Jakarta – Sektor pertanian tengah mendapatkan perhatian yang serius dari perbankan terkait dengan program pemerintah untuk meningkatkan kedaulatan pangan. Hingga Maret 2016, penyaluran kredit bank umum ke sektor pertanian mengalami peningkaatan sebesar 19,30% dari Rp212,04 triliun pada Maret 2015 menjadi Rp252,96 triliun pada Maret 2016.
Meningkatnya penyaluran kredit ke sektor ini dibarengi oleh peningkatan kredit bermasalah sebesar 16,88% atau mencapai Rp5,01 triliun. Meski meningkat, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) kredit di sektor ini masih terjaga di level 1,98% atau jauh dibawah ketentuan NPL yang ditetapkan regulator yang sebesar 5%. Rasio NPL ini juga tercatat menurun jika dibandingkan periode yang sama sebelumnya yang sebesar 2,02%.
Namun, penyaluran kredit ke sektor ini bagi perbankan juga bukan persoalan yang mudah. Mengutip dari Rencana Strategis Kementrian Pertanian Tahun 2015-1029, keberlanjutan sektor pertanian-tanaman pangan tengah dihadapkan pada ancaman yang serius.
“Hal ini disebabkan oleh terus menyusutnya lahan pertanian akibat konversi lahan pertanian produktif ke penggunaan non pertanian yang terjadi secara masif” ujar Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Rahmat Waluyanto saat memberikan pemamaparannya dalam FGD Program AKSI Pangan OJK 2016 yang berlangsung di Malang, Jumat, 3 Juni 2016.
Menurut OJK, isu ini perlu disikapi secara serius, sebab berpotensi mengancam kedaulatan pangan nasional.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), saat ini Indonesia memiliki luas daratan sebesar 191,09 juta hektar. Dari luas daratan tersebut, sekitar 95,81 juta hektar potensial untuk pertanian. Dari luasan lahan potensial tersebut sebagian besar sudah dimanfaatkan untuk pertanian, sisanya masih sebagai lahan cadangan yang menjadi potensi perluasan lahan pertanian yang perlu digarap secara professional.
Masih berdasarkan data BPS, Nilai Tukar Petani (NTP) hingga Mei 2016 mengalami kenaikan sebesar 0,32% menjadi 101,55 jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Kenaikan NTP yang berasal dari indeks harga yang diterima petani naik sebesar 0,42%, lebih besar dari kenaikan indeks harga yang dibayar petani yang sebesar 0,10%. Kalimantan mengalami kenaikan terbesar yakni 1,13%. Sementara Banten mengalami penurunan terbesar sebesar 1,35%.
Sebagai catatan, NTP merupakan salah satu indicator untuk melihat kemampuan atau daya beli petani di pedesaan. NTP juga dapat digunakan untuk menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dkonsumsi maupun untuk biaya produksi.(*)