Oleh: Serian Wijatno
AMERIKA SERIKAT sudah memasuki zona inflasi tinggi, pekan lalu hasil survei Wall Street memprediksi inflasi akan melesat 6,7% year-on-year yang merupakan level tertinggi dalam 40 tahun terkahir. Dan, di akhir pekan lalu, diumumkan, sesuai ekpektasi inflasi tahunan mencapai angka 6,8%.
Sejauh ini, banyak spekulasi bahwa The Fed akan segera mempercepet kebijakan pengetatan likuiditas (tappering). Alasan penghentian kebijakan quantitative easing (QE) karena ekonomi AS yang makin kuat dan inflasi yang terus menyala. Selama ini The Fed masih mengguyur likuiditas sebesar US$15 miliar tiap bulan.
Kebijakan penghentian menggelontorkan likuiditas sudah dimulai sejak November 2021. Dan, banyak yang memperkirakan The Fed akan mempercepat dengan mengurangi dari US$15 miliar menjadi dua kali lipatnya, sehingga tidak lagi 8 bulan tapi 4-5 bulan. Nilai QE dari The Fed sebesar US$120 akan benar-benar habis dalam kisaran 4-8 bulan ke depan. Lebih cepat dan akan berdampak pada ekonomi global.
Selain itu, The Fed juga diprediksi akan memberikan indikasi agresif menaikkan suku bunga di awal tahun depan yang bisa memberikan tekanan bagi rupiah. Apakah rupiah akan tetap “kokoh” dan suku bunga tetap rendah di Indonesia?
Ketika prediksi tentang inflasi tertinggi selama 40 tahun terakhir, nilai tukar dolar terhadap sekeranjang mata uang dunia mengalami tekanan. Sementara rupiah tampak “anteng-anteng” saja tidak banyak bergerak. Jika terjadi pergerakan tidaklah tajam.
Bisa jadi kondisi perekonomian Indonesia dalam trend yang terus membaik. Pertumbuhan ekonomi Q3 tahun 2021 mencapai 3,51%. Optimisme pertumbuhan ekonomi Indonesia terus terjaga karena kebijakan PPKM makin lunak sehingga mobilitas manusia terus bergerak dan ekonomi makin baik. Seiring dengan membaiknya ekonomi, maka ada sedikit kenaikan inflasi juga di dalam negeri merski dalam kisaran yang diperkirakan (1,75% inflasi November 2021).
Apalagi sektor eksternal, seperti cadangan devisa mencapai US$145,5 miliar, atau cukup 8,3 bulan impor dan untuk pembayaran utang luar negeri. Bank Indonesia juga melakukan tiga langkah intervensi sekaligus untuk menjaga kuda-kuda rupiah, yaitu spot, pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder dan transaksi lindung nilai (DNDF).
Sejauh ini tantangan ekonomi Indonesia ke depan selain adanya tapering off dari pemerintah AS, masih beberapa lagi tantangan yang harus dihadapi. Dalam kurun waktu 2022-2023 setidaknya ada lima tantangan global yang dampaknya terhadap ekonomi dalam negeri. Satu, scarring effect pandemic terhadap korporasi dan stabilitas sistem keuangan. Dua, normalisasi kebijakan moneter dan fiskal Negara maju. Tiga, meluasnya sistem pembayaran digital antar Negara dan risiko aset crypto. Empat, melebarnya kesenjangan dan perlunya inklusi keuangan. Lima, semakin kuatnya tuntutan ekonomi keuangan hijau dari Negara maju.
Kelima tantangan itu secara bersama-sama datang. Terkait dengan tapering off pemerintah AS, Bank Indonesia sejauh ini sudah menyadari sepenuhnya. Adanya pengentikan likuiditas akan berdampak pada suku bunga, yield obligasi surat utang Negara dan tentu rupiah. Apalagi, saat ini telah terjadi tidak meratanya pertumbuhan global akibat Pandemi COVID-19 yang melanda dunia, tentu berakibat buruk bagi ekonomi Negara-negara di dunia.
Tekanan terhadap inflasi di dalam negeri juga akan terus ada, terutama dengan adanya kenaikan minyak dan tentu kenaikan listrik di dalam negeri. Namun melihat data sejauh ini inflasi masih dalam rentang 3 persen plus minus 1. Jadi, masih dalam kendali yang diperhitungkan.
Pengaruh inflasi di AS yang sudah berada pada level 6,8% akibat tekanan pertumbuhan ekonomi AS yang membaik, maka tidaklah perlu kawatir dalam jangka pendek. Fundamental ekonomi Indonesia dengan pertumbuhan yang diperkirakan akan seperti sebelum Pandemi COVID-19 merupakan modal penting.
Sikap antsipatif diperlukan, minimal suku bunga akan sedikit naik, yield SBN juga akan dipertahankan lebar dan tentu nilai tukar rupiah juga akan sedikit “goyah”. Pelemahan nilai tukar rupiah akan terjadi setelah AS benar-benar menyatakan selesai. Kisaran waktu pada Triwulan I dan paling akhir pada Semester I tahun 2022 mendatang.
Namun dengan modal perbaikan ekonomi, bank-bank yang juga lebih siap karena program restrukturisasi, jika terjadi pelarian modal dan berakibat pada pergerakan harga saham dan rupiah, tidaklah benar-benar membakar rupiah. Inflasi di AS yang sudah mulai “menyala” “membakar” ekonomi, sudah tentu akan diantisipasi dengan kenaikan suku bunga The Fed. Pengaruhnya terhadap Indonesia dalam jangka pendek, inflasi AS yang “menyala” tinggi sejak 40 tahun terkahir ini belum berdampak serius terhadap rupiah dan saham di pasar modal. Nilai tukar rupiah masih anteng dan investor asing di pasar modal belum “lari”
Kecemasan dan tekanan memang ada, namun keyakinan akan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat, maka pengaruh efek panas inflasi di AS benar-benar akan dirasakan ketiga Pemerintah AS benar-benar mencabut QE dan suku bunga The Fed “dikerek”. Akan tetapi, ekonomi Indonesia yang terus membaik sehingga investor yang lari hanya dalam waktu sesaat, dan bahkan “efek panas” terhadap rupiah tidak terlalu panas.
Kendati efek panasnya tidak begitu “panas”, tentu tidak perlu over convidence – terlalu percaya diri – sehinga melukapan sikap prudent. Semua tahu ekonomi AS masih merupakan episentrum dunia, maka sedikit banyak akan “menggetarkan” ekonomi keseluruh dunia termasuk Indonesia.
*) Penulis adalah pemerhati bidang ekonomi dan perbankan