Oleh Rasmuni Djoyonegoro, Direktur The Asian Institute for Digital Banking and Payment System
DI balik elektronifikasi jalan tol, ternyata ada kisah yang cukup mengenaskan bagi pelaku industri sistem pembayaran. Kisah ini juga merupakan ujian apakah Bank Indonesia (BI) benar-benar memperhatikan nasib para pelaku industri sistem pembayaran atau hanya fokus pada pencapaian internal dan seremonial, tanpa memedulikan nasib mereka.
Ceritanya dimulai di awal 2017. Saat itu, Gubernur BI bersama Menteri PUPR mencanangkan inisatif elektronifikasi jalan tol. Transaksi nontunai di jalan tol menggunakan uang elektronik chip-based yang pada waktu itu masih di kisaran 25% akan diwajibkan menjadi 100% nontunai.
Bank-bank penerbit kartu uang elektronik, seperti Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BCA, diundang untuk berpartisipasi menyukseskan inisiatif tersebut. Rapat-rapat pun diadakan oleh BI bersama dengan operator tol, seperti Jasa Marga, CMNP, dan yang lainnya. Dari rapat-rapat tersebut, akhirnya disepakati implementasi kebijakan elektronifikasi jalan tol 100% nontunai tersebut ditargetkan di Oktober 2017.
Saat itu, Bank Mandiri merupakan penyedia layanan utama dari sistem pembayaran nontunai di tol dengan e-money-nya. Hampir semua peralatan pembayaran nontunai yang dipasang di jalan tol adalah investasi dari Bank Mandiri. Maklum, Bank Mandiri merupakan pemenang tender sebagai penyedia eksklusif pembayaran nontunai jalan tol di Jasa Marga.
Nilai investasinya mencapai lebih dari Rp100 miliar mengingat implementasi elektronifikasi jalan tol sudah dimulai sejak 2009. Namun, saat itu, bukannya mendapatkan pendapatan dari operator jalan tol, Bank Mandiri secara kontrak justru diharuskan membayar 0,3% dari nilai pembayaran nontunai yang masuk kepada operator tol. Jumlah yang cukup fantastis, tapi masih bisa dimengerti karena Bank Mandiri mendapatkan branding dari eksklusivitas tersebut.
Dengan adanya arahan dari BI agar eksklusivitas pembayaran nontunai di jalan tol tersebut dibuka untuk bank-bank lain, akhirnya dicapai kesepakatan bahwa bank-bank yang akan masuk ke elektronifikasi tol ini melakukan sharing biaya infrastruktur. Akhirnya, BNI, BRI, dan BCA bersedia untuk menanggung bersama biaya investasi yang nilainya mencapai puluhan miliar rupiah.
Selain itu, karena kontrak dengan operator tol baru akan jatuh tempo di 2019, maka kewajiban membayar 0,3% pun masih berlaku. Dari hasil rapat, disepakati bahwa biaya 0,3% tersebut harus dijadikan biaya edukasi dan promosi untuk proyek elektronifikasi tersebut. Kendati demikian, kenyataannya uang tersebut langsung masuk ke kantong BUJT dan edukasi serta promosi tidak berjalan dengan efektif dan akuntabel.
Di luar itu, bank-bank pendukung elektronifikasi jalan tol juga meminta BI mengeluarkan aturan MDR (merchant discount rate) untuk jalan tol. Hal ini wajar, karena bank-bank tersebut selama ini tidak menikmati pendapatan dan justru menanggung biaya investasi dan perawatan reader-reader yang dipasang di gardu tol. Tidak mungkin bisnis bisa bertahan jika tidak ada pemasukan. BI pun berjanji akan mengeluarkan aturan tersebut setelah kontrak berakhir di 2019. Namun, di 2019, BI belum juga memenuhi janjinya. Peraturan mengenai MDR jalan tol yang diharapkan pelaku industri, tidak kunjung keluar.
Setelah rapat berjilid-jilid dan didorong oleh Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), akhirnya peraturan tentang MDR jalan tol pun dikeluarkan di 2021 oleh BI melalui Keputusan Deputi Gubernur BI Nomor 23/1/KEP.DpG/2021 tentang Penetapan Skema Harga MDR dalam Pemrosesan Transaksi Uang Elektronik Chip-Based. Kebijakan tersebut berlaku 1 April 2021. Dalam keputusan itu, BI menentukan besaran MDR untuk reguler sebesar 0,5%. Sementara, untuk transaksi government to people (G2P) seperti bantuan sosial (bansos), people to government (P2G) antara lain pajak, paspor dan donasi sosial sebesar 0%.
Peraturan yang dikeluarkan BI tersebut tidaklah tegas karena besaran MDR tersebut merupakan opsi saja. Akhirnya, operator jalan tol pun memanfaatkan celah tersebut. Di dalam rapat-rapat yang dihadiri BI, para operator yang didukung oleh Badan Pengawas Jalan Tol (BPJT) mengulur waktu dan ujung-ujungnya menolak membayar. Dalam hal ini BPJT sangat mendukung para operator jalan tol, sementara BI terkesan tidak berani mengambil posisi yang tegas untuk mendukung bank-bank penerbit uang elektronik.
Situasi terakhir, para operator tol belum juga mau membayar MDR dan mengusulkan solusi agar biaya perawatan alat-alat reader uang elektronik di jalan tol didiskon 75%, 90%, dan 100% untuk tiga tahun ke depan. Para bank penerbit uang elektronik yang sudah patah arang dan tidak bisa mengharapkan dukungan dari BI akhirnya menyerah dan menerima usulan dari operator tol tersebut.
Padahal, sangatlah penting bagi para pelaku sistem pembayaran untuk memiliki bisnis model yang sehat agar bisa berkesinambungan dalam membangun sistem pembayaran nasional. Sementara, para pelaku sistem pembayaran diminta untuk mendukung Blue Print Sistem Pembayaran (BSPI) BI 2025. Dalam kasus uang elektronik di jalan tol ini, tampaknya keberpihakan BI kepada para pelaku sistem pembayaran masih perlu diuji.