Jakarta – Beberapa waktu lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan 134 aparatur sipil negara (ASN) memiliki saham di 280 perusahaan, dimana dua dari perusahaan tersebut berbentuk konsultan pajak.
Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah mengatakan, adanya kepemilikan saham pada konsultan pajak tersebut akan memicu upaya merekayasa harta kekayaan para ASN untuk memperkecil biaya pembayaran pajak.
“Mereka yang kedapatan memang merekayasa pajaknya itu ya mereka dikasih sanksi seberat-beratnya terkait dengan UU Tipikor pasal 8, jadi dari situ mereka bisa dikasih sanksi,” ucap Trubus kepada Infobanknews dikutip, 13 Maret 2023.
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi pasal 8 tersebut berbunyi pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.
Menurutnya, efek atau risiko yang akan ditimbulkan kemungkinan akan berpengaruh kepada kerugian negara dan masyarakat akan memandang negatif para ASN karena dinilai menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya.
“Ada kemungkinan kerugian negara, jadi harusnya bayar pajak sekian ini jadi dirubahkan, jadi mereka biasanya memperkecil itu, istilahnya mengakalin mereka merekayasa agar kecil pajaknya, itu membuat kerugian negara yang harusnya bayar Rp10 juta bayarnya cuman Rp1 atau 2 juta,” imbuhnya.
Meskipun sebenarnya, dalam Badan Kepegawaian Negara (BKN) tidak memiliki ketentuan yang menyatakan ASN tidak boleh memiliki saham yang tertuang pada UU No.5 Tahun 2014 Tentang ASN ataupun PP No.94 Tahun 2021.
Adapun, terkait temuan 134 pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang memiliki saham di 280 perusahaan oleh KPK dinilai memiliki risiko korupsi yang cukup besar.
Menurut Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, menyatakan bahwa risiko korupsi yang paling memungkinkan adalah berbentuk gratifikasi, serta suap dari wajib pajak ke pegawai pajak agar kewajiban pajaknya berkurang.
“Karena kan orang pajak berhubungan dengan wajib pajak, wajib pajak itu kan berkepentingan membayar sedikit mungkin, petugas pajak atas nama negara dengan wewenangnya harus bisa membuat pungutan pajak maksimum,” ucap Pahala beberapa waktu lalu.
Kemudian, ia juga menjelaskan bahwa perusahaan yang dimiliki oleh pegawai pajak tersebut adalah perusahaan yang tertutup ataupun tidak tercatat di bursa efek Indonesia (BEI).
“Bukan, bukan (perusahaan terbuka). Kalau di bursa kita nggak pusing itu kan bebas investasi, ini perusahaan tertutup, non-listing semua tertutup, yang terbuka kan bebas mereka boleh dong beli saham. Ini yang tertutup dia jadi pemegang saham,” imbuhnya, (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra