Kendati menjadi solusi bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, upaya hilirisasi industri masih menghadapi berbagai hambatan. Apa saja? Ria Martati.
Jakarta– Lepas dari ketergantungan terhadap komoditas, hilirisasi industri jadi jawaban, demikian kiranya garis besar rapat koordinasi antara Bank Indonesia (BI), Pemerintah Daerah se-Kalimantan, serta Pemerintah Pusat yang diwakili Menteri Keuangan, Pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta SKK Migas, dan salah satu BUMN energi, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang digelar 11 Agustus kemarin.
Sebagai pulau dengan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang tinggi, Kalimantan pernah mengalami masa keemasan ketika harga komoditas booming beberapa tahun lalu. Tahun 2008 lalu harga batubara bisa mencapai titik tertingginya USD 164 /metric ton, sementara 2015 harga jatuh di kisaran sepertiganya yaitu USD 59/metric ton. Minyak sawit mentah/ Crude Palm Oil (CPO), 2008 lalu sempat menyentuh harga USD1.235/ metric ton, saat ini hanya di kisaran USD 551/ metric ton.Pun demikian dengan komoditas lain seperti nikel, karet dan minyak bumi juga mengalami penurunan.
Kinerja ekspor komoditas-komoditas andalan pun mencatatkan pertumbuhan negatif. Per Juni 2015 tercatat ekspor batubara anjlok 25,7% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara, CPO mencatat pertumbuhan ekspor negatif 3,6% dibanding Juni 2014. Sehingga pertumbuhan ekonomi di pulau penghasil komoditas-komoditas itu pun ikut seret. Pertumbuhan ekonomi di Kalimantan pada kuartal II 2015 hanya 1,5% jauh lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi secara nasional yang 4,67%.
Di lain sisi, masyarakat di Pulau Kalimantan juga dihimpit dengan inflasi yang tinggi di atas inflasi nasional yang Juli lalu tercatat 7,26% secara year on year(yoy). Di Kalimantan, dua provinsi yaitu Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur mencatat inflasi masing-masing 10% dan 8,2%. Sedangkan, dua provinsi lain masih di bawah inflasi nasional yaitu Kalimantan Tengah dengan inflasi 6,5% dan Kalimantan Selatan dengan inflasi 6,5%.
Untuk mendorong percepatan pertumbuhan, para pemangku kepentingan merumuskan lima keputusan. Pertama adalah mempercepat pembangunan infrastruktur energi nasional, termasuk di Kalimantan untuk mendukung proses hilirisasi berbasis sumber daya alam.
Kedua, konsistensi dukungan dari pemerintah daerah dalam proses pengadaan tanah untuk proyek pengadaan kelistrikan, antara lain dalam bentuk tata ruang wilayah, alternatif penggunaan tanah milik pemda atau BUMD, termasuk dukungan dalam persetujuan prinsip untuk pelaksanan proyek dan persetujuan kelayakan lingkungan hidup proyek/ AMDAL.
Ketiga, komitmen pemerintah daerah dan dinas terkait dalam penyederhanaan proses perizinan antara lain melalui PTSP untuk perbaikan iklim investasi.
“Keempat, memastikan pelaksanaan program listrik 35.000 MW sesuai rencana dengan jadwal kontrak yang ketat,” kata Agus Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia dalam Konferensi Pers di Balikpapan, Selasa 11 Agustus 2015.
Dan kesepakatan terakhir adalah mendorong partisipasi aktif daerah dalam merespons berbagai insentif yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat agar infrastruktur energi di daerah dapat dilakukan dengan lebih cepat.
Agus mengakui, permasalahan hilirisasi industri tak semudah membalik tangan. Sederet persoalan selain pembebasan lahan menghadang, antara lain keterbatasan infrastruktur, mulai dari pelabuhan, jalan, listrik, ketersediaan air bersih, hingga infrastruktur digital. Hal lain yang dibutuhkan adalah konsistensi regulasi baik antara pemerintah daerah maupun antara pemerintah pusat dan daerah serta sumber daya manusia yang handal.
Soal pasokan listrik misalnya. Menurut Direktur Utama PLN, Sofyan Basir, hingga kini pasokan listrik di Kalimantan masih defisit 23%. Padahal pasokan listrik yang cukup dengan kehandalan yang tinggi menjadi kebutuhan utama sektor industri. Saat ini tercatat sekitar 10 perusahaan pengolahan mineral telah mulai beroperasi di Kalimantan, 6 lainnya sedang dalam tahap konstruksi, dan dua perusahaan sedang dalam tahap awal pembangunan dan potensi.
Pengembangan pembangkit listrik yang tersendat menjadi salah satu hambatan terpenuhinya kebutuhan listrik industri di Kalimantan. Menurut inventarisir BI, terdapat 11 masalah pendanaan pembangunan pembangkit yang dialami kontraktor, 11 kontraktor juga mengalami kekurangan material dan sumber daya manusia, 4 proyek pembangkut mengalamai masalah pembebasan lahan, dua proyek terkendala masalah sosial dengan warga setempat dan dua proyek terkendala karena pembangunan gardu induknya belum selesai. Belum lagi ketersediaan energi lain seperti gas. Meski SKK Migas tak lagi memperpanjang kontrak ekspor-ekspor gas yang telah jatuh tempo. Namun hasil eksplorasi gas yang diperuntukkan bagi keperluan domestik saat ini baru di kisaran 64%. Pejabat SKK Migas menjanjikan tak akan ada lagi ekspor LNG 2020 mendatang.
Panjangnya daftar permasalahan hilirisasi industri itu tentu membutuhkan waktu untuk diatasi. Sementara dalam jangka pendek ini, penyerapan anggaran mendesak untuk dipercepat. Menteri Keuangan, Bambang P.S Brodjonegoro mendorong Pemerintah daerah untuk segera membelanjakan anggarannya.” Jangka pendek yang harus dilakukan Pemerintah Daerah adalah menahan perlambatan dengan penggunaan anggaran,”kata dia di Balikpapan, Selasa 11 Agustus 2015.
Pasalnya, saat ini masih ada Rp273 triliun uang Pemda yang masih menganggur di bank daerah. Oleh karena itu ia mendorong pemda untuk segera mengalokasikan belanja untuk dua hal. Pertama adalah untuk stimulus, dengan memperkuat belanja modal khususnya untuk infrastruktur. Kedua adalah untuk operasi pasar agar inflasi terkendali.
“Alokasi untuk operasi pasar, tidak hanya tanggungjawab Bulog, ini untuk mengurangi laju inflasi. Dengan penggunaan anggara itu akan signifikan untuk mendorong pertumbuhan dan menekan inflasi daerah,” tandasnya.
Daerah dengan penyerapan anggaran tertinggi di Kalimantan hingga Juli adalah Kalimantan Tengah dengan penyerapan anggaran 46% sehingga ekonominya bisa tumbuh 7%.