Jakarta – Bank-bank konvensional pemilik unit usaha syariah (UUS) mungkin tidak harus melepas (spin off) UUS -nya menjadi bank umum syariah (BUS) sebelum akhir 2023. Pasalnya, ketentuan mengenai batas waktu terakhir untuk spin off UUS tidak dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Meski demikian, UUS yang asetnya sudah mencapai 50% dari bank induknya tetap wajib dipisahkan.
Ketentuan tersebut tertulis dalam draf RUU PPSK pasal 68 ayat 1 yaitu dalam hal bank umum konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% dari total nilai aset bank induknya, bank umum konvensional wajib melakukan pemisahan UUS tersebut menjadi bank umum syariah. Sebelumnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan syariah, memberi waktu kepada bank untuk spin off UUS selama 15 tahun dari 2008 hingga di 2023.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Herwin Bustamin yang juga menjabat Direktur Unit Usaha Syariah Permatabank menyambut baik RUU PPSK khususnya terkait kewajiban spin off UUS. Berdasarkan data yang dia pegang, saat ini masih ada sejumlah bank yang kesulitan dari sisi permodalan jika tetap diwajibkan untuk spin off UUS sebelum 2023.
“Apalagi untuk BPD-BPD (bank pembangunan daerah) yang modal intinya masih Rp3 triliun atau Rp4 triliun. Kan persyaratannya induk harus Rp3 triliun, sementara (modal inti) anak BUS nya harus Rp1 triliun. Jadi harus ada Rp4 triliun modal yang dipersiapkan. Hitung-hitungan kami ada enam BPD yang tidak siap untuk apin off,” ujar Herwin dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi XI, di Jakarta.
Sebagai informasi, berdasarkan data biro riset infobank (birI) hingga 2021 dari 27 BPD ada 12 bank yang memiliki UUS. Tercatat sejak 2016 hingga 2022 sudah ada tiga BPD yang memilih melakukan konversi menjadi bank syariah ketimbang melakukan spin Off UUS yaitu, Bank Aceh Syariah, Bank NTB Syariah dan yang terbaru Bank Riau Kepri.
“Kami sempat menanyakan kapan kira-kira UU ini berlaku. Karena sekarang ada 21 bank yang khawatir apakah spin off ini masih tetap wajib atau tidak. Otomatis dengan modal yang jauh lebih berkurang, bank-bank juga akan melepaskan portofolio yang besar besar,” ungkap Herwin.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Syariah Banking CIMB Niaga mengatakan potensi pasar industri perbankan syariah di Indonesia masih bisa digali lebih dalam lagi. Hal ini tercermin dari pangsa aset perbankan syariah yang baru 6,74% dibandingkan aset perbankan nasional.
“Perkembangan (aset) perbankan syariah kita di 2017 hanya Rp400 triliun. Dan di 2021 ini sudah hampir 700 triliun jadi naik hampir 300 triliun,” ujar Pandji.
Namun demikian, jika dibandingkan dengan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya, industri perbankan syariah Indonesia masih jauh tertinggal. Dia mencontohkan, aset perbankan syariah di negara-negara timur twngah yang sudah mencapai 40% dari perbankan konvensional.
Harusnya bisa lebih dari 6,74%. Dari sisi aset, angkanya masih sangat kecil jika dibandingkan dengan negara negara lain,” ungkap Pandji. (*) Dicky F.