Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom, Dewan Pakar Institute of Social, Economic and Digital/ISED dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/LPPI)
INFLASI yang mendingin dan pembukaan kembali aktivitas ekonomi di Tiongkok telah meningkatkan kepercayaan global. Inflasi yang melandai di awal 2023 disertai aktivitas ekonomi yang tangguh membantu meningkatkan kepercayaan konsumen pada Januari lalu di sebagian besar ekonomi global utama.
Inflasi yang cenderung menurun mendorong sentimen konsumen di sebagian besar zona Euro untuk dua bulan berturut-turut di 2023 ini, terutama di Jerman, karena anjloknya harga energi mengurangi tekanan harga. Pada saat yang sama sentimen positif konsumen di Amerika Serikat (AS) membaik karena pulihnya kepercayaan sejak level rendahnya pada Juli 2022 lalu.
Yang menggembirakan, keyakinan konsumen global pada Januari lalu meningkat di 31 dari 43 negara yang dilacak oleh Morning Consult. Karena, inflasi terpantau melandai dan ekonomi yang cukup resiliensi menyebabkan indeks sentimen konsumen di 43 negara tadi naik secara rata-rata bulanan sebesar 2,2%.
Salah satu faktor penting yang disorot yaitu meningkatnya kepercayaan konsumen Tiongkok menyusul penghapusan kebijakan pembatasan nol COVID-19 di negara itu, yang secara nyata membantu mengangkat sentimen global.
Lonjakan kepercayaan yang didorong oleh pembukaan kembali oleh Tiongkok berpotensi mengantarkan periode permintaan global yang lebih kuat dan aktivitas ekonomi di ekonomi terbesar di Asia atau terbesar kedua di dunia itu.
Peningkatan sentimen sebagian besar didorong oleh kaum muda Tiongkok, yang sangat ingin segera keluar dari penguncian total melalui kebijakan nol COVID-19. Sentimen konsumen juga pulih dengan cepat di sebagian besar kawasan Eropa karena inflasi mulai bergulir ke bawah dan krisis energi musim dingin yang sangat ditakuti telah gagal terjadi.
Jerman terutama telah melihat reli yang kuat terkait kepercayaan konsumen sejak November lalu, sementara Inggris juga menunjukkan lonjakan optimisme yang signifikan. Hanya saja, sentimen di Prancis turun pada Januari lalu di tengah kenaikan inflasi dan protes seputar reformasi program pensiun.
Secara keseluruhan, kepercayaan konsumen yang meningkat pesat di sebagian besar benua akan mendukung pandangan bahwa negara-negara Eropa mungkin dapat menghindari resesi tahun ini, jauh berbeda dengan yang diperkirakan sebelumnya.
Terlepas dari kenaikan yang cukup signifikan tersebut, nyatanya kepercayaan konsumen di AS dan Kanada masih jauh di bawah tingkat kepercayaan konsumen di masa prapandemi. Meskipun demikian, sudah ada indikasi kuat kepercayaan konsumen AS terus menguat, terutama setelah program vaksinasi berjalan sukses sehingga meningkatkan mobilitas masyarakat.
Tak kalah bagusnya, kepercayaan konsumen di Meksiko sekarang menjadi yang paling unggul di kawasan Amerika Latin, meskipun dibayang-bayangi oleh perlambatan ekonomi AS menyusul kebijakan moneter superketat yang dicanangkan oleh bank sentral AS, The Fed.
Kendati dalam bulan-bulan terakhir ini terjadi disinflasi, namun ekspektasi inflasi yang masih jauh di atas ambang batas yang 2% membuat The Fed diperkirakan masih akan melanjutkan kenaikan suku bunga acuan meskipun dalam besaran kenaikan yang lebih akomodatif.
Sinyal Positif IMF
Pada 31 Januari 2023 lalu, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) menyajikan laporan perkiraan pertumbuhan ekonomi global yang membaik dari yang diperkirakan pada Oktober 2022 lalu. Lembaga ini melihat “titik balik” bagi ekonomi global karena menaikkan prospek pertumbuhannya untuk pertama kalinya dalam setahun, dengan pengeluaran AS yang tangguh dan pembukaan kembali Tiongkok menopang permintaan terhadap serangkaian risiko.
Produk domestik bruto (PDB) global kemungkinan akan tumbuh 2,9% pada 2023, atau 0,2 poin persentase lebih tinggi dari perkiraan pada Oktober lalu. Meskipun perkiraan ini mengindikasikan perlambatan dari perkiraan ekspansi PDB global sebesar 3,4% pada 2022 lalu, IMF tetap memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun ini akan mencapai titik terendahnya untuk kemudian dipercepat menjadi 3,1% pada 2024 nanti.
Kenaikan suku bunga acuan bank-bank sentral negara-negara utama (advanced economies) dan invasi militer Rusia ke Ukraina sejak setahun lalu akan terus membebani aktivitas ekonomi global tahun ini di tengah krisis inflasi yang berkepanjangan. Inilah sinyalemen IMF yang patut menjadi perhatian para pengambil kebijakan di seluruh dunia.
IMF memantau bahwa kenaikan harga konsumen dunia melambat menjadi 6,6% tahun ini, atau 0,1 poin persentase lebih tinggi dari proyeksi Oktober lalu, meskipun lebih rendah dari 8,8% pada 2022. IMF pun memperkirakan perlambatan laju inflasi lebih lanjut menjadi 4,3% pada 2024. Ekspektasi inflasi diperkirakan akan lebih rendah di 84% dari keseluruhan negara di dunia pada 2023 dibandingkan inflasi 2022.
Kepala ekonom IMF, Pierre-Olivier Gourinchas, menegaskan bahwa outlook perekonomian global di 2023 ini relatif lebih baik dari perkiraan sebelumnya (Oktober 2022), meskipun perbaikannya masih belum cukup untuk menyamai kondisi sebelum pandemi. Sebab, masih ada beberapa tantangan untuk menuju pemulihan berkelanjutan yang luas dan tahan lama.
Perjuangan melawan inflasi belum dimenangkan sehingga kebijakan moneter di sejumah bank sentral harus tetap ketat atau kontraktif. Bagi negara-negara yang menunjukkan perbaikan pengendalian inflasi, mereka berpeluang menahan kenaikan suku bunga acuan untuk sementara waktu, sebelum suku bunga acuan benar-benar diturunkan selaras dengan pelandaian inflasi yang signifikan sesuai target di setiap negara.
IMF juga menyinggung masih adanya potensi risiko perlambatan ekonomi global, misalnya jika pemulihan ekonomi Tiongkok terhenti karena muncul pandemi baru atau susulan, eskalasi perang di Ukraina meningkat, dan lebih banyak negara berkembang dan negara miskin memasuki masa kesulitan pemenuhan kewajiban utang luar negerinya sehingga berpotensi gagal bayar atau default.
Tak lupa IMF mengingatkan bahwa inflasi tinggi juga bisa lebih persisten. Pasar keuangan global dapat menjadi tidak stabil, dan ketegangan internasional yang didorong oleh agresi Rusia dapat menyebabkan sistem global terpecah, sehingga menghambat kerja sama antarnegara.
Dari publikasi IMF terbaru tersebut, lembaga ini menaikkan perkiraan pertumbuhan ekonomi 2023 untuk negara-negara maju menjadi 1,2%, atau 0,1 poin persentase lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya, meskipun masih kurang dari setengah ekspansi PDB sebesar 2,7% pada 2022. Dalam kelompok ini, ekonomi Inggris dikategorikan “outlier” dan diperkirakan akan berkontraksi 0,6%.
Sementara, AS diperkirakan akan tumbuh 1,4%, atau 0,4 poin persentase lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya, di tengah permintaan domestik yang makin tangguh. IMF melihat “jalan sempit” di mana resesi AS dapat dihindari pada 2023 ini, meskipun tingkat pengangguran naik menjadi sekitar 5,2% pada tahun depan dari 3,7% tahun ini.
Peningkatan terbesar adalah untuk ekonomi Rusia, yang sekarang diprediksi oleh IMF akan tumbuh 0,3% dibandingkan dengan kontraksi sebesar 2,3% berdasarkan perkiraan Oktober 2022.
Tingkat batas harga minyak saat ini yang ditetapkan oleh negara-negara G7 diperkirakan tidak akan secara signifikan memengaruhi volume ekspor minyak mentah Rusia, dengan perdagangan terus dialihkan dari sanksi ke negara-negara yang tidak memberikan sanksi. Rusia juga dibantu oleh langkah-langkah stimulus fiskalnya.
IMF juga meningkatkan perkiraannya untuk pasar negara berkembang, dengan mengatakan mereka akan tumbuh 4%, atau peningkatan 0,3 poin persentase dari perkiraan Oktober lalu dan juga lebih baik dibandingkan dengan 3,9% untuk 2022. IMF juga menaikkan perkiraan ekspansi PDB Tiongkok sebesar 0,8 poin persentase menjadi 5,2%. Bahkan, IMF meramalkan perekonomian Tiongkok dan India akan menyumbang sekitar setengah dari pertumbuhan PDB dunia pada 2023 ini.
Harus diakui, nada IMF yang lebih optimistis ini kontras dengan pandangan yang lebih menyeramkan dari lembaga internasional lainnya, yakni Bank Dunia (World Bank). Pemberi pinjaman pembangunan pada 10 Januari 2023 ini justru memangkas perkiraan pertumbuhannya untuk sebagian besar negara dan wilayah atau kawasan, dan memperingatkan bahwa guncangan buruk baru dapat membawa ekonomi global ke dalam resesi.
Gourinchas mengatakan bahwa sebagian dari perbedaan tersebut telah dijelaskan oleh penggunaan bobot “pembelian-kekuatan-paritas” (purchasing power parity) oleh IMF, yang memberikan penekanan yang lebih besar pada ekonomi pasar negara berkembang, berbeda dari penggunaan nilai tukar berbasis pasar oleh Bank Dunia. Di sini Bank Dunia juga lebih pesimistis daripada IMF terkait outlook pertumbuhan ekonomi negara maju dan ekonomi Eropa.
Perkiraan pertumbuhan ekonomi global yang menguat ditopang oleh perbaikan ekonomi di negara-negara maju serta menguatnya ekonomi India dan Tiongkok itulah yang menegaskan IMF pada kesimpulan bahwa kondisi saat ini dan ke depannya terasa jauh dari segala jenis penanda resesi global, meskipun risiko geopolitik dan ketidakpastian dapat seketika mengubah optimisme itu.
Peran Kawasan Asia
Meskipun prospek membaik di tengah risiko geopolitik yang masih ada, namun ekonomi global diperkirakan mendapat beberapa dorongan pertumbuhan. Pembukaan kembali Tiongkok setelah berakhirnya kebijakan nol COVID-19 yang tidak terduga berpotensi mengurangi penurunan permintaan global secara signifikan.
Selain itu, banyak pasar negara berkembang – terutama di kawasan Asia – terbukti tangguh di tengah lonjakan inflasi, kenaikan suku bunga acuan, dan volatilitas nilai tukar mata uangnya. Kekuatan relatif ekonomi kawasan ini diperkirakan juga akan mendukung pertumbuhan global pada 2023 dan berlanjut di 2024.
Pasar negara berkembang Asia, termasuk India dan beberapa negara Asia Tenggara (di mana Indonesia sebagai motornya), diperkirakan masih akan berkinerja lebih baik pada 2023. Meskipun, dengan laju pertumbuhan lebih lambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, baik karena berkurangnya permintaan dari AS dan Eropa yang memukul sektor ekspor dan jasa negara-negara tersebut maupun karena faktor high based effect di mana pertumbuhan ekonomi 2022 lalu terbilang tinggi.
Ekonomi India dan Indonesia tumbuh masing-masing sebesar 6,8% dan 5,31% tahun lalu. Tahun ini ekonomi India dan Indonesia masing-masing diperkirakan tumbuh sebesar 6,1% dan 4,8%. Sementara, ekonomi Vietnam dan Filipina masing-masing diperkirakan tumbuh berkisar 7%.
Alhasil, India dan Indonesia akan menjadi kunci pertumbuhan ekonomi kawasan Asia karena kedua negara termasuk ke dalam 20 besar negara dengan nilai PDB terbesar di dunia. Dalam hal ini India menduduki peringkat keenam dan Indonesia ke-16.
Sejauh ini aktivitas ekonomi di kedua negara Asia ini masih bekerja optimal, yang ditunjukkan dari posisi purchasing managers’ index (PMI) untuk manufaktur mereka. Di India, meskipun PMI manufaktur turun 2,4 poin menjadi 55,4 namun tetap berada di zona ekspansi. PMI sektor jasa juga turun 1,3 poin menjadi 57,2, namun tetap berada di zona ekspansi.
Di Indonesia, PMI manufaktur naik 0,4 poin menjadi 51,3 pada Januari lalu, yang mengindikasikan denyut nadi perekonomian tetap ekspansif. Inflasi indeks harga konsumen (IHK) turun menjadi 0,3% secara bulan ke bulan (month to month/mom) pada Januari 2023 dari sebelumnya yang 0,7% pada Desember 2022. Alhasil, inflasi tahunan (year on year/yoy) telah turun dari 5,51% menjadi 5,28%.
Perkembangan inflasi yang terkendali inilah yang menjadi salah satu pertimbangan Bank Indonesia (BI) menahan laju kenaikan suku bunga acuan tetap pada level 5,75% pada Februari ini. Alhasil, stance kebijakan moneter yang cenderung longgar ini memberikan sentimen positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2023 untuk terus melaju hingga batas bawah 4,5% dan batas atas 5,3% sesuai perkiraan bank sentral.