Ketergantungan Bank di Sektor Tambang

Ketergantungan Bank di Sektor Tambang

Jakarta – Geliat aktivitas usaha di berbagai sektor bisnis menunjukkan bahwa upaya pemulihan ekonomi nasional pasca dirundung pandemi COVID-19 mulai membuahkan hasil. Tren positif di industri pun merembet ke dunia perbankan, di mana geliat dunia usaha membuat kinerja pembiayaan bank terus mengalami pertumbuhan dalam beberapa waktu terakhir.

Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa disepanjang empat bulan pertama tahun, fungsi intermedia perbankan konsisten berada di jalur positif. Melonjak 5,79 persen secara tahunan (year on year/yoy) pada Januari 2022, porsi pertumbuhan kredit perbankan nasional terus bertambah jadi 6,33 persen (yoy) pada Februari, 6,55 persen pada Maret, dan April menjadi puncak tren pertumbuhan kredit dengan porsi hingga 9,1 persen.

Yang menarik, meski tren pertumbuhan terjadi di hampir seluruh segmen kredit, namun porsi lonjakan kinerja kredit perbankan terutama ditopang oleh penyaluran pembiayaan ke sektor manufaktur dan pertambangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kredit sektor pertambangan meningkat hingga Rp21,5 triliun secara bulanan (month to month/mtm), lebih tinggi dibanding sektor manufaktur yang berada di peringkat kedua, dengan pertumbuhan sebesar Rp20,8 triliun (mtm).

“Peningkatan kinerja intermediasi terjadi di tengah kondisi perekonomian global yang masih dalam tekanan inflasi, sehingga memicu agresivitas pengetatan kebijakan moneter oleh mayoritas bank sentral dunia,” ujar Deputi Komisioner Humas dan Logistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Anto Prabowo, akhir Mei 2022 lalu.

Per April 2022, kredit modal kerja pertambangan tercatat naik 67,2 persen (yoy) menjadi Rp83 triliun. Sedangkan kredit investasi ke sektor tambang pada saat yang sama melonjak 42,6 persen (yoy) menjadi Rp90,8 triliun.

Dominasi sektor tambang yang demikian besar dalam kinerja pembiayaan perbankan, tentu menjadi anomali di tengah upaya pemerintah dalam mengembangkan ekonomi yang berkelanjutan. Guna mendukung upaya tersebut, OJK juga telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 51/POJK.03/2017 tentang penerapan pembiayaan berkelanjutan oleh perbankan.

Tak hanya itu, OJK bahkan telah menjalin kerjasama dengan Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) terkait pengembangan pembiayaan berkelanjutan melalui sustainable finance, blended finance dan peningkatan inklusi keuangan di Indonesia. Selain tiga poin tersebut, pengaturan market conduct terkait kinerja pembiayaan berkelanjutan juga menjadi concern tersendiri.

“Sebagai bentuk komitmen dalam mendorong ekosistem keuangan berkelanjutan, OJK juga telah membentuk Satuan Tugas Keuangan Berkelanjutan di Sektor Jasa Keuangan (SJK). Ini juga sebagai dukungan OJK pada upaya mitigasi serta adaptasi perubahan iklim yang dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC),” ujar Anto, terkait kerjasama dengan OECD.

Sayang, jauh panggang dari api, fakta menunjukkan bahwa kinerja pembiayaan perbankan nasional hingga saat ini justru masih sangat bergantung pada sektor pertambangan sebagai sasaran utamanya. Padahal sebagai salah satu sumber energi tak terbarukan, keberadaan tambang, terutama batu bara, tentu saja sangat jauh dari semangat ekonomi berkelanjutan.

“Bank dalam hal ini seharusnya lebih selektif dalam menyalurkan kreditnya. Terlebih terhadap perusahaan tambang yang notabene rentan terhadap segala potensi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan,” ujar Pakar Hukum Bisnis dari Universitas Airlangga (Unair), Prof Budi Kagramanto, di kesempatan terpisah.

Langkah selektif tersebut, menurut Budi, termasuk dalam kewajiban bank dalam menerapkan prinsip kehati-hatian perbankan (prudential banking) sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Perbankan. Dalam UU tersebut telah termuat aspek 5C, yaitu meliputi character (watak), capacity (kapasitas), capital (modal), collateral (agunan) dan condition of economy (kondisi perekonomian).

“Meskipun prinsip kehati-hatiannya sudah terpenuhi, bank juga masih harus melihat lagi dampak jangka panjangnya bagaimana. Karena itu (bank) harus lebih selektif lagi, karena kita tahu kinerja tambang bila tidak hati-hati, ada risiko kerusakan lingkungan di situ. Jangan sampai (pembiayaan bank) justru bertabrakan dengan kebijakan pemerintah terkait lingkungan hidup,” tutur Budi.

Belum Ada Larangan

Namun demikian, sebagai sebuah lembaga komersial, kebijakan perbankan untuk terus mengucurkan pembiayaannya secara massif ke sektor tambang pada dasarnya tidak mengherankan. Pasalnya, permintaan kredit di sektor ini disebut sangat besar, yang tentunya menjanjikan cuan yang berlimpah bagi pelaku perbankan domestik.

Kondisi tak lepas dari harga komoditas tambang yang terus melambung dalam beberapa waktu terakhir. Lonjakan harga terjadi dengan berbagai sebab, seperti konflik Rusia-Ukraina yang membuat negara-negara Uni-Eropa melarang aktivitas impor batu bara dari Negeri Beruang Merah, hingga geliat perekonomian sejumlah negara yang membuat kebutuhan pasokan energi meningkat signifikan. Semua itu bermuara pada satu kondisi, yaitu semakin ketatnya pasokan batu bara dunia.

Dengan pemahaman di atas, maka pertumbuhan kredit sektor tambang diyakini bakal terjadi setidaknya hingga akhir tahun nanti. “Dengan besarnya potensi yang ada ke depan, kinerja tambang butuh asupan kredit, yaitu di rantai pasok dari hulu ke hilir. Artinya, potensi ekonomis di sana cukup besar. Sehingga, tren(pertumbuhan  kredit tambang)nya akan terus berlanjut,” ujar Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Amin Nurdin.

Dan lebih dari pada itu, menurut Amin, faktanya aktivitas pengucuran kredit ke sektor tambang hingga kini memang tidak dilarang oleh pemerintah. Karenanya, sangat wajar dan bisa dipahami ketika perbankan nasional saat ini tengah getol-getolnya menggarap menggenjot kredit di sektor tambang, karena memang menawarkan keuntungan yang besar dan terjaga hingga beberapa waktu ke depan.

“Karena memang mereka (bank) tidak salah. Tidak ada larangan dari pemerintah (untuk bank mengucurkan kredit ke sektor tambang). Tidak ada masalah,” ujar Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Bisman Bhaktiar.

Menurut Bisman, negara-negara Uni-Eropa saat ini memang tengah berupaya melakukan transisi energi lewat komitmen untuk mengurangi atau bahkan menghentikan sepenuhnya pembiayaan kinerja kredit atas proyek- proyek yang masih bersumber pada energi fosil. Atas hal tersebut, bank-bank multinasional pun mulai berkomitmen untuk mengikuti kebijakan Net Zero Emission (NZE) dengan tidak membiayai proyek yang masih bersumber pada energi fosil.

“Namun pada dicatat bahwa sejauh ini baru bank-bank multinasional saja yang sudah mulai mengacu ke sana. Dan (komitmen) itu juga lebih dalam bentuk kemauan, good will (niat baik) yang sifatnya partisipatif atau sukarela. Jadi bukan dasar hukum yang mengikat. Bahkan di Indonesia, regulasi terkait (pembiayaan ke sektor tambang) itu juga belum ada,” ungkap Bisman.

Karena belum ada regulasi khusus yang mengikat, maka Bisman menilai kinerja pembiayaan perbankan ke sektor tambang sama halnya dengan pembiayaan ke sektor-sektor lain yang sah-sah saja dilakukan atas dasar pertimbangan komersial seperti halnya bisnis-bisnis yang lain. Dalam hal ini, perbankan pemberi kredit ke sektor tambang tidak bisa dipersalahkan untuk sesuatu yang memang tidak melanggar ketentuan yang ada.

“Bahwa perbankan harus bijaksana dalam pemberian pembiayaan, harus selektif, harus prudent (hati-hati), itu sudah pasti. Hanya saja, jangan membuat persepsi keliru bahwa pembiayaan ke sektor tambang itu salah. No, it’s not true. (Pembiayaan ke sektor tambang) Itu boleh-boleh saja. Sah-sah saja,” tegas Bisman.

Namun demikian, meski menurut Bisman kinerja pembiayaan perbankan ke sektor tambang tidak menyalahi aturan, bukan berarti seluruh bank nyaman melakukan hal itu. Adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk alias BRI yang memilih ‘melawan arus’ dengan memutuskan untuk membatasi kinerja pembiayaannya ke sektor energi berbahan fosil, seperti batu bara dan minyak bumi.

Dalam kehadirannya pada konferensi World Economic Forum, di Davos, Swiss, Direktur Utama BRI, Sunarso memamerkan bahwa portofolio kreditnya ke sektor tambang, terutama batu bara, kini hanya kurang dari tiga persen dari keseluruhan portofolio kredit yang dimilikinya. “Dan Saya bisa pastikan (porsi tiga persen) itu tidak akan bertambah,” ujar Sunarso, saat itu.

Komitmen BRI ini dimulai sejak tahun 2020, di mana bank yang fokus pada segmen bisnis usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) itu mengklaim akan mengurangi porsi kredit pada jenis usaha yang merusak lingkungan. Saat itu, BRI juga menegaskan komitmennya untuk menerapkan praktik keuangan berkelanjutan yang diintegrasikan dalam aspek environment, social and governance (ESG).

Sebagai gantinya, BRI kini lebih banyak menggantungkan kesuksesan kinerja bisnisnya pada sektor pertanian. Praktis, pilihan berani ini membuat BRI banjir pujian dan dukungan untuk menjadi pioneer bagi perbankan nasional lainnya.

“Lewat pilihannya itu BRI telah secara nyata membantu menekan laju perubahan iklim dan meminimalisasi potensi gagal panen, sehingga juga membantu menyelamatkan petani dari risiko gagal bayar terhadap kredit usaha rakyat (KUR),” ujar Koordinator Asosiasi Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting.

Sementara, Manajer Kampanye Tambang dan Energi WALHI, Fanny Tri Jambore, menyebut bahwa pendanaan pada industri ekstraktif, termasuk batu bara dan minyak bumi, selama ini telah menyebabkan meluasnya kerusakan hingga merosotnya kualitas lingkungan. Tak hanya itu, kucuran pembiayaan pada sektor-sektor rentan tersebut juga diklaim turut berkontribusi terhadap hilangnya sumber penghidupan komunitas local dan memicu krisis iklim yang lebih luas.

“Lebih dari separuh luas daratan negara ini sudah diambil alih oleh sektor industri ekstraktif. Setidaknya izin sektor tambang terus merangsek, hingga menguasai sedikitnya 97,7 juta hektar luas kawasan di Indonesia,” ujar Fanny.

Dengan berkomitmen membatasi kucuran pembiayaan sektor tambang, Fanny menilai BRI telah ikut berperan dalam memutus mata rantai perusakan lingkungan yang demikian massif oleh industri ekstraktif tersebut. Tak hanya berkontribusi terhadap lingkungan, pilihan BRI untuk mengurangi jenis usaha yang merusak lingkungan juga diyakini bakal turut membuka peluang pengembangan pembiayaan ke sektor bisnis hijau.

“Karena itu bagi Saya pilihan BRI itu logis dan sudah seharusnya diambil, karena dampaknya tidak hanya ke lingkungan, tapi juga ke bisnis BRI sendiri. Peluang bisnis ke sektor bisnis hijau bakal semakin terbuka luas. Sebaliknya, bagi bank-bank yang tidak mau mengikuti (pilihan BRI) dan masih mendanai energi kotor, akan mendapat reputasi buruk di masyarakat karena dianggap tidak sensitif terhadap persoalan lingkungan,” tegas Peneliti dari Trend Asia, Andri Prasetiyo, dalam kesempatan terpisah.

Selain BRI, PT Bank Negara Indonesia, Tbk (BNI) pun demikian. BNI mengaku terus mendukung transisi energi fosil ke energi hijau. Proyek hijau yang semakin banyak justru diprediksi akan mampu meningkatkan kinerja pelaku industri perbankan termasuk BNI dalam menjalankan fungsi intermediasinya.

Terlebih, hingga Maret 2022 salah satu pioneer green banking ini telah mengucurkan pembiayaan hijau ke berbagai segmen yang mencapai Rp170,5 triliun. Hal ini sebagai bagian dalam upaya perusahaan mendorong perlindungan lingkungan hidup. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana pun mengapresiasi pihak BNI yang telah agresif melakukan pembiayaan hijau.

“Lembaga keuangan termasuk perbankan sudah mulai merespon terkait perubahan paradigma dari fosil ke energi hijau. Itu sangat baik, sejalan dengan proses transisi energi,” sebut Dadan.

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan, gencarnya pembiayaan hijau oleh perbankan tentu saja harus diapresiasi. Menurutnya, peningkatan ini tidak semata dikarenakan kemauan dari perbankan, dalam hal ini BNI, tetapi juga dikarenakan semakin banyak dan besarnya proyek-proyek hijau yang dikembangkan di Indonesia.

“Bisa diartikan promosi dan insentif yang dilakukan oleh pemerintah dan juga otoritas keuangan yaitu OJK untuk meningkatkan proyek-proyek hijau cukup berhasil,” ujarnya.

Ia pun menuturkan, apa yang telah dilakukan BNI sudah tepat. Semua bank ujarnya diharapkan bisa menyalurkan pembiayaan hijau. “Karena selama ini hambatanya memang bukan di bank, tetapi lebih karena permintaan pembiayaannya rendah karena proyek-proyek hijau memang masih terbatas,” jelas Piter.

Seperti diketahui, BNI sangat serius memperkuat bisnisnya ke arah compliance terhadap upaya-upaya bersama serta mengglobal dalam melindungi lingkungan hidup. Pertimbangan compliance terhadap ketentuan regulator, juga pada upaya perlindungan lingkungan hidup, hingga pada ketentuan internal tanpa melupakan pertimbangan bisnis itu membuat BNI bertahan sekaligus terus melakukan ekspansi berkualitas hingga saat ini.

“Sebagai pelopor dari green banking, kami terus mencari peluang ekspansi segmen hijau sambil proaktif mengajak nasabah dan investor untuk lebih tertarik pada pengembangan segmen ekonomi berkelanjutan ini,” ujar Corporate Secretary BNI Mucharom.

Sejak Januari hingga Maret 2022 cukup agresif mengucurkan pembiayaan hijau ke berbagai segmen. Hal tersebut terlihat dari portofolio hijau BNI (bank only) per Maret 2022 yang mencapai Rp170,5 triliun, tumbuh 21,8% secara tahunan (year on year/yoy). Mucharom memaparkan nilai portofolio hijau tersebut setara dengan 28,9% dari total portofolio kredit perseroan. Dari jumlah tersebut mayoritas adalah kredit UMKM.

“Portofolio hijau kami cukup ekspansif, awal tahun ini pertumbuhannya 21,8%. Penopangnya yaitu terbanyak dari kredit di UMKM dan ini dikarenakan program pendampingan yang dilakukan BNI memberikan dampak positif ke ekosistem masyarakat,” katanya. (*) TSA

Related Posts

News Update

Top News