Jakarta – Kebijakan PTPN Group memisahkan bisnis sawit ke dalam rencana pendirian sub holding PalmCo dinilai dapat memberikan solusi dari permasalah industri sawit nasional saat ini, sehingga akan berdampak positif bagi masa depan sawit nasional.
Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono mengatakan, dalam menjalankan perannya menopang perbaikan industri sawit Indonesia, rencana pembentukan PalmCo akan memberikan dampak positif bagi masa depan industri sawit nasional.
Pertama, kata Yusuf, PalmCo akan menjadi agent of development, dengan tugas utama menjaga pasokan dan harga minyak goreng domestik. Menurutnya, instabilitas harga minyak goreng domestik selama ini disebabkan oleh kurangnya pasokan dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi.
“Selama ini stabilisasi harga minyak goreng melalui mekanisme DMO (domestik market obligation) seringkali menemui kegagalan. Dengan pasar yang terintegrasi dengan pasar global dan harga komoditas dunia yang cenderung meningkat, godaan untuk ekspor CPO dan minyak goreng adalah sangat besar,” ujarnya dikutip 31 Juli 2023.
Ia menyebutkan, merebut pasar global merupakan langkah strategis bagi produsen CPO dalam jangka panjang untuk jaminan pemasaran sekaligus keuntungan yang tinggi dengan menjual CPO ke luar negeri.
Hal itu, lanjut dia, lebih menguntungkan daripada menjualnya sebagai minyak goreng di dalam negeri terkait biaya produksi dan logistik yang cukup tinggi serta kebijakan stabilisasi harga minyak goreng yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat.
Baca juga: Produksi Sawit Sub Holding PalmCo Naik Dalam 3 Tahun Terakhir
Dengan begitu, pembentukan PalmCo, tambahnya, dapat menurunkan masalah oligopoli di industri sawit dan minyak goreng nasional. Karakteristik industri minyak goreng yang sangat bergantung pada pasokan CPO sebagai input utamanya, membuat integrasi vertikal menjadi bentuk usaha yang efisien.
Ketiga, ia mengatakan, Palm Co akan memimpin transformasi industri biodiesel dengan tidak hanya mengandalkan CPO sebagai tulang punggungnya, namun juga melakukan pengembangan biodiesel berbasis minyak jelantah.
“Sejak 2015, konglomerasi sawit tidak lagi hanya menguasai perkebunan sawit di hulu dan industri minyak goreng di hilir, namun kini juga semakin melebar ke industri biodiesel. Kebijakan biodiesel lahir dari upaya menahan kejatuhan harga CPO akibat produksi yang berlebihan seiring ekspansi lahan perkebunan sawit yang masif sejak 2000-an,” jelasnya.
Untuk menyerap kelebihan pasokan CPO ini maka diciptakanlah permintaan domestik yang signifikan, yaitu melalui program biodiesel berbasis CPO sebagai campuran 20 persen solar (B20), yang kemudian menjadi B30 dan ke depan direncanakan B40.
“Namun karena terdapat selisih harga antara biaya produksi biodiesel yang tinggi dan harga jual solar yang lebih rendah, maka diberikan insentif biodiesel yang dananya diambil dari pungutan ekspor CPO,” tuturnya.
Di sisi lain, pungutan ekspor CPO menekan harga TBS di tingkat petani, karena eksportir dan pabrik CPO memindahkan beban pungutan ekspor ke harga beli TBS yang lebih rendah.
Selain itu, besarnya kebutuhan biodiesel berbasis CPO ini telah mendorong lebih jauh ekspansi lahan sawit sehingga memberi ancaman besar bagi deforestasi. Untuk itu, ia berharap dengan strategi yang tepat, maka Palm Co di masa mendatang dapat turut ambil bagian dalam pengembangan biodiesel namun dengan cara yang ramah.
Keempat, PalmCo diharapkan mampu membantu memangkas masalah tata niaga sawit. Sebagai perusahaan baru, sub-holding PalmCo ini diharapkan tidak berperilaku sebagaimana korporasi sawit besar lainnya yang cenderung memiliki banyak masalah. Mengingat di Indonesia saat ini, rantai pasok industri kelapa sawit nasional didominasi segelintir kelompok usaha besar.
Baca juga: DJP Selidiki Temuan 9 Juta Hektare Lahan Sawit Tak Bayar Pajak
Selain merusak lingkungan karena membuka lahan dalam skala besar, sejumlah permasalahan utama industri sawit nasional berkaitan dengan perizinan perkebunan kelapa sawit yang tidak akuntabel, pengendalian pungutan ekspor komoditas sawit yang tidak efektif dan pemungutan pajak di sektor kelapa sawit yang tidak optimal.
“Kemudian yang ke lima, PalmCo tidak bertabrakan dengan agenda ketahanan pangan. Pembentukan sub holding Palm Co ini diharapkan tidak bertabrakan dengan agenda pemerintah lainnya, seperti rencana percepatan swasembada gula nasional dan penyediaan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (biofuel),” urainya.
Ia mencontohkan salah satu Sub holding Sugar Co yang sukses merevitalisasi industri gula nasional dan meningkatkan produksi gula nasional.
Kemudian, terakhir ia menjelaskan sebagai perusahaan yang sudah memiliki lahan luas, Palm Co dalam operasionalnya diharapkan tidak terlibat dalam deforestasi. Dari hasil merger sejumlah unit usaha sawit PTPN Group, PalmCo akan memiliki lahan seluas 500.000 ha.
Ditambah konversi lahan karet, tebu dan lain yang selama ini dinilai idle seluas 200.000 ha, PalmCo ke depan akan menguasai total lahan mencapai 700.000 ha. Namun, konversi lahan diharapkan berkoordinasi dengan target produksi gula dan karet nasional.
Lahan Palmco ini jauh di atas perusahaan sawit swasta besar nasional dan di regional. Sehingga, diharapkan tidak membutuhkan ekspansi lahan yang mengorbankan lahan hutan, seperti yang dilakukan perusahaan besar selama ini.
“Di sisi lain, lapangan pekerjaan yang diciptakan perkebunan besar bagi masyarakat lokal adalah terbatas dan dengan kualitas pekerjaan yang semakin menurun, seiring dominasi pekerja kontrak dengan upah murah,” ungkap Yusuf. (*)