank global semakin terbatas, bahkan menutup layanan syariahnya,” tambahnya.
Ke depannya, Muliaman berharap di periode ketiga akan ada kebangkitan baru di industri perbankan syariah. Kebangkitan itu, terlihat dari peluang-peluang tumbuhnya industri perbankan syariah pasca pandemi COVID-19, seperti adanya fokus terhadap social impact finance, meningkatnya halal ekonomi, bertambahnya penduduk muslim yang masuk ke middle income group, konsistennya dukungan perbankan syariah dari regulator, berkembangnya digital banking, akses finansial lebih cepat, adanya inklusi keuangan syariah, serta terdapat Islamic ecosystem melalui kolaborasi.
“Mudah-mudahan peluang ini bisa dikembangkan sedemikian rupa. Jadi, kami berharap sampai tiba Indonesia Emas 2045, dengan dukungan kebijakan dari regulator, ada perkembangan melesat yang disebut kebangkitan baru industri perbankan syariah,” ujar Muliaman.
Di satu sisi, terdapat juga tantangan untuk dapat memanfaatkan peluang tersebut, di antaranya terbatasnya kapasitas, baik finansial maupun sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur jaringan serta teknologi; kedua, persaingan yang ketat dengan perbankan konvensional, baik dalam layanan maupun dalam produk yang ditawarkan; ketiga, literasi masyarakat yang masih terbatas; dan keempat pemanfaatan ekosistem yang belum optimal.
Baca juga: Begini Tanggapan BSI Soal Persaingan Baru Industri Perbankan Syariah Tanah Air
Di sisi lain, seluruh stakeholder di industri perbankan syariah perlu melakukan agenda mendesak untuk bisa melalui tantangan itu, antara lain diversifikasi produk dan layanan untuk memenuhi kebutuhan yang beragam, peningkatan literasi tentang produk dan prinsip-prinsip syariah untuk memperbaiki persepsi, memperluas jaringan kerja sama termasuk membangun ekosistem, penyediaan layanan perbankan digital, termasuk mobile dan internet banking, serta penerapan management risiko governance yang baik.
“Agenda ini harus dilakukan bersama-sama. Tidak mudah, karena bank-bank syariah umumnya sizenya relatif kecil. Oleh karena itu, saya ikut mendorong ikhtiar konsolidasi di industri keuangan syariah agar bersama-sama bisa lebih mudah melakukan agenda mendesak ini. Konsolidasi ini tentu tidak mudah juga, karena ada aturan spin off. Tetapi kalau objeknya (aturan) itu saja, tidak bisa, industri ini masih kecil butuh regulasi tambahan,” pungkasnya. (*) Ayu Utami