“Mereka” Ulang Prospek Ekonomi dan Sektor Finansial Global

“Mereka” Ulang Prospek Ekonomi dan Sektor Finansial Global

Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom dan Co-Founder & Dewan Pakar Institute of Social, Economic and Digital (ISED)

SEBUAH analisis tentang prospek ekonomi global untuk 2023 dibubuhi dengan narasi pesimistis, yaitu malapetaka dan kesuraman. Tekanannya pada beragam kebijakan yang diramu sedemikian rupa untuk mengatasi krisis biaya hidup di berbagai negara, utamanya negara berpenghasilan rendah (low income countries). 

Setelah rebound yang kuat dari pandemi pada 2021, kini semuanya berubah menjadi kian mencekam akibat perang Rusia vs Ukraina dan kebijakan penguncian (lockdown) di Tiongkok yang berkepanjangan untuk menekan kasus positif COVID-19 menjadi nol (zero COVID-19 policy). 

Kini kekhawatiran resesi dunia mulai menjadi kenyataan. Ekonomi Amerika Serikat (AS) mengalami kontraksi pada paruh pertama 2022, meskipun mulai tumbuh positif (2,6% year on year/yoy) di kuartal ketiga 2022, sementara kinerja ekonomi kawasan Eropa diperkirakan tetap melemah. Yang menarik, pemulihan dari penurunan dan perlambatan ekonomi ini akan bertahap dan tidak seperti pola berbentuk V yang terlihat selama pandemi. 

Perkiraan Ekonomi ke Depan

Berikut adalah perspektif tentang bagaimana ekonomi negara-negara utama siap untuk berkinerja hingga akhir tahun ini dan tahun berikutnya. Pertama, perkiraan ekonomi AS. Inflasi diperkirakan tetap panas, dengan indeks harga konsumen (IHK) naik 8,2% yoy pada September lalu. Kekhawatiran yang lebih besar adalah lonjakan inflasi inti ke level tertinggi dalam empat dekade terakhir. 

Harga energi global yang melandai, yang dicirikan oleh harga minyak dunia yang menurun hingga di bawah US$100 per barel, telah menjadi titik terang untuk mencapai harga kenormalan baru. Harapannya, harga pangan dunia yang sempat melambung tinggi bisa turun sejalan dengan penurunan harga minyak.

Hanya saja, dengan inflasi yang tinggi dan pasar tenaga kerja yang masih ketat, bank sentral AS, The Fed, tidak mungkin mengubah arah kebijakan moneternya dalam jangka pendek ini. Bank sentral AS diperkirakan akan terus menaikkan suku bunga acuan dalam dosis yang agresif, berkisar 50-75 basis points (bps), di pertemuan-pertemuan berikutnya sampai suku bunga acuan menyentuh kisaran 5%. Langkah ini ditempuh untuk mendorong inflasi melandai ke level target sasaran yang 2%. Dengan demikian, kebijakan moneter ketat (hawkish) masih akan berlanjut di sepanjang 2023 nanti.

Kedua, perkiraan ekonomi kawasan Eropa. Sebenarnya, ekonomi kawasan ini mencatat kinerja yang cukup solid pada paruh pertama 2022. Namun, efek perang Ukraina-Rusia memperburuk keadaan. Ekspansi ekonomi kawasan ini terkendala oleh keterbatasan pasokan gas, karena pipa saluran gas ditutup oleh Rusia sebagai aksi balasan atas sentimen negatif Eropa terhadap agresi Rusia ke Ukraina.

Berbagai survei terkait aktivitas terbaru menunjukkan ekonomi sudah masuk ke fase resesi singkat hingga kuartal pertama 2023, dengan risiko perpanjangan masa resesi disertai tingkat keparahan kontraksinya. Pesan jelas datang dari Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB), termasuk risalah pertemuan ECB pada September lalu, bahwa para pengambil kebijakan amat khawatir terhadap dinamika inflasi. 

Maklum, inflasi melonjak ke rekor tertinggi 10% yoy pada September lalu, mendorong kenaikan suku bunga sebesar 75 bps pada Oktober. Pengetatan kebijakan diperkirakan lebih lanjut melalui kenaikan 50 bps pada pertemuan ECB di Desember nanti, lalu diikuti laju pengetatan yang lebih lambat di awal tahun depan seiring melandainya ekspektasi inflasi.

Ketiga, perkiraan ekonomi Inggris. Pemerintah baru Inggris di bawah Perdana Menteri Rishi Sunak sedang berusaha keras membalikkan semua pandangan pesimistis setelah pemerintahan sebelumnya membuat blunder terkait kebijakan pajak. Saat ini pemerintah Inggris membatalkan hampir semua kebijakan pajak yang kontroversial di era sebelumnya yang dinilai “anti pasar”.

Kondisi Inggris memang ironis. Memburuknya ekonomi diperparah dengan kekacauan politik. Setelah tumbuh 0,2% yoy pada kuartal kedua, ada kemungkinan ekonomi berkontraksi pada kuartal ketiga dan keempat tahun ini karena kisruh politik menekan aktivitas ekonomi. 

Krisis biaya hidup juga akan terus membebani pertumbuhan, yang mengarah ke resesi yang berlangsung hingga awal 2023. Melemahnya kegiatan ekonomi disertai melemahnya pound sterling dan pasar kerja yang masih ketat diperkirakan akan memicu kenaikan 75 bps oleh Bank of England (BoE) pada pertemuan November ini. Suku bunga BoE akan mencapai puncaknya di level 4,00% pada Maret 2023 untuk menurunkan inflasi yang sempat menyentuh rekor 10%.

Keempat, perkiraan ekonomi Jepang. Di tengah lingkungan eksternal yang suram, permintaan domestik telah menempatkan ekonomi Jepang pada pijakan yang lebih kuat. Namun, memburuknya persyaratan perdagangan dan permintaan eksternal yang lemah akan membebani sektor ekspor vital negara itu dalam beberapa bulan mendatang. Penurunan nilai tukar yen yang konsisten menyebabkan intervensi oleh pihak berwenang, Bank of Japan (BoJ), guna menopang yen untuk pertama kalinya sejak 1998. 

Sejauh ini BoJ tetap menjadi satu-satunya bank sentral utama dengan suku bunga kebijakan negatif, yakni 0,1%. Bank sentral telah berjanji untuk mempertahankan kebijakan moneter ultra-longgarnya untuk mendorong aktivitas ekonomi yang belum kuat, meskipun inflasi mulai bergerak naik. Ekonomi Jepang dilaporkan mengalami kontraksi di kuartal III-2022 sebesar minus 0,3%. 

Data ini mengecewakan karena berada di bawah ekspektasi pasar yang memperkirakan pertumbuhan positif 0,3%. Ekspektasi pasar yang logis, lantaran sebelumnya di kuartal II-2022 ekonomi Jepang mampu tumbuh 1,1%. Dengan demikian, pertumbuhan negatif pada kuartal ketiga tersebut adalah kontraksi pertama sejak kuartal III-2021, di tengah tekanan inflasi global dan pelemahan yen yang tajam. 

Kini Jepang menyusul AS dan Inggris di antara negara-negara maju yang mencatat inflasi tinggi. Jepang mencatatkan inflasi konsumen inti tertinggi dalam delapan tahun sebesar 3,0% pada September 2022 lalu. Tentu saja inflasi ini melampaui target sasaran BoE yang sebesar 2%, ditambah dengan nilai tukar yen yang merosot ke posisi terendah dalam 32 tahun sehingga mendorong biaya impor.

Indikasi kenaikan inflasi Jepang sudah terlihat seiring dengan kenaikan indeks harga konsumen inti (CPI), tidak termasuk harga makanan segar tetapi termasuk harga bahan bakar minyak (BBM), sebesar 2,8% pada Agustus 2022. Ini adalah laju kenaikan inflasi tercepat sejak September 2014. 

Jadi, mungkin saja ekonomi Jepang telah memasuki fase stagflasi, ditandai oleh ekonomi yang kontraksi dibarengi dengan laju inflasi yang tinggi. Hanya saja, dengan laju inflasi yang masih relatif moderat dibandingkan dengan inflasi di negara ekonomi besar lainnya, maka BoJ berjanji untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan rendah untuk menopang ekonominya.

Kelima, perkiraan ekonomi Tiongkok. Setelah kinerja yang suram di kuartal kedua, ekonomi negara dengan populasi terbesar di dunia ini mendapatkan kembali momentumnya. Permintaan domestik secara bertahap mulai membaik karena kebijakan pembatasan mobilitas makin longgar dan kasus COVID-19 tetap relatif rendah seiring kebijakan nol COVID-19. Dukungan kebijakan, seperti pengurangan pajak pembelian mobil, membantu menstabilkan stance pertumbuhan. 

Namun, komitmen berkelanjutan terhadap kebijakan nol COVID-19, yang dinyatakan pada Kongres Partai Komunis ke-20 belum lama ini, diyakini akan menahan permintaan konsumen. Kebijakan moneter longgar yang berbeda dengan AS yang ketat menyebabkan peningkatan arus keluar modal dan membebani nilai tukar yuan. Nilai tukar yuan atau renminbi sekarang berada di atas 7 yuan per dolar AS sebagai level ambang batas psikologis yang bisa ditoleransi. 

Sektor properti yang sedang berjuang bangkit tetap menjadi sumber risiko terbesar bagi perekonomian Tiongkok, yang memaksa pihak berwenang untuk menerapkan lebih banyak instrumen kebijakan. Namun, ruang untuk stimulus fiskal skala besar terkendala oleh tingkat leverage yang tinggi dan pendapatan pemerintah daerah yang lebih rendah dari hasil penjualan tanah karena daya beli masyarakat melemah sehingga melemahkan permintaan.

Keenam, perkiraan ekonomi Indonesia. Negara dengan sumber daya alam yang melimpah ini mencatatkan kinerja ekonomi yang baik dan stabil. Sejak kuartal IV-2021 lalu hingga kuartal III-2022, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) melampaui 5% secara tahunan (yoy) sehingga diyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2022 akan mencapai 5,2%-5,5%.

Kuatnya konsumsi rumah tangga domestik, yang berkontribusi 51%-55% terhadap total PDB, didukung oleh meningkatnya investasi langsung ke berbagai sektor ekonomi produktif, diperkirakan tetap mampu menopang pertumbuhan ekonomi di 2023 sebesar 5,0%-5,5%. Optimisme ini juga ditopang oleh kebijakan fiskal yang tetap ekspansif didukung kebijakan moneter yang pro pertumbuhan. 

Keberhasilan dalam perhelatan Presidensi G20 di Bali pada 15-16 November 2022 lalu dengan komunike yang positif-provokatif terhadap persoalan perdamaian dunia disertai dengan spirit kolaborasi ekonomi, perdagangan dan investasi global memberikan tambahan optimisme bahwa perekonomian Indonesia akan tetap terjaga dengan baik. 

Kinerja Sektor Finansial Global

Meskipun ritme pemulihan ekonomi berbagai negara di dunia bergerak tidak selaras, di mana kecepatan pemulihan di negara berkembang relatif lebih baik ketimbang negara maju, namun arahnya sama, yakni terjadi normalisasi ekonomi pasca-COVID-19 dan perang Rusia-Ukraina. 

Setiap negara, melalui institusi pengambil kebijakan fiskal, moneter, dan finansial, telah meramu seperangkat instrumen kebijakan relaktatif yang sinergis untuk dapat menopang aktivitas sektor keuangan meskipun dibayang-bayangi oleh pandemi dan perang. Kebijakan fiskal didesain tetap ekspansif dan produktif, diperkuat dengan kebijakan moneter longgar untuk menopang sektor riil, juga kebijakan sektor keuangan yang lentur untuk menopang fungsi intermediasi ke dunia usaha. 

Sektor perbankan, pasar modal, dan nonperbankan saat ini menunjukkan tanda pemulihan yang meyakinkan. Berbagai bursa saham utama di dunia terus mencatat pertumbuhan secara konsisten. Tingkat profitabilitas emiten korporasi juga membaik, utamanya emiten sektor keuangan. 

Mengambil sampel industri perbankan di Indonesia, hampir semua pelakunya mampu membukukan profit bersih yang baik dan konsisten berkelanjutan dengan besaran persentase mendekati level prapandemi. Ini lantaran sektor riil juga terus bergerak ditopang oleh kuatnya permintaan domestik.

Pada saat yang sama, kelompok masyarakat milenial dengan literasi keuangan digital yang baik juga dimanjakan oleh hadirnya bank-bank digital dengan beragam produk hybridnya. Inovasi berbasis teknologi di sektor perbankan ini merepresentasikan evolusi di sektor keuangan Indonesia sejak pandemi COVID-19 melanda Indonesia yang dipahami bersama justru mengakselerasi digitalisasi sektor keuangan. 

Digitalisasi telah menjadi kekuatan disruptif yang penting di sektor keuangan, khususnya perbankan. Bank tradisional menghadapi persaingan yang meningkat dari pemain baru, termasuk perusahaan rintisan fintech dan platform teknologi (bigtech), dengan respons peraturan yang penting untuk struktur sistem keuangan di masa depan. 

Harapannya, perubahan dari praktik konvensional ke digitalisasi dan perubahan struktural di sektor keuangan mampu memberikan manfaat dan nilai tambah yang lebih besar ketimbang risiko baru yang tercipta di masa depan. 

Yang pasti, perkembangan teknologi finansial yang pesat juga menciptakan ekosistem sektor keuangan yang lebih kompleks yang menuntut otoritas atau regulator dapat menemukan instrumen regulasi dan supervisi yang tepat dan efektif. Ini termasuk langkah antisipatif ketika sektor korporasi dan keuangan dihadapkan pada tantangan normalisasi kebijakan dan konsolidasi fiskal di masa pascapandemi, mengingat setiap negara menghadapi tantangan dan kebutuhan yang berbeda untuk menuju normalisasi kebijakan. (*)

Related Posts

News Update

Top News