Oleh: Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute
TIDAK sedikit jalan menuju Roma. Banyak jalan yang dapat ditempuh agar bank-bank tetap kuat. Salah satunya perlu memperhatikan empat hal, yaitu cadangan, modal, dividen dan potensi loan at risk (LAR) yang turun jadi non performing loan (NPL). Saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lebih memperhatikan kecukupan cadangan untuk mengcover risiko kredit. Tidak salah, dan memang demikian.
Namun untuk lebih bersiap-siap datangnya hujan NPL, setidaknya perlu jalan baru. Jalan alternative setelah membentuk cadangan. Misalnya, perlu membuat kebijakan tidak semua laba yang diraih dibagi. Dan, kalau toh dibagi perlu rambu-rambu yang diatur oleh OJK. Gagasan ini tidak menarik bagi pemilik bank.
Namun gagasan ini bisa menjadi cara agar bank-bank tidak runtuh. Sebab, jika bank runtuh bukan hanya pemilik yang harus tambah modal, tapi Negara pasti repot. Gimana tidak repot jika ada bank yang masuk sistemik bank tiba-tiba capital adequacy ratio (CAR) nya tergerus habis manakala LAR secara mendadak berubah jadi NPL.
Krisis ekonomi sekarang ini disebabkan oleh krisis kesehatan akibat Pandemi COVID-19. Kebijakan PPKM Darurat dan dilanjukan PPKM Level – telah membatasi mobilitas manusia. Kegiatan ekonomi terganggu dan ekonomi makin “letoy”. Meski awal September 2021 ini efek Covid sudah mulai sedikit reda, tapi tidak ada yang bisa memastikan kapan badai akibat Pendemi COVID-19 ini selesai. Jauh-jauh hari pemerintah pun sudah mengingatkan Pandemi akan berubah menjadi endemi. Ketidak pastian masih tetap aka nada, paling tidak sampai 2023 – akhir dari relaksasi kredit OJK.
Kecil kemungkinan LAR seratus persen jadi NPL. Namun jika memperhatikan cadangan yang dibentuk bank-bank, semisal paling tinggi 250% dari total NPL. Dan, jika 25% LAR jadi NPL pun akan makan modal. Simulasinya begini. Jika ada Bank A, saat ini mampu membentuk cadangan 250% dari NPL. Jumlah NPL semisal Rp10 triliun, berarti jumkah cadangannya Rp25 triliun.
Masih memakai simulasi Bank A, jika LAR 20% (rata-rata) dari total kredit yang Rp250 triliun menjadi NPL misalnya. Simulasi itu akan menghasilkan NPL baru Rp50 triliun. Nah, jika memakai cadangan atau “Celengan Semar” yang 250% tadi (Rp25 triliun), tentu akan jebol. Tidak cukup. Itu artinya akan makan modal. Posisi CAR akan melorot, dan pemilik wajib tambah modal jika ingin banknya masih hidup. Atau, dijual ke investor baru yang sekarang haus akan bank.
Perlu Kebijakan Dividen yang Lebih Ketat
Menurut data Infobank Institute jumlah modal inti dari seluruh perbankan Rp1.225,97 triliun (Juni 2021). Modal itu tidak termasuk pinjaman subordinasi. Dan, jumlah modal itu naik dibandingkan akhir tahun 2020 lalu yang sebesar Rp1.212,87 triliun. Kenaikan modal ini lebih banyak disumbang dari perolehan laba tahun-tahun sebelumnya. Urutan kedua ya tentu dari modal disetor.
Sementara menurut data yang sama, posisi LAR pada Juni 2021 mencapai Rp1.274 triliun. Angka ini terdiri dari Rp792 triliun (kredit restrukturisasi karena Covid-19), Rp301 triliun (dalam perhatian khusus) dan Rp181 triliun (NPL). Jika dibandingkan akhir Desember 2020 yang LAR-nya Rp1.237 triliun, posisi LAR Juni 2021 masih lebih besar.
Akhir tahun 2020, meski kredit restrukturisasi akibat Covid-19 tinggi pada angka Rp826 triliun. namun kredit dalam perhatian khusus rendah sebesar Rp244 triliun dan NPL sebesar Rp173 triliun. Jumlahnya masih lebih rendah dari LAR Juni 2021. Ini artinya meski LAR akibat Covid-19 menurun, tapi sudah mulai jatuh ke NPL dan masuk kolektibitas 2 (dalam perhatian khusus).
Jatuhnya LAR ke NPL atau Kolektibilitas 2 itulah yang terus menjadi perhatian. Nah, dengan memakai asumsi 20% LAR yang akan jadi NPL kondisi modal bank mulai “tergerogoti”. Kondisi makin buruk apabila bank hanya mampu membuat pencadangan sekitar 120-150%. Lha, bank dengan pencadangan 200-250% saja relatif berat.
Untuk itu tidak ada salahnya otoritas mulai memikirkan kebijakan tentang dividen payout. Tidak semua bank boleh membagikan dividen. Ada prasyarat khusus, misalnya dikaitkan dengan kemampuan membuat cadangan dan posisi LAR. Ini semata-mata agar bank-bank tidak termakan modalnya.
Hanya berbekal “Celengan Semar” tentu belum memadai. Namun semoga kebijakan restrukturisasi kredit ini hanyalah kebijakan “penolong” sementara dari OJK. Pada suatu saat debitur dan ekonomi membaik kondisinya. Namun jika LAR berubah menjadi NPL – yang sebenarnya sudah terlihat pada data Juni 2021, perlu terus diwaspadai. Posisi LAR telah berubah menjadi NPL dan Kolektibitas 2.
Tidak pernah terjadi jumlah modal bank dengan LAR sudah adu salip. Dan, sejak posisi akhir Desember 2020 hingga Juni 2021, posisi LAR sudah lebih besar dari modal bank. Apa artinya? Waspadalah, karena jika ada badai NPL tentu akan memakan modal bank. Itulah perlu kebijakan dividen payout. Apalagi, khususnya bagi bank-bank yang dimiliki asing perlu diperketat pembagian dividennya. Mereka sudah menikmati laba yang besar.
Sudah saatnya pesta dividen perlu ditunda sampai badai Covid-19 benar-benar reda.