Awas! Pemerintah Jangan Sampai Terkecoh Dengan Surplus Stok Beras

Awas! Pemerintah Jangan Sampai Terkecoh Dengan Surplus Stok Beras

Jakarta – Indonesia disebut memiliki ketersediaan pangan yang memadai hingga akhir 2024. Bahkan dalam tiga tahun terakhir, Indonesia sudah tidak lagi melakukan impor beras. Hal itu diungkap dalam Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) tentang Kebijakan Pangan.

Dalam Rakortas itu, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bersama pimpinan lembaga dan kementerian terkait membahas kondisi terkini terkait dengan situasi pangan nasional dan antisipasi krisis global di bidang pangan, serta berbagai upaya yang akan dilakukan untuk menjaga ketahanan pangan nasional.

Rakortas tersebut juga mengisyaratkan bahwa Indonesia akan segera melakukan ekspor beras. “Berdasarkan data dan neraca yang dipaparkan pada rapat internal dengan Bapak Presiden, stok per Desember 2021 adalah 7 juta ton dan stok Bulog lebih dari 1 juta ton, artinya kalau ekspor 200.000 ribu ton masih aman,” kata Menko Airlangga.

Namun, Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi meminta pemerintah tidak terkecoh dengan keamanan surplus stok beras. Pemerintah diharap tetap memperhatikan kebutuhan beras dalam negeri. Menurutnya, kondisi ekonomi global yang semakin membaik diprediksi akan meningkatkan permintaan pada komoditas pangan.

Kondisi tersebut dikhawatirkan akan mendorong pada kelangkaan pada jangka panjang. “Dari hasil simulasi kami, di kuartal ke-3 2023, itu sudah akan ada gejala kelangkaan,” ujar dia seperti dikutip Sabtu, 2 Juli 2022.

Ekonom dari Universitas Indonesia itu juga menyarankan pemerintah untuk memperhatikan kondisi global, tidak hanya melihat stok beras dalam negeri.

“Kemungkinan negara-negara besar di dunia kemungkinan akan memprioritaskan demand domestiknya. Dari sisi komoditas beras, Thailand, Vietnam kemungkinan akan menahan ekspornya dan menguatkan demand dalam negeri,” kata Fithra Faisal.

Baca Juga : Stok Beras Menumpuk di Bulog Bukan Karena Impor

Selain itu, kerja sama regional juga harus ditingkatkan untuk menjamin keamanan stok komoditas pangan. Untuk menjamin kemanan stok beras dalam negeri, peran Bulog juga ditingkatkan tidak hanya di level nasional, tetapi juga berperan di level regional.

“Kita dalam hal ini juga harus menguatkan Bulog, tidak hanya di level nasional tapi juga di level regional, bisa jadi semacam operator, sehingga stoknya aman,” jelasmya .

Pakar teknologi pangan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahrizal Yusuf Affandi pun mengungkapkan ketersediaan pangan dan wacana ekspor beras patutnya dikaji lebih mendalam.

“Bisa jadi kebutuhan atau suplai beras nasional itu mencukupi sehingga kemudian berencana untuk ekspor karena memang ada perubahan pola konsumsi. Jadi konsumen terutama di perkotaan sudah semakin meninggalkan beras,” ungkap Fahrizal.

Ia menjelaskan konsumsi beras memang ditargetkan turun. Dari 94 kg per kapita per tahun di 2019 diharapkan turun menjadi 85 kg per kapita per tahun di 2024. Menurutnya, diversifikasi pangan bisa dikatakan berhasil jika lihat dalam konteks tidak memakan nasi. Namun di sisi lain, ternyata masyarakat mengkonsumsi gandum.

“Dulu kan kita tergantung sama beras, kita ingin punya alternatif terhadap beras tapi malah larinya ke gandum,” tambahnya.

Menurut Fahrizal, Indonesia saat ini sudah tergantung pada pangan impor, misalnya gandum yang diimpor dari luar negeri. Hal itu dinilai akan mengancam kedaulatan pangan Indonesia. Di sisi lain, pemerintah terlihat belum serius dalam mendukung diversifikasi berbasis pangan lokal.

“Dukungan untuk sumber karbohidrat berbasis pangan lokal itu masih kurang. Kita masih bertumpu ke beras dan strategi diversifikasi pangan kita masih berbasis gandum,” pungkasnya. (*)

Related Posts

News Update

Top News