Oleh Abdul Mongid
UPAYA Indonesia untuk menjadi bagian dari masyarakat dunia dalam rangka mengurangi Net Zero Emission (NZE) mendapatkan momentum baru. Pada saat Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan yang diselenggarakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 20 Februari 2024 dan dihadiri oleh Presiden RI Joko Widodo, OJK secara resmi meluncurkan buku Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI). Harapannya, kontribusi OJK melalui buku ini akan membantu seluruh pelaku ekonomi khususnya sektor keuangan dalam bertransformasi menuju ekonomi yang lebih hijau.
TKBI memberikan panduan kepada pelaku ekonomi bagaimana menyatukan aspek ekonomi/bisnis, lingkungan hidup dan sosial sebagai wujud implementasi ekonomi hijau. Sebenarnya, buku ini juga wujud komitmen Indonesia kepada Masyarakat internasional karena beberapa waktu lalu Presiden telah menyatakan pada 2060 Indonesia akan mencapai NZE.
Buku ini mempermudah dan membantu transisi menuju perekonomian rendah karbon. TKBI juga ikhtiar menjalankan amanat Undang Undang Nomor 4/ 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang mengamanatkan penerapan keuangan berkelanjutan di Indonesia. Harapanya buku ini menjadi panduan yang applicable, lengkap, ilmiah dan searah dengan trend internasional.
Baca juga: Pemulihan Ekonomi Global Masih Disertai Risiko
Ekonomi Hijau
Ekonomi hijau didefinisikan secara luas sebagai sebuah pendekatan baru dalam berekonomi dimana pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi dilakukan selaras dengan prinsip keramah lingkungan (environment friendly) dengan merangkul semua komponen Masyarakat sehingga sangat inklusif secara sosial.
Sementara makna dari inklusif secara sosial (socially inclusive) dalam ekonomi hijau berarti dari tahapan penyusunan ide, perancangan proyek dan implementasi kegiatan ekonomi sudah memberi akses partisipatif. Muara akhirnya adalah sifat keberlanjutan, menjaga sumber daya alam dan penciptaan kesempatan kerja sehingga semua level Masyarakat menikmati hasil secara adil.
Ekonomi hijau lahir dari kegagalan teori ekonomi konvensional yang mengorbakan lingkungan dan kepentingan Masyarakat demi pertumbuhan ekonomi tinggi yang sayangnya sangat berorientasi pada kekuatan modal sehingga hanya menciptakan ketimpangan ekonomi dan kerusakan lingkungan.
Dalam skala makro, pertumbuhan ekonomi harus tetap memperhatikan kelestarian alam dan juga lingkungan sekitar terutama hutan, area tanah basah (wet land area) dan sumber hayati lainnya. Karena itu, isu transisi ekonomi hijau sangat komplek karena menyangkut perubahan paradigma (paradigm), institusional (institution), budaya (culture) dan aturan main (rules of the game).
Apalagi, transisi ekonomi hijau memerlukan investasi, inovasi dan teknologi yang mendukungnya. Oportunitasnya, ekonomi hijau akan menjadi katalis untuk kondisi bisnis yang maju dan menguntungkan. Pendek kata, menjadi hijau berarti juga ekonomi yang berkelanjutan (greener and sustainable).
Sebagai pendekatan baru, wajar jika saat ini ada banyak kebingungan dan ketakutan. Apalagi sampai saat ini implementasinya di dunia internasional masih sporadis alias tambal sulam. Terlebih, inisiatif riil tentang ini di Indonesia belum ada yang signifikan.
Jujur saja, secara ekonomi keuangan, ketegantungan pendapatan hasil ekspor dari sumber energi fosil seperti Batubara masih sangat besar. Artinya transisi yang terlalu cepat akan merugikan karena sumber penghasilan pengganti belum tersedia. Memang potensi gas bumi kita besar namun skala pemanfaatannya belum besar karena kendala teknologi dan pembiayaan.
Baca juga: Kolaborasi Pembiayaan Berkelanjutan Demi Mengakselerasi Transisi Ekonomi Hijau
TKBI
Buku TKBI ini merupakan upaya OJK dalam rangka mendukung pencapaian komitmen Pemerintah untuk mencapai NZE. Buku ini juga merupakan penyempurnaan buku sejenis yang telah diterbitkan OJK yang dikenal sebagai Taksonomi Hijau Indonesia (THI). Perubahan mendasar sangat nyata di mana jika perusahaan pencemar (Black Company) namun melakukan aktivitas untuk mengurangi emisi atau pengembangan proses produksi yang lebih ramah lingkungan tetap dinilai sebagai aktivitas ekonomi hijau.
TKBI sudah melakukan harmonisasi dengan ketentuan atau panduan regional yaitu ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance Version 2 yang diupdate tanggal 9 Juni 2023. Artinya bagi perusahaan ASEAN yang beroperasi di Indonesia, aktivitas atau produk yang menunjukkan aktivitas-aktivitas ekonomi hijau dapat mudah dilaporkan karena adanya interoperabilitas laporan karena definisi dan aktivitas merujuk ke hal yang sama.
TKBI memberikan panduan tentang bagaimana menyatukan aspek ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial sebagai wujud implementasi ekonomi hijau dengan menekankan kepada bagaimana investasi atau alokasi modal serta pembiayaan berkelanjutan dapat mempercepat pencapaian NZE.
Panduan ini harus menjadi acuan seluruh otoritas dan Lembaga negara dalam setiap pembuatan kebijakan yang dikeluarkan baik Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah serta Lembaga teknis lainnya. TKBI bukan milik OJK saja namun milik bersama karena ini hasil dari Sinergi Lintas sektor untuk mendukung keuangan berkelanjutan khususnya dan pembangunan ekonomi hijau pada umumnya.
Panduan ini diharapkan dapat menjadi sarana mencegah manipulasi informasi yang dilakukan oleh “perusahaan nakal” yang menyatakan telah melakukan atau menemukan solusi untuk mengatasi krisis akibat perubahan iklim walaupun kenyataannya tidak pernah dilakukannya.
Seperti diketahui, banyak perusahaan memberikan label-label ramah lingkungan (green label) namun nyatanya hanya label saja. Dalam aspek sosial beberapa perusahaan mengklaim telah melakukan perbaikan sosial, nyatanya itu hanya klaim saja. Yang lebih parah adalah beberapa perusahaan menyatakan produknya atau investasinya maupun aktivitas produksi telah berubah lebih hijau tapi tanpa bukti yang mencukupi. Yang ada hanya untuk keperluan kampanye pemasaran.
Buku TKBI merupakan kontribusi bagi perjuangan untuk ekonomi hijau yang signifkan. Karenanya sangat penting untuk disosialikasikan melalui edukasi masif terutama di kalangan pemerintah, akademia, dan tentu saja dunia usaha.
Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Negeri Surabaya.