Di Balik Niat Baik Konsolidasi BPR Terselip Kegamangan

Di Balik Niat Baik Konsolidasi BPR Terselip Kegamangan

Jakarta – Postur industri bank perekonomian rakyat (BPR) terbilang gendut. Per November 2023, jumlah bank rural tercatat ada 1.405. Supaya BPR lebih kuat dan lincah, otoritas ingin merampingkan jumlah BPR. Caranya, dengan melakukan konsolidasi.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, mengungkapkan, pihaknya hendak memangkas jumlah BPR hingga menjadi tersisa 1.000 saja pada 2027 mendatang.

Ada sejumlah alasan, mulai dari banyaknya BPR yang dipunyai oleh pemilik yang sama, hingga tidak sedikit BPR yang beroperasi dengan kondisi kurang fit, seakan mati segan hidup tak mampu. Untuk itu, diterbitkanlah sejumlah peraturan untuk mendorong pelaku industri BPR melakukan konsolidasi demi memperkuat industri BPR itu sendiri.

Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Di dalam UU tersebut ada suatu aturan mengenai single presence policy (SPP), yaitu kebijakan yang mengatur bahwa suatu pihak hanya dapat menjadi pemegang saham pengendali pada satu bank. Peraturan ini sebelumnya hanya berlaku untuk bank umum, tapi dengan adanya UU P2SK itu, aturan itu juga berlaku bagi BPR.

Baca juga: Betul! Ada BPR Ditutup, Tapi Jangan Abaikan Kontribusinya
Tabel konsolidasi BPR dari 2018 hingga Juni 2023.

Konsolidasi bertujuan meningkatkan peran BPR dalam menggerakkan perekonomian daerah, khususnya dalam pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Misalnya, konsolidasi memungkinkan BPR memenuhi ketentuan modal inti Rp6 miliar sebagaimana yang ditetapkan dalam POJK Nomor 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Perkreditan Rakyat.

Meskipun begitu, nyatanya, tanpa diperintahkan sekalipun, sudah ada sejumlah BPR yang melakukan konsolidasi. Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), sejak 2018 hingga semester satu 2023 lalu, sudah ada 167 BPR dan BPRS yang melakukan konsolidasi dalam bentuk merger. Dengan demikian, rata-rata ada 28 BPR berkonsolidasi setiap tahunnya dalam lima tahun terakhir.

Tahun 2019 menjadi tahun di mana banyak BPR berkonsolidasi. Di tahun itu, ada 41 BPR dan 1 BPRS yang melakukan merger. Dari 42 bank rural yang berkonsolidasi, lebih dari setengahnya tergabung ke dalam tiga BPR. Perinciannya, 8 BPR bergabung dengan BPR Sinar Mas Pelita, 6 dengan BPR Astanajapura, dan 11 lainnya berkonsolidasi dengan BPR Babakan.

Tujuan konsolidasi yang disebutkan dalam UU P2SK sudah dirasakan oleh sejumlah BPR. Seperti BPR BKK Jateng. BPR ini memulai perjalanan konsolidasinya pada medio 2019. Sebanyak 27 BKK milik Pemerintah Provinsi Jateng dikonsolidasikan menjadi satu entitas, yakni BPR BKK Jateng.

Menurut Koesnanto, Direktur Utama BPR BKK Jateng, konsolidasi ini dilakukan karena beberapa alasan, yaitu kelembagaan, bisnis, dan pengawasan. Hasilnya, setelah konsolidasi, bisnis BPR BKK Jateng merekah dan masih akan terus berkembang. Diharapkan mampu bersaing dengan bank-bank lain. Dan, semua ini berkat dilaksanakannya konsolidasi.

“Dengan pemberlakuan single presence policy dari OJK kepada industri BPR, saya yakin BPR akan semakin kuat. BPR akan semakin tumbuh, berdaya saing secara wajar, secara sehat, dan itu tentunya akan berdampak positif terhadap industri BPR secara keseluruhan,” ungkap Koesnanto kepada Infobank, Februari lalu.

Hal senada juga diungkapkan oleh Kaman Siboro, Komisaris Utama Bank Universal BPR. Bank Universal BPR, yang merencanakan konsolidasi pada 2024, Tengah bersiap memperkuat modal dan bisnis perusahaan. Bahkan, mereka juga sudah menyiapkan strategi bisnis jika merger bisa terlaksana tahun ini. Salah satunya adalah mengajukan initial public offering (IPO) ke bursa saham.

Ini semua hanya bisa terjadi pada BPR dengan permodalan yang kuat dan mempunyai jajaran direksi serta komisaris yang kompeten. Pengembangan aplikasi digital juga akan semakin mudah dan terintegrasi jika mereka melaksanakan merger. Untuk itu, konsolidasi menjadi sesuatu yang seharusnya didukung oleh para pelaku industri bank rural, karena tujuannya baik dan membawa manfaat bagi bisnis.

“Saya 1.000% mendukung UU P2SK. Saya sedih, setiap minggu atau setiap bulan ada berita BPR ditutup. Biarpun tidak ada hubungannya dengan kita, pasti orang baca. Inilah yang memang menjadi tantangan OJK,” terang Kaman kepada Infobank, bulan lalu. Bank Universal BPR sendiri saat ini memiliki empat jaringan BPR.

Kendati demikian, bukan berarti konsolidasi ini tidak memiliki efek samping. Pelaku industri bank rural juga perlu memperhatikan sejumlah hal sebelum melebur dengan bank rural lain. Dari sisi kultur kerja, misalnya. Meleburnya dua atau lebih BPR bisa berpotensi menimbulkan benturan kultur pekerjaan, sesuatu yang kurang baik bagi bisnis karena nantinya bisa menghambat kinerja jika tak mampu diatasi dengan baik.

Sementara, menurut Chariyansyah, Komisaris Utama BPR Nusa Bona Pasogit 2, bergabungnya BPR-BPR menjadi satu entitas akan menyebabkan pengurangan karyawan. Terlebih, mereka yang sebelumnya sudah menjabat di posisi direksi atau komisaris. Mereka akan terpaksa “ditendang” dari kursi-kursi ini, membuat mereka turun jabatan atau lebih buruk, menjadi pengangguran.

“Kewajiban penggabungan ini juga malah membuat pengurangan lapangan pekerjaan bagi pengurus BPR, yaitu direksi dan komisaris. Berpotensi menambah tingkat pengangguran, di mana hal ini tentu merupakan bentuk pelanggaran hak dasar setiap orang untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak,” tutur Chariyansyah kepada Infobank, Februari lalu.

Baca juga: Perkuat Industri BPR, OJK Terus Dorong Konsolidasi 

Sebagai informasi, jumlah BPR yang tergabung dalam Grup Nusa Bona Pasogit ada 28 BPR. Diakui oleh sejumlah bankir BPR, bahwa penanganan SDM menjadi salah satu hal yang sulit ketika melakukan konsolidasi. Selain jumlah direksi dan komisaris yang berkurang, karyawan BPR belum tentu mau atau siap andai dimutasi ke lokasi lain karena berbagai alasan. Ini harus menjadi perhatian manajemen BPR agar konsolidasi bisa berjalan dengan baik.

Proses konsolidasi memang rumit, berliku-liku, dan melibatkan banyak pihak. Namun, bukan berarti para pelaku BPR lantas menutup mata hingga memandang bahwa konsolidasi – dalam hal ini merger – sebagai sesuatu yang merepotkan dan tidak perlu dilakukan. Konsolidasi akan menjadikan BPR-BPR lebih sehat dan mendatangkan banyak manfaat.

Para pemangku kepentingan juga perlu lebih intens melakukan sosialisasi kepada pelaku BPR terkait konsolidasi, demi memperkuat industri bank rural di Tengah persaingan yang makin ketat dan iklim usaha yang kian menantang.(*) Mohammad Adrianto Sukarso

Related Posts

News Update

Top News