Jakarta – Capaian Ekonomi Indonesia pada triwulan I-2022 menunjukan angka pertumbuhan yang positif yaitu sebesar 5,01% dan hampir mendekati target yang telah ditentukan pemerintah sekitar 5,2%. Dalam momentum yang cukup baik ini, pemerintah diharap dapat menjaga kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia secara konsisten.
Di samping itu angka inflasi per April 2022 menunjukan angka sebesar 3,47% secara yoy yang artinya lebih besar dari angka asumsi dasar ekonomi makro 2022 sebesar 3,0%. Kenaikan inflasi yang terjadi didukung oleh adanya geopolitik rusia dan ukraina yang memengaruhi harga komoditas internal domestik.
Pada April lalu, pemerintah mengisyaratkan akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), listrik, serta LPG 3kg yang bertujuan untuk menjaga keuangan negara imbas dari melonjaknya harga minyak mentah di kancah internasional.
Kepala Center of Macroeconomics and Finance INDEF, M. Rizal Taufikurahman memaparkan, bahwa pemerintah telah mengurangi subsidi listrik dari Rp61,5 triliun berdasarkan outlook 2021 menjadi Rp56,5 triliun di RAPBN 2022. Dengan kondisi seperti ini, ia memperkirakan akan terjadi fluktuasi dan menurunkan konsumsi rumah tangga.
“Kemudian dampak perubahan tarif tenaga listrik terhadap konsumsi rumah tangga memang terjadi fluktuasi dan tentu perubahan tarif dari 2013 dapat menurunkan konsumsi rumah tangga, dan ini sangat khawatir terhadap capaian ekonomi di tahun 2022,” jelas Rizal di Jakarta, 11 Mei 2022.
Di sisi lain, kenaikan TDL juga akan mempengaruhi pada kenaikan harga pokok produksi (HPP) yang imbasnya dapat menyebabkan cost plus inflation dan stagnasi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah diharapkan dapat mencegah keadaan tersebut untuk menjaga momentum capaian ekonomi triwulan I/2022.
Tidak hanya itu, lanjut dia, dampak dari pencabutan subsidi listrik juga dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi, simulasi perhitungan TDL jika dinaikan 16% dapat menyebabkan upah riil dan upah nominal akan turun.
“Kalau cost plus inflation, kemudian kontribusi terhadap inflasi umum dibandingkan dengan demand full inflation maka itu justru akan menjadi beban terhadap biaya produksi dari komoditi yang dihasilkan oleh karena itu pemerintah harus menjgaa itu jangan sampai cost plus inflation terjadi sisi lain demand fullnya juga tidak sekencang cost plus maka ini justru menunjukan stagnansi pertumbuhan ekonomi kita,” tambah Rizal.
Usulan perubahan kuota dari sisi BBM dan LPG juga direncanakan akan mengalami kenaikan kuota, beberapa diantaranya adalah kenaikan pertalite dan solar. Dengan naiknya kuota pertalite juga solar nantinya akan mempengaruhi harga dari BBM itu sendiri. Hal ini ditunjukan oleh perhitungan INDEF jika harga TDL, BBM, dan Gas 3kg mengalami kenaikan harga dan pencabutan subsidi yang diberikan akan berujung pada kenaikan harga di seluruh komoditi.
“Overall yang langsung memiliki link catch secara langsung terhadap listrik, bbm, dan gas ini merupakan energy dari kegiatan ekonomi justru ini sangat mendorong atau juga akan menstimulus terhadap harga harga komoditas, artinya harga komoditas ini yang mendorong inflasi,” lanjut Rizal.
Ia menegaskan, jika kenaikan tarif TDL, BBM, dan Gas direalisasikan akan berdampak pada kenaikan harga komoditas lainnya dan dapat mempengaruhi capaian pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat berpikir ulang terhadap kebijakan-kebijakan yang akan direalisasikan agar capaian pertumbuhan ekonomi di triwulan II-IV dapat terjaga konsistensinya. (*) Khoirifa