Kasus Pejabat Pajak Harusnya Jadi Sinyal Kemenkeu untuk Berbenah Diri

Kasus Pejabat Pajak Harusnya Jadi Sinyal Kemenkeu untuk Berbenah Diri

Jakarta – Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo, anak dari salah satu pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terhadap anak pengurus GP Anshor David berbuntut panjang. Ayah Mario, Rafael Alun Trisambodo pun telah dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan II oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Namun, pada akhirnya Rafael dalam surat terbukanya menyatakan mengunduran diri atau berhenti dari status ASN DJP Kemenkeu.

Mario Dandy pun telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Metro Jakarta Selatan dan dijerat dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 76C juncto Pasal 80 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana maksimal lima tahun. Selain itu, ia juga terkena Pasal 351 ayat (2) tentang penganiayaan berat dengan ancaman pidana maksimal lima tahun.

Dari kasus tersebut, terungkap harta kekayaan Rafael yang memiliki rekening gendut. Pasalnya, selain adanya aksi penganiayaan, Mario juga kerap memamerkan kendaraan mewah yaitu sebuah mobil Rubicon di media sosial.

Berdasarkan data dari e-LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara), kekayaan Rafael berjumlah Rp56,1 miliar. Dengan rincian, tanah dan bangunan Rp51,93 miliar, transportasi Rp125 juta (Toyota Camry 2008) dan Rp300 juta (Toyota Kijang 2018), harta bergerak Rp420 juta, surat berharga Rp1,5 miliar, kas & setara kas Rp1,3 miliar, dan harta lainnya Rp419 juta.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun memeriksa Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Rafael, sejak tahun 2012 sampai dengan 2019 yang hasilnya telah disampaikan dan dikoordinasikan dengan Inspektorat Kementerian Keuangan untuk ditindak lanjuti. KPK pun akan segera melakukan pemanggilan kepada yang bersangkutan.

“Hal ini sebagaimana fungsi LHKPN KPK yang tidak hanya melakukan pemantauan kepatuhan pelaporan, tetapi juga pemeriksaan LHKPN dari para penyelenggara negara,” ujar Ali dalam keterangan tertulis belum lama ini.

Namun, menjadi polemik ketika ada segelintir masyarakat yang akhirnya hilang kepercayaan terhadap pemerintah, khusunya pada DJP dan Kemenkeu. Mereka dikabarkan menjadi malas untuk membayar pajak dan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). 

Menkeu Sri Mulyani pun memahami sikap kekecewaan masyarakat atas kejadian tersebut. Pasalnya, masyarakat banyak yang mempertanyakan sumber harta kekayaan dari Rafael yang terbilang fantastis. Bermunculan juga spekulasi yang menyebutkan bahwa sumber kekayaannya tidak wajar. 

Ketua Umum Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI) Trubus Rahadiansyah mengatakan, adanya kampanye stop bayar pajak, menurutnya terlalu di politisasi dan berlebih-lebihan karena kewajiban membayar pajak sebenarnya merupakan bentuk kepatuhan bagi warga negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).

“Itu hanya segelintir orang yang mempolitisasi membentuk hastag stop bayar pajak, tapi sesungguhnya masyarakat kita masih patuh kepada negara. Bayar pajak merupakan kewajiban, apalagi sanksinya juga berat kalau gak bayar pajak juga di denda,” ujar Trubus saat dihubungi Infobanknews belum lama ini.

Tapi memang tingkat kepercayaan masyarakat akan sedikit tergerus terhadap pemerintah akibat kasus ini.

Menurutnya, hal ini harusnya menjadi poin bagi Kemenkeu dan DJP sebagai ajang untuk bebenah Kementerian secara menyeluruh. Pasalnya, kasus Rafael hanyalah salah satunya, masih banyak pejabat-pejabat lain yang juga memiliki rekening gendut.

“Ada kasus Rafael misalnya dan anaknya kebetulan karena perilaku bermewah-mewah,  tetapi yang terkait Rafael ini memang seperti poin bagi Kemenkeu dan Ditjen Pajak untuk melakukan pembenahan secara menyeluruh, karena sesungguhnya dia (Rafael) tidak sendiri banyak  diantara mereka itu juga mempunyai rekening gendut,” ungkap Trubus.

Selain itu, hal ini juga bersumber dari kebijakan pemerintah yang tidak tegas. Dimana pemerintah mewajibkan setiap pejabatnya untuk melaporkan harta kekayaannya, tapi tidak disertai sanksi ketika ada yang melanggar atau menyembunyikan hartanya.

“Rafael ini punya rubicon dan lain-lain tapi diatasnamakan orang lain, jadi itu kan poinnya tidak ada sanksinya karena gak ada sanksinya maka mereka itu hanya sekedar kewajiban untuk melaporkan hartanya,” jelas Trubus.

Untuk itu, saat ini tugas pemerintah adalah menjelaskan kepada masyarakat secara terbuka dan dilakukan penindakan secara tegas. Bila diperlukan pemerintah harus segera mengesahkan Undang-Undang mengenai pembuktian terbalik terhadap perampasan aset untuk memberantas adanya perilaku koruptif yang dilakukan oleh para ASN.

“Jadi solusinya memang harus melalui kebijakan regulasi dan itu political will dari pemerintah. Presiden harus turun tangan jadi dibenahi dan aditegakan semua supaya tidak menimbulkan kecemburuan di masyarakat,” pungkasnya.

Tambahnya, kalau Perpres No 37 Tahun 2015 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang ada itu memang lebih karena di lingkungan Kementerian Keuangan dianggap sebagai Kementerian sultan paling tinggi di zamannya. Sehingga dibutuhkan Perpres untuk mencegah tindak korupsi.

“Tunjangan sudah tinggi tapi masih melanggar itu yang harus dibikin sanksi seberat-beratnya, pemerintah harus tegas jangan dibiarkan terus menerus. Selama ini setelah kasus Gayus Tambunan dan kasus di kementerian lain juga banyak tapi hanya diberikan sanksi yang ringan,” tutupnya. (*)

Editor: Rezkiana Nisaputra

Related Posts

News Update

Top News