Jakarta – Chairman Mayapada Group yang sekaligus anggota Dewan Penasihat Presiden RI, Dato Sri Tahir, memprediksi Indonesia dapat masuk ke dalam tujuh besar kekuatan ekonomi dunia dalam waktu 10 tahun mendatang.
Ia menilai, sejumlah megatrend yang saat ini tengah terjadi, seperti meningginya inflasi, perubahan pada valuasi bisnis, konflik geopolitik, hingga kompetisi menuju supremasi teknologi membuka beberapa peluang bagi ekonomi Indonesia untuk berjaya dalam percaturan ekonomi global.
Tahir menjelaskan bahwa kondisi perekonomian global saat ini sudah dapat diprediksi, berbeda dengan masa sebelum perang dunia kedua. Banyak model proyeksi ekonomi saat ini yang berdasarkan pada observasi dan data dari kondisi ekonomi paska perang dunia kedua.
“Meskipun begitu, adanya konflik geopolitik dan krisis ekonomi membuat perekonomian global jadi lebih sulit untuk diprediksi,” ujar Tahir, seperti dikutip dari ThinkChina, Selasa, 3 Januari 2023.
Ia terangkan lebih lanjut bahwa beberapa negara kekuatan ekonomi dunia tengah menghadapi ketidakpastian. Setelah suku bunga acuan The Fed meningkat secara agresif dalam beberapa waktu ke belakang, pemerintah AS pun ingin menghentikan laju peningkatan suku bunga tersebut, namun target PHK pada pekerja dan pengendalian inflasi terus meleset.
Sementara, di satu sisi lagi, Inggris Raya berpotensi untuk masuk ke dalam krisis utang karena menggunakan dana pinjaman untuk membiayai “perusahaan-perusahaan zombie” yang membebani sistem ekonomi dan perusahaan lain yang berkinerja baik.
Tidak seperti negara-negara kapitalis di atas, Tiongkok mengadopsi sistem ekonomi sosialis kapitalis yang dikendalikan oleh negara dan partai politik. Meskipun begitu, berbisnis dan berdagang di Tiongkok semakin sulit. Sebagai contoh, bisa lihat kasus tersendatnya regulasi bisnis Alibaba, Tencent, dan Baidu. Di samping itu, masih ada pula persoalan krisis utang yang menjerat Grup Wanda dan Evergrande.
“Kombinasi dari friksi ekonomi, tensi geopolitik, disrupsi rantai pasokan, serta pandemi akan mendorong inflasi lebih tinggi. Tidak seperti inflasi sebelumnya yang dipicu oleh meningkatnya jumlah peredaran uang, inflasi kali ini justru terjadi karena berkurangnya pasokan akibat pandemi yang diperparah oleh peningkatan biaya produksi dan transportasi (cost-push inflation), pelonggaran kuantitatif, dan dana tabungan,” terang Tahir.
Dengan begitu, menurutnya, tak heran bila dunia saat ini menghadapi lonjakan inflasi tercepat. Perusahaan-perusahaan dengan modal lebih kecil seperti Meta dan Google berpotensi kolaps, sedangkan korporasi dengan aset dan modal dalam bentuk fisik yang lebih kuat seperti McDonald’s, Coca-Cola, dan Boeing akan bertahan.
“Valuasi bisnis sekali lagi berdasarkan pada kemampuan perusahaan untuk menciptakan keuntungan. Maka dari itu, para investor harus berhati-hati,” tambahnya.
Kondisi demikian semakin dibuat lebih kompleks lagi dengan potensi timbulnya polarisasi akibat persaingan supremasi teknologi negara-negara adidaya. Hal ini kemudian dapat mengantarkan dunia pada kebijakan yang semakin proteksionis dan deglobalis.
Potensi Ekonomi Indonesia Untuk Semakin Besar
Tahir menyatakan, citra Indonesia di mata internasional sedang berada pada posisi terbaiknya saat ini. Jokowi secara aktif berpartisipasi dalam misi menjaga perdamaian dunia, dimana hal ini dapat dilihat dari tindakan Jokowi yang menyambangi negara Ukraina dan Rusia di tengah krisis pangan global beberapa waktu lalu.
“Sambil Indonesia juga berperan sebagai tuan rumah dalam pengelenggaraan Presidensi G20, dan menjadi kepala penyelenggara pertemuan negara-negara Asean nanti. Indonesia bukan lagi negara raksasa yang tak terlihat, tetapi negara besar dengan kedudukannya di dunia internasional yang nyata,” ucap Tahir, dikutip dari ThinkChina.
Dan selama tujuh tahun terakhir masa jabatan Presiden Jokowi pula, Indonesia banyak mengalami perubahan. Di masa lalu, untuk merangsang pertumbuhan, ada subsidi BBM, yang dengan berani dicabut oleh Jokowi pada tahun 2015. Jokowi mengalihkan dana subsidi untuk pembangunan infrastruktur, desa, logistik, pertanian, perumahan rakyat dan proyek-proyek publik, serta meningkatkan pasokan pangan.
“Masyarakat Indonesia mulai melihat hasilnya. Strategi peningkatan investasi untuk pembangunan masa depan ini harus diperkuat dan dilanjutkan,” tegas Tahir.
Reputasi baik Indonesia juga mulai dikenal dunia. Pada November tahun lalu, sebagai tanda persahabatan, Uni Emirat Arab (UEA) menghadiahkan Masjid Raya Syeikh Zayed di Solo, dan ada kabar bahwa UEA akan membangun masjid untuk Jokowi di Abu Dhabi.
Terakhir, ketika banyak negara menghadapi ancaman krisis utang, atau kesulitan membayar utang akibat Covid-19 dan kenaikan federal funds rate, Indonesia justru berhasil menjaga stabilitas moneternya. Sekitar 15 hingga 20 negara masuk ke “ICU” dan meminta bantuan IMF untuk bernapas dan membayar utang mereka.
Indonesia mendapatkan kepercayaan dari organisasi asing, dan harus diakui kemampuannya dalam menerapkan kebijakan keuangan yang prudent dan mengkoordinasikan kementerian keuangan dengan otoritas keuangan dalam menjaga stabilitas serta pertumbuhan ekonomi yang seimbang.
“Di saat banyak negara mengalami krisis dan berada pada titik terendah, Indonesia berhasil tumbuh, yang merupakan wujud dari upaya pemerintah,” ujar Tahir.
Ke depan, Tahir pun mengusulkan sejumlah kebijakan seperti memperkuat keamanan pangan, meningkatkan kapasitas alokasi sumber daya yang langka demi mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, membangun industri baterai nikel, serta menjaga stabilitas kondisi domestik, perlu terus dilanjutkan dan diperkuat.
“Biar bagaimanapun, bukanlah hal yang mudah untuk masuk ke dalam tujuh besar kekuatan ekonomi dunia. Untuk berhasil, Indonesia memerlukan stabilitas, rancangan ekonomi yang baru, serta kepemimpinan yang berpengalaman, capable, dan berani,” pungkas Tahir. Steven Widjaja