Jakarta – Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Fed kembali menaikan suku bunganya pada bulan Juli 2022 sebesar 75 basis point (bps). Anton Hendranata selaku Chief Economist BRI mengatakan, kenaikan suku bunga The Fed akan memberikan dampak bagi pasar finansial dan valas Indonesia.
“Naiknya suku bunga The Fed menyebabkan investor banyak melarikan aset finansialnya dari negara berkembang menuju AS, karena return yang ditawarkan menjadi lebih besar dan risiko investasinya relatif kecil dibanding negara berkembang,” ujar Anton, Jumat, 29 Juli 2022.
Menurutnya, pasar keuangan AS yang menarik tentunya dapat mendorong capital outflow pada pasar keuangan Indonesia, baik di pasar saham maupun obligasi. Sejak bulan Mei 2022, ketika The Fed menaikan suku bunganya secara agresif sebesar 50 bps, pasar obligasi dan saham Indonesia sudah mengalami capital outflow.
Kenaikan suku bunga AS sebesar 75 bps saat ini, tentunya dapat semakin menekan pasar obligasi dan saham nasional. Selain itu, terjadinya capital outflow pada pasar finansial dapat mendorong depresiasi nilai Rupiah karena permintaan terhadap dolar AS yang meningkat dari penjualan aset finansial Rupiah. Lalu bagaimana dampaknya bagi perekonomian Indonesia?
Anton mengatakan, bahwa secara fundamental ekonomi Indonesia saat ini cukup kuat untuk menahan gejolak eksternal, baik pada sektor riil-perbankan, sektor finansial-valas, maupun sektor eksternal-perdagangan.
“Kami juga menunjukkan bahwa sektor finansial-valas Indonesia relatif lebih robust saat ini dalam menahan gejolak eksternal, terlihat dari cadangan devisa yang less sensitive terhadap capital outflow di pasar finansial dan perdagangan,” pungkasnya.
Lanjutnya, cadangan devisa pada Juni 2022 yang tercatat sebesar US$136,4 miliar, naik dari Mei 2022 sebesar US$135,6 miliar. Angka tersebut setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor, atau 6,4 bulan impor ditambah pembayaran utang luar negeri pemerintah, jauh di atas standar kecukupan internasional sebesar 3 bulan.
“Dengan cadangan devisa yang kuat dan kepemilikan asing yang rendah terhadap SBN diperkirakan dapat menahan volatilitas pasar finansial Indonesia,” kata Anton. (*) Irawati