Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mencabut moratorium izin fintech peer to peer lending atau pinjaman online (pinjol). Moratorium tersebut rencananya akan dicabut pada kuartal III-2023.
Di tengah kondisi tren kenaikan kredit macet fintech lending, apakah pencabutan moratorium izin pinjol ini sudah tepat?
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah menilai bahwa OJK punya pertimbangan dan kalkulasi terkait dengan pencabutan moratorium pinjol. Salah satunya adalah untuk meningkatkan inklusi keuangan.
“Moratorium itu salah satu trigger-nya adalah dalam rangka untuk inklusi keuangan. Mungkin di mata regulator masih ada segmen-segemn yang belum terisi,” ungkap Kuseryansyah di Jakarta, Selasa, 13 Juni 2023.
Selain itu, kata Kuseryansyah, pencabutan moratorium pinjol ini memberikan kesempatan pendatang baru untuk berusaha.
“Itu juga pertimbangan dari OJK. Kalau ternyata OJK mencabut moratorium itu, berarti kami akan kedatangan teman baru, penyelenggara baru, harapannya itu memperkuat industri, melengkapi apa yang belum ada,” ungkapnya.
Hanya saya, lanjut Kuseryansyah, para pemain baru akan dihadapkan dengan perizinan yang ketat sesuai dengan POJK 10/2022. Mulai dari sisi permodalan yang kuat, wajib memiliki ekosistem bisnis yang sudah jalan atau bagian dari grup perusahaan dan punya lembaga keuangan seperti perbankan.
“Kalau OJK mengeluarkan izinnya, itu pasti profiling-nya sudah profil yang strong secara permodalan, strong secara ekosistem, dan pasti punya background dengan industri keuangan, karena kalau engga itu susah,” ujarnya
Sementara itu, Etikah Karyani Suwondo, Peneliti Senior Core Indonesia mengatakan, rencana OJK mencabut moratorium pinjol dilihat dari dua sisi. Pertama, manfaatnya memang memberikan pertumbuhan inklusi keuangan yang lebih baik.
“Bagi konsumen bisa memberikan perlindungan yang lebih baik karena terhindar dari praktik merugikan atau penipuan, terjerat dari pinjaman bersuku bunga tinggi dan berkepanjangan,” ujarnya.
Di sisi lain, kata Etikah, kehadiran pinjol baru dikhawatirkan akan membuat masyarakat ketergantungan. Terutama bagi mereka yang terkendala masalah aksesabilitas sumber dana (unbankable) di saat kondisi darurat.
“Makanya, OJK sebagai regulator harus mempertimbangkan kemungkinan cara lain atau alternatif yang aman dan terjangkau. Literasi keuangan juga terus ditingkatkan untuk menurunkan risiko, meningkatkan kesadaran dan melindungi konsumen,”katanya.
Pencabutan moratorium pinjol, lanjut Etikah, harus dibarengi dengan pembenahan sistem. Terutama terkait dengan regulasi dan pengaturan terhadap pinjol baru. Hal ini juga sebagai upaya menutup ruang kehadiran pinjol ilegal pasca dicabutnya moratorium.
“Pinjol ilegal dapat meningkat jika tak ada regulasi yang memadai dan pengawasan yang efektif. OJK harus bekerja sama dengan instansi lain untuk menetapkan aturan yang jelas dan ada sanksi tegas terhadap pelaku ilegal,” tandasnya.
Diketahui, saat ini sudah ada 102 pinjol yang resmi terdaftar di OJK. Per April 2023, fintech telah menyalurkan agregat pinjaman sebesar Rp601,41 triliun.
Sedangkan outstanding pinjaman fintech per April 2023 telah mencapai Rp50,5 trilun dengan Tingkat Keberhasilan Bayar (TKB) pada hari ke-90 berada di level 97,18%.(*)