Bali – Keberadaan aset kripto atau mata uang digital akan menjadi salah satu pembahasan dalam pertemuan pertama tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral atau the 1st ASEAN Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting (AFMGM) bagian dari Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023 dalam jalur ekonomi khususnya pilar keuangan, yang dihelat 28 Maret 2023 hingga 31 Maret 2023 di Bali.
“Ini akan menjadi pembahasan kita yang utamanya melihat keberadaan dalam konteks cryptocurrency, ini memang bisa cross dengan isu digital. Artinya pembahasan kripto ini kita lihat itu punya manfaat dan juga punya masalah. Manfaatnya, masing-masing negara sudah mengambil manfaatnya sudah mengimplementasikan, tapi yang penting bagaimana kita bersama menangani masalah aset kripto,” ujar Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo dikutip 28 Maret 2023.
Pembahasan aset kripto dalam AFMGM ini bukan tanpa alasan. Menurutnya, pada saat ini masalah kripto dan stable coin salah satunya bagaimana ketidakpercayaan pada currency tersebut. Bila timbul ketidakpercayaan, maka otoritas moneter bisa langsung turun tangan untuk menangani ini. Apalagi dalam aset digital ini tentunya memiliki risiko.
“Manfaat ada. Tapi ada masalah juga. Kita akan bahas bagaimana mengatasi risiko aset digital itu,” tambahnya.
Dengan demikian, dalam pertemuan Asean ini akan dibahas mengenai aturan, pengawasan, regulasi, juga pengelolaan risiko dari aset kripto.
“Untuk mengatasi masalah kripto ini adalah kesamaan daripada negara-negara kawasan untuk masalah aturan, pengawasan, same business, risk, regulation antar digital currency dengan sifatnya yang berupa tradisional. Kita ingin kembali ingatkan dan bangkitkan bahwa permasalahan di emerging market itu lebih berat kalau sudah menyangkut terkait ketidakpercayaan dari masyarakat,” jelasnya.
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengakui belum adanya pengawasan secara detil dalam aset kripto itu. Maka dari itu, dalam pertemuan pertama tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Asean 2023 ini, dirinya akan mengangkat persoalan tersebut, sehingga kedepan akan lebih jelas dalam pengawasan dan pengembangan aset digital tersebut.
“Gak ad pengaturan pengawasan dalam aset kripto ini. Disini ada bisnis, tapi ada risiko, maka perlu regulation,” tambah Perry.
Di sisi lain, lanjut Dody, mata uang digital gejolaknya lebih besar, sehingga ada kendala pada makro finansial yang harusnya otoritas bank sentral bisa melihatnya. Kemudian masalah lainnya ialah kesulitan mengontrol aktivitas perdagangan barang dan jasa yang menggunakan mata uang digital atau cryptocurrency.
“Ada makro impact yang sebenarnya tantangan. Nggak hanya di regional tapi juga di global mengakui bagaimana monitor, aturannya seperti apa supervisi dan ujungnya yang paling sulit data, datanya bisa diperoleh gak? Kalau data gap muncul itu yang menyulitkan otoritas,” tegasnya. (*)