Rating 127 BUMN Versi Infobank 2022: Ini Nasib BUMN Buntung dan Tertimbun Utang

Rating 127 BUMN Versi Infobank 2022: Ini Nasib BUMN Buntung dan Tertimbun Utang

Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi

PERUSAHAAN badan usaha milik Negara (BUMN) berusaha bangkit sekaligus menjadi motor pemulihan ekonomi yang terdampak pandemi COVID-19. Namun, kemampuan dan performa perusahaan-perusahaan pelat merah tidak sama rata. Ada yang untung sudah menggunung dan ada yang buntung.

Biro Riset Infobank mencatat, setiap tahun aset dan laba BUMN meningkat, kecuali pada 2020 yang labanya merosot 72,54% menjadi Rp39 triliun karena dihajar pandemi. Tapi setiap tahunnya selalu ada sederet perusahaan BUMN dhuafa. Jumlah perusahaan BUMN yang merugi pada 2017 menyusut dari tahun sebelumnya menjadi 12 perusahaan. Namun pada 2019, jumlah perusahaan BUMN yang merugi bertambah menjadi 22 perusahaan dan membengkak menjadi 39 perusahaan pada 2020. Pada 2021, jumlah perusahaan BUMN yang merugi berkurang menjadi 30 perusahaan.

Menurut Biro Riset Infobank dalam kajian “Rating 127 BUMN Versi Infobank 2022”, ada sejumlah penyebab terjadinya kerugian di BUMN. Satu, mengerjakan layanan publik atau kegiataan yang lebih bernilai sosial dibanding kegiatan komersial, misalnya Perum Bulog dan PPD. Kendati begitu, Bulog berhasil mencetak laba pada 2021 setelah tiga tahun berturut-turut merugi, sementara PPD masih merugi karena dampak pandemi. Dua, manajemen tidak memiliki strategi yang jelas dan tidak efisien sehingga perusahaan tidak bisa berkompetisi di pasar. Contohnya seperti Sang Hyang Seri dan Pertani.

Tiga, terlalu ekspansif tanpa diperkuat dengan good corporate governance sehingga perusahaan dengan cepat tumbang begitu ada siklus krisis. Misalnya Garuda Indonesia yang pada saat melakukan pengadaan 23 pesawat biayanya terlalu mahal sehingga biaya operasionalnya lebih mahal dari pendapatannya. Sebelum terkena dampak pandemi, Garuda Indonesia hanya mampu mencatat return on assets (ROA) sebesar 0,14% pada 2019, bahkan pada 2017 mencatat kerugian Rp2,85 triliun sehingga ROA-nya minus 5,64%.

Empat, menjalankan penugasan pemerintah untuk mengerjakan proyek tanpa kajian bisnis dengan mengandalkan pinjaman komersial. Contohnya, Waskita Karya yang 25% sahamnya dimiliki publik dan sebelum pandemi sangat ekspansif mengerjakan proyek-proyek pemerintah. Hutama Karya yang 100% sahamnya dimiliki pemerintah dan mendapatkan suntikan dana negara yang besar pun merugi, apalagi Waskita Karya lebih banyak mencari pembiayaan di pasar. Bayangkan, dari investasi Rp120 triliun, PMN yang didapat hanya Rp3 triliun. Artinya, sisa mencari pinjaman di pasar. Maka ketika pandemi COVID-19 menekan pendapatan usaha, perusahaan pun tak mampu menahan beban usaha termasuk pembayaran utang sehingga dengan cepat menelan kerugian.

Akhirnya, beberapa perusahaan BUMN raksasa yang berada di klaster surplus creator dan seharusnya mendukung keuangan negara kini harus berjibaku memperbaiki masalah keuangannya. Misalnya, Garuda Indonesia.

Menurut Biro Riset Infobank, total utang Garuda Indonesia per Juni 2022 mencapai Rp192,03 triliun, membengkak dari akhir 2021 yang sebesar Rp189,82 triliun. Pasca diselesaikannya keputusan holomogasi dalam proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) akhir Juni lalu, Garuda berusaha mengoptimalkan struktur biaya dan mengembalikan sejumlah pesawat yang tidak menguntungkan kepada lessor.

Aset Garuda sendiri sudah menyusut 34,39% secara year on year menjadi Rp101,13 triliun. Namun, Garuda Indonesia optimis menekan nilai kerugian yang mencapai puncak pada 2021 hingga sebesar Rp59,56 triliun. Per Juni 2022, kerugian yang dicatat Garuda sebesar Rp3,21 triliun. Irfan Setyaputra, Direktur Utama Garuda Indonesia optimis bahwa Garuda Indonesia akan bangkit. Menurutnya, hingga periode Agustus 2022, Garuda Indonesia mencatatkan pertumbuhan frekuensi sebesar 32% dibandingkan periode Juni yang per minggunya mencatatkan frekuensi rata-rata 850 penerbangan.

Hutama Karya dan Waskita Karya pun sedang getol menjual asetnya untuk membayar utang. Hutama Karya berencana menjual lima ruas tol yang telah beroperasi pada 2022 untuk membayar utangnya yang mencapai Rp78,11 triliun pada 2021. Begitu juga Waskita Karya yang merupakan perusahaan terbuka dan memiliki 16 ruas tol, menargetkan ada lima ruas tolnya terjual tahun ini untuk membayar utangnya yang mencapai Rp93,47 triliun pada akhir 2021. Per Juni 2022, aset Waskita Karya menyusut 7,92% menjadi Rp97,14 triliun dan utangnya berkurang 13,97% menjadi Rp77,20 triliun.

Selain menjual aset produktifnya, sejumlah perusahaan BUMN juga harus disuntik uang negara dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN). Pada 2021, suntikan dana PMN kepada delapan BUMN mencapai Rp76,30 triliun atau 80% lebih besar dari PMN 2020 yang sebesar Rp42,07 triliun. Pada 2022, suntikan PMN ke tujuh BUMN sebesar Rp38,48 triliun. Sementara pada 2023, Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah menyetujui dana PMN yang diajukan Menteri BUMN sebesar Rp69,82 triliun, plus PMN non tunai sebesar Rp3,44 triliun kepada 10 BUMN.

Suntikan dana negara tersebut lebih besar dari sumbangan deviden yang diberikan BUMN kepada Negara. Pada 2020, BUMN membayar deviden sebesar Rp33 triliun dan pada 2021 jumlahnya menurun menjadi Rp29,5 triliun. Pada 2022 Rp39,7 triliun, dan pada 2023 Kementerian BUMN menargetkan kontribusi BUMN sebesar Rp43 triliun.

Suntikan PMN yang besar tersebut merupakan konsekuensi dari penugasan yang diberikan BUMN untuk membangun infrastruktur, proyek kelistrikan, pemulihan sektor usaha mikro kecil dan menengah, hingga penyelamatan perusahaan pelat merah yang sakit seperti Jiwasraya yang direstrukturisasi melalui IFG. Tanpa “instruksi” pemerintahan Jokowi kepada BUMN, panjang jalan tol tidak akan berkembang cepat menjadi sepanjang 2.497 kilometer per Mei 2022. Padahal, hingga 2014 panjang jalan tol yang beroperasi hanya 798 kilometer. Artinya, dalam 7,5 tahun terakhir Indonesia mampu menambah jalan tol sepanjang 1.699 kilometer.

Melalui penugasan juga BUMN mampu menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 sekaligus pemulihan ekonominya, ketika sektor swasta juga tidak berdaya terdampak pandemi. Dengan aset sebesar Rp10.323 triliun atau setara dengan 61% produk domestic bruto (PDB) Indonesia yang sebesar Rp16.970,8 triliun pada 2021, BUMN memiliki peranan yang sangat strategis.

Ke depan, perusahaan-perusahaan BUMN masih akan melaksanakan “tugas” negara seperti pembangunan infrastruktur maupun mengakselerasi pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19. Namun keluarnya PP Nomor 23 Tahun 2022 menjadi dilema, terutama bagi para direksi yang sedang memimpin perusahaan BUMN. Perlu dicatat bahwa penugasan yang tidak proper secara bisnis dan dikerjakan dengan mengandalkan utang komersial, tentu sangat berbahaya bagi perusahaan.

Lantas, jika para direksi BUMN harus siap bertanggung jawab penuh secara pribadi kalau terjadi kerugian dan mereka dianggap lalai sebagaimana tertuang dalam pasal 27 di Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2022, bagaimana jika kerugian disebabkan karena penugasan pemerintah untuk mengerjakan proyek-proyek yang tidak feasible secara bisnis?
Berapa jumlah perusahaan BUMN dhuafa yang dibubarkan oleh Menteri BUMN dan perusahaan pelat merah mana saja yang masih buntung dan tertimbun utang? Seperti apa rapor perusahaan-perusahaan pelat merah menurut “Rating 127 BUMN Versi Infobank 2022”? Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 533 September 2022.

Related Posts

News Update

Top News