Jakarta – Pandemi Covid-19 dan transformasi ekosistem semakin mengungkap kelemahan fundamental industri asuransi dan dana pensiun. Untuk memitigasi risiko tersebut, pemerintah perlu memahami kondisi ekonomi makro dan ekonomi global yang terus berubah.
“Kondisi makronya kalau asuransi, kita harus mengerti kondisi investasi di luar negeri, bagaimana kondisi ekonomi Indonesia dan China, karena kalau investasi industri asuransi maupun dana pensiun masuk ke saham dan BON, ini akan selalu terdampak oleh kondisi global. Dari masing-masing industri harus mengerti ekosistem bergeraknya seperti apa, serta bagaimana isu Rusia dan Ukraina akan berdampak terhadap ruang investasi kita,” ucap Reza Y. Siregar, Head of IFG Progress, Senin, 30 Mei 2022.
Kemudian, Reza mengatakan dengan hadirnya digitalisasi, transisi green economy, carbon emission di 2030, dan net zero emission 2060, hal ini akan berdampak terhadap investasi asuransi ke depannya.
“Ini semua berdampak bagaimana kita investasi, investasi nya dimana, apa yang dianggap BON Hijau dan banking hijau ini ekosistemnya. Setelah melihat ekosistem nya dimana kita bergerak, lalu kita bisa masuk ke industri nya dan melihat spesifik challenge nya, baru masuk ke mikronya yaitu ke perusahaannya,” jelas Reza.
Reza juga menjelaskan, bahwa di Indonesia saat ini bisnis penjaminan kredit pun sudah mulai berkembang. Menyikapi hal ini, IFG pun ingin memitigasi risiko agar tidak terjadi non-performing loans (NPL) di kredit perbankan.
“Di indonesia 16% dari total asuransi umum kita lini bisnisnya itu mengasuransikan kredit perbankan. Kita menerima dan men-take risk, risiko dari kredit perbankan, jadi kalau ada apa-apa dengan kredit perbankan itu kita masuk dan kita memitigasi supaya tidak terjadi misalnya non performing loans di kredit perbankan tersebut. Jadi itu satu risiko, rule-nya asuransi kenapa penting,” ujarnya
Dari sisi dana pensiun, Reza mengungkapkan hanya sebesar 15% sampai 16% pekerja formal yang memiliki akses ke dana pensiun. Sedangkan, porsi pekerja sektor informal yang memiliki dana pensiun jauh lebih kecil.
“Labor force sebanyak 130 juta, yang terdaftar di sektor formal hanya 60 juta atau sekitar 15% – 16%. Sekarang kalau BPJS, Taspen dan ASABRI itu cuma sekitar 4% – 5 % dari PDB, dengan jumlah coverage terbatas dan kontribusinya,” tambah Reza.
Apabila dana pensiun tersebut dikontribusikan untuk investasi jangka panjang, hal ini akan meminimalisir ketergantungan Indonesia terhadap dana asing. Dengan begitu, iklim investasi Indonesia akan semakin mandiri.
“Kalau kita pakai standar asia berapa persen kontribusinya, rata-rata dana pensiun kita bisa 11% dari PDB, kalau kita masukan standar OECD itu bisa hampir sekitar 30%. Bayangkan 30% dana pensiun kita dari PDB, PDB kita itu sebesar US$1,1 triliun, itu bisa kita gunakan untuk banyak proyek investasi apapun juga seperti infrastuktur, jadi ketergantungan terhadap dana asing berkurang,” ungkap Reza. (*) Irawati