Butuh Rp3.461 T untuk Kurangi Emisi Karbon, Ini Peran APBN Dukung Ekonomi Hijau

Butuh Rp3.461 T untuk Kurangi Emisi Karbon, Ini Peran APBN Dukung Ekonomi Hijau

 

Jakarta – Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk menurunkan emisi karbon (CO2). Asal tahu saja, Indonesia memiliki target untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, untuk mencapai target tersebut dibutuhkan dukungan yang tidak sedikit, termasuk melalui APBN.

Berdasarkan laporan pada tahun 2018, Indonesia membutuhkan anggaran Rp3.461 triliun untuk mencapai target penurunan emisi seperti yang disampaikan. Terlebih Indonesia juga telah menyampaikan komitmennya untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 sebagai upaya berkontribusi pada penurunan emisi karbon secara global.

“Ini (Rp3.461 triliun) merupakan sebuah angka yang sangat signifikan. APBN tadi didalam fiscal framework mencoba untuk memerankan didalam mendukung langkah-langkah untuk penurunan karbon tersebut,” ujar Menkeu dalam sebuah webinar di Jakarta, Selasa, 22 Februari 2022.

Menkeu mengungkapkan, APBN merupakan instrumen kebijakan yang sangat penting dalam menentukan kegiatan ekonomi pada masyarakat. Namun disatu sisi, APBN juga menjadi salah satu instrumen yang penting untuk mendukung upaya mencapai ekonomi hijau (green economy). Apalagi kebutuhan anggaran untuk mengurangi emisi karbon (CO2) mencapai Rp3.461 triliun hingga 2030.

“APBN ini tentunya selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Pemerintah tahun 2024 dimana pemerintah berupaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan, meningkatkan ketahanan bencana, dan perubahan iklim serta bagaimana mendesain pembangunan yang rendah karbon,” ucapnya.

Dalam APBN, tambah Menkeu, pemerintah menggunakan seluruh sumber mulai dari penerimaan negara, belanja negara, hingga pembiayaan yang diarahkan untuk mendukung pencapaian emisi rendah karbon. Berbagai upaya ini diharapkan dapat membantu menghadapi tantangan perubahan iklim yang saat ini menjadi ancaman global.

“Kementerian Keuangan sebagai pengelola APBN, telah menyusun kebijakan yang kita sebut climate change fiscal framework suatu kerangka kebijakan fiskal yang sesuai atau dalam hal ini mendukung tantangan climate change ini. Ini juga sesuai atau konsisten dangan tekad untuk menurunkan CO2 bahkan NZE pada 2060,” papar Menkeu.

Menurutnya, APBN merupakan instrumen penting dalam keuangan negara. Pemerintah menggunakan penerimaan negara atau perpajakan untuk mendukung ekonomi hijau. Sri Mulyani mengatakan, kebijakan perpajakan digunakan untuk bisa memberikan insentif bagi dunia usaha agar melihat kesempatan dalam investasi di perekonomian hijau.

“Pertama, menggunakan tax holiday, tax allowance, bahkan kita memberikan pembebasan bea masuk impor, pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan bahkan pajak penghasilan yang ditanggung pemerintah,” ujar Menkeu.

Khusus untuk kegiatan geothermal, ia menambahkan pemerintah juga memberikan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sementara dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), saat ini mulai dikenakan mekanisme pajak karbon untuk mendorong investasi di sektor ramah lingkungan dan mengurangi krisis perubahan iklim.

“Pajak karbon ini sinyal yang kuat karena akan menjadi sebuah compliment dari mekanisme pasar karbon. Tentu dengan adanya carbon tax dan mekanisme carbon market kita juga akan mendorong inovasi teknologi dan investasi yang lebih efisien dan konsisten,” ungkapnya.

Dari sisi belanja, pemerintah juga memiliki skema climate budget tagging atau penandaan belanja pemerintah yang diarahkan untuk penanganan perubahan iklim. Kebijakan yang dijalankan pemerintah pusat sejak 2016 ini, sekarang mulai diperkenalkan kepada pemerintah daerah (pemda) yang dimulai di 11 pemda sejak 2020 lalu.

Selain itu, pemerintah menerbitkan pembiayaan khusus, seperti Green Bond baik dalam bentuk konvensional maupun syariah serta dalam mata uang rupiah dan dolar Amerika Serikat (AS). Penerbitan green bond oleh pemerintah telah mencapai USD3,5 miliar sejak 2018 sampai 2021 dan green sukuk ritel mencapai Rp11,8 triliun sejak 2019 sampai 2021.

“Pemerintah menerbitkan SDG bond dalam denominasi Euro 500 juta untuk membiayai pembangunan berkelanjutan dengan majority sampai 50 tahun dan dengan yield atau suku bunga rendah. Ini untuk mendiversifikasikan pembiayaan di satu sisi dari APBN, namun juga meningkatkan komitmen yang nyata mengenai kegiatan yang bersifat green dan mencapai Sustainable Development Goals,” tutupnya. (*)

Related Posts

News Update

Top News