Jakarta – Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka memiliki visi misi untuk melanjutkan hilirisasi yang juga akan diperluas cakupannya.
Hal ini disampaikan oleh Gibran dalam debat keempat Cawapres 2024 (21/1) dengan tema Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat dan Desa.
Menurutnya, Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang besar. Di mana, memiliki cadangan nikel terbesar di dunia dan nomor dua terbesar cadangan timah.
Baca juga: RI Mulai Menikmati Dampak Hilirisasi, Pemerintah Disarankan Lakukan 2 Hal Ini
“Oleh karena itu, program hilirisasi harus dilanjutkan diperluas cakupannya tidak hanya hilirisasi tambang saja, tapi juga hilirisasi pertanian, sektor maritim dan juga hilirisasi digital,” ucap Gibran.
Putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini menegaskan bahwa, Indonesia tidak boleh mengirim atau mengekspor barang mentah.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, China sebagai importir utama bijih nikel Indonesia banyak melakukan investasi untuk mengolah biji nikel di Indonesia. PMA (penanaman modal asing) di sektor hilirisasi asal China meningkat pesat hingga mencapai USD2,6 miliar di tahun 2022.
Kebijakan ini pun berkontribusi terhadap peningkatan nilai ekspor produk hilir nikel yaitu bahan besi dan baja, serta baterai litium. Tercatat hingga Mei 2023 ekspor produk turunan nikel mencapai USD13,972 secara year to date (ytd). Di tahun 2022 mencapai USD33,810, kemudian tahun 2021 dan 2020 masing-masing sebesar USD22,214 juta dan USD11,612 juta.
Baca juga: RI Butuh Investasi Hilirisasi USD545,3 Miliar Agar Keluar dari Middle Income Trap
Meski demikian, Ekonom Senior Indef, Faisal Basri hilirisasi di Indonesia nyatanya hanya mendukung industrialisasi di China. Dia menilai hilirisasi yang diterapkan saat ini hanya berdampak sangat sedikit bagi nilai tambah nasional.
Kebijakan hilirisasi nikel yang sudah berlangsung hampir satu dasawarsa ini, justru meperlihatkan peranan sektor industri manufaktur terus menurun, dari 21,1 persen tahun 2014 menjadi hanya 18,3 persen tahun 2022, titik terendah sejak 33 tahun terakhir. (*)
Editor: Galih Pratama