Jakarta – Tren inflasi global yang semakin meninggi mendorong bank sentral di beberapa negara untuk menaikkan suku bunga acuan. Namun demikian, Bank Indonesia (BI) masih mempertahankan suku bunganya di level 3,50% hingga April 2022. Kenaikan suku bunga BI saat ini dinilai wajar sebagai antisipasi Bank Sentral dalam menjaga laju inflasi yang terus melonjak, dampak dari kenaikan harga kebutuhan pokok.
Mau tidak mau, Bank Indonesia harus memberi “jamu pahit” dengan menaikkan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) jika inflasi terus menerus meningkat. Hal ini dilakukan dalam menjaga inflasi dan stabilitas perekonomian. Bank Indonesia sebagai bank sentral juga memastikan akan terus memonitor laju inflasi untuk memastikan bahwa BI akan memberikan respon kebijakan yang tepat.
Ekonom Verdhana Sekuritas, Heriyanto Irawan pun menilai potensi Bank Indonesia untuk menaikan suku bunga acuan untuk mengendalikan inflasi sangatlah wajar. “Andai kata, ada kenaikan suku bunga, menurut kami wajar saja kalau terjadi. Inflasi Indonesia masih relatif di bawah. Lalu apabila diperlukan kenaikan suku bunga dan menurut saya itu wajar,” ujar Heryanto pada paparan virtualnya, Jumat, 13 Mei 2022.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Harga Konsumen (IHK) pada April 2022 mengalami inflasi sebesar 0,95% (mtm), setelah pada bulan sebelumnya tercatat inflasi sebesar 0,66% (mtm). semakin tingginya inflasi ini dipengaruhi oleh peningkatan inflasi di semua kelompok, yaitu volatile food, administered prices, dan inti. Secara tahunan, inflasi IHK April 2022 tercatat 3,47% (yoy), lebih tinggi dibandingkan inflasi pada bulan sebelumnya yang sebesar 2,64% (yoy).
Bank Indonesia yang tetap konsisten menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi dengan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah guna menjaga inflasi berada dikisaran 3,0±1% pada 2022, tentu memiliki peran penting dalam mengambil kebijakan, terutama dari sisi suku bunga. Sebelumnya Gubernur BI Perry Warjiyo April lalu juga menegaskan bahwa kenaikan suku bunga salah satunya akan ditentukan oleh perkembangan inflasi yang ada.
Namun, kebijakan moneter tidak langsung merespons dampak langsung dari administered prices atau harga-harga yang diatur pemerintah. “Kami akan kalibrasi likuiditas dan suku bunga. Kami akan pertimbangkan dampak dari kebijakan pemerintah dari fiskal dan implikasinya ke harga-harga yang diatur pemerintah,” kata Perry saat press conference Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode April 2022.
Pada April lalu, Pemerintah sudah menaikkan harga BBM jenis Pertamax. Pemerintah juga membuka peluang untuk menaikkan harga BBM Pertalite, minyak diesel (Solar), sampai Elpiji 3 kg, imbas dari melonjaknya harga minyak mentah di kancah internasional. Selain itu, pemerintah telah mengurangi subsidi listrik dari Rp61,5 triliun berdasarkan outlook 2021 menjadi Rp56,5 triliun di RAPBN 2022. Dengan kondisi ini, dikhawatirkan akan terjadi peningkatan inflasi dan menurunkan konsumsi rumah tangga.
“Kami akan respon second round yang akan terefleksi ke kenaikan harga yang masuk ke inflasi inti. Itu yang akan kami respons. Respons kebijakan moneter akan dikalibrasi, direncanakan, dan dikomunikasikan baik. Respons dapat berupa kenaikan GWM (Giro Wajib Minimum) atau kenaikan suku bunga,” tegas Perry kala itu.
Dampak kenaikan suku bunga acuan BI terhadap perekonomian, kata Heryanto, diperkirakan sangatlah kecil bila dibandingkan negara lain. Ia menilai, meskipun ada kenaikan suku bunga, tingkat Household Debt to GDP Indonesia jika dibandingkan negara-negara berkembang lainnya masih cukup rendah di kisaran 20%. Selain itu, utang luar negeri (ULN) Indonesia saat ini juga masih cukup terkendali sehingga dampak inflasi ke perekonomian masih relatif kecil.
Heriyanto juga menambahkan terdapat tiga faktor penyebab inflasi terbesar, yaitu stabilitas Rupiah, harga energi, dan harga pangan. Heriyanto menilai, saat ini ketiganya masih dalam kondisi yang stabil dan masih kuat untuk menahan inflasi 0,95% di April 2022.
Secara garis besar, transmisi kenaikan suku bunga acuan BI7DRR ke bunga deposito perbankan memakan waktu tiga hingga enam bulan sementara untuk bunga kredit bisa enam hingga sembilan bulan. kenaikan bunga acuan memang tak lain untuk mengantisipasi kondisi gejolak eksternal yang belum menentu. Namun memang tak hanya untuk stabilitas, BI juga harus memikirkan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri.
Lalu, apakah BI akan menaikkan suku bunganya sebagai “jamu pahit”? Bank Indonesia sendiri akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode Mei 2022 pada tanggal 23-24 mendatang. Dalam RDG tersebut, Bank Indonesia akan menentukan arah kebijakan moneternya sebagai langkah dalam menjaga perekonomian dan laju inflasi hingga akhir tahun. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra