Oleh: Dr.Diding S. Anwar. FMII
Semboyan Ki Hadjar Dewantara “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” telah menjadi semboyan pendidikan Indonesia. Jika disatukan semboyan itu dapat diartikan Guru di depan memberi contoh atau sebagai panutan, di tengah membangun kemauan atau niat, dan di belakang memberi dorongan.
Hal diatas sangat baik dipedomani bukan hanya oleh Guru di bidang pendidikan saja, tetapi dalam segala sendi kehidupan, bisa Orang Tua di lingkungan keluarga/rumah tangga juga Pemimpin dilingkungan Pemerintahan, Kementerian/Lembaga atau Organisasi Bisnis maupun Organisasi sosial.
Dalam tulisan ini penulis memaknai Guru diperluas identik sebagai Orang Tua maupun Pemimpin, siapapun yang mendapat amanah, harus menjadi panutan atau memberi contoh membangun atau memberi semangat, kemauan atau niat dan dibelakang memberi semangat atau dorongan.
Begitu pentingnya Guru, Orang Tua dan Pemimpin dari zaman ke zaman, tentu harusnya tidak ada Guru, tidak ada Orang Tua juga tidak ada Pemimpin yang saling menyalahkan dengan Guru/Orang Tua/Pemimpin lintas generasi hingga sekarang dan masa yang akan datang.
Kita harus saling menghormati, Insha Allah rukun dan tentram kerta raharja.
Tanpa Guru/Orang Tua/Pemimpin sebelumnya dan sekarang kita tidak mempunyai arti banyak.
Memang karena dinamika perubahan, tentunya penting penyesuaian (adaftif dan antisipatif), penting hindari saling menyalahkan.
Pendidikan berkelanjutan berkontribusi pada kemajuan bangsa.
Pendidikan merupakan proses berkelanjutan dalam pembelajaran bagi anak didik untuk dapat mengerti, paham dan membuat manusia lebih kritis dalam berpikir.
Karakter manusia sebagai individu masyarakat harus diarahkan sesuai dengan tuntutan ideal (das sollen).
Karakter manusia secara individu ini akan memberikan sumbangan besar terhadap pembentukan karakter bangsa yang bermartabat dan menjadi faktor pendukung bagi proses percepatan pembangunan suatu bangsa.
Guru/Orang Tua/Pemimpin mempunyai peran dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional.
Guru/Orang Tua/Pemimpin lah yang akan menentukan apa yang hendak dituangkan dalam kertas kerja yang berkualitas atau tidaknya, sangat dominan menentukan, tergantung sejauh mana Guru/Orang Tua/Pemimpin bisa menempatkan dirinya sebagai pendidik yang memiliki kapasitas dan kompetensi profesional dalam mengarahkan individu-individu masyarakat menjadi sosok yang memiliki karakter dan mentalitas yang bisa diandalkan dalam proses pembangunan bangsa.
Pembangunan nasional dalam bidang pendidikan merupakan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, tekhnologi maupun seni dalam menuju masyarakat yang maju, adil dan makmur serta beradab berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Jadi sangat penting peran Guru/Orang Tua/Pemimpin, tidak tergantikan dengan robot sekalipun baik dalam pembangunan nasional bangsa Indonesia dalam melahirkan generasi yang berkualitas untuk masa depan yang lebih baik dan yang benar.
Alternatif Pedoman
Abin Syamsudin (2003) menggagas 5 peran yang harus dipenuhi para guru, pada pengertian pendidikan yang luas, meliputi, Konservator (Pemelihara), Inovator (Pembaharu), Transmitor (Penerus), Transformator (Penerjemah) dan Organisator (Penyelenggara).
Abin Syamsudin juga mengutip pemikiran Gage dan Berliner untuk menyatakan peran guru dalam pengertian pendidikan yang lebih sempit, peran guru pada proses pembejaran menjadi 4 hal, yaitu, Planner, Organizer, Evaluator dan Teacher Counsel.
Benang merah Guru dan AJB Bumiputera 1912.
Guru tetaplah Guru yang tidak dapat dibandingkan dengan profesi lainnya, karena telah melekat gelar sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.
Pengabdian dan jasa para guru diperingati bersamaan dengan HUT Persatuan Guru Republin Indonesia (PGRI) yang terbentuk pada 25 November 1945 atau 100 (seratus) hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Sebelum PGRI, perkumpulan ini bernama Persatoean Goeroe Goeroe Hindia Belanda (PGHB) yang didirikan pada tahun 1912.
Pada tahun 1932 PGHB diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI).
Pada Kongres pertama Guru Indonesia pada 24-25 November 1945 di Surakarta, Jawa Tengah dengan hasil kongres salah satunya mengesahkan terbentuk PGRI.
Sebagai bentuk penghormatan pada para guru, Pemerintah RI menetapkan hari lahir PGRI sebagai Hari Guru Nasional.
AJBB 1912 lahir sebagai bentuk keprihatinan “Tiga Serangkai Tokoh Guru” atas nasib para guru pribumi. Founding Fathers kelahiran Perusahaan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 adalah M. Ng. Dwidjosewojo, MKH Soebroto dan M Adimidjojo. AJBB 1912 lahir 4 tahun setelah Kebangkitan Nasional 1908.
Perusahaan ini adalah alat perjuangan bangsa yang begitu gagah berani di tengah tengah perjuangan bangsa dalam menghadapi penjajah.
Dwijosewojo yang berprofesi sebagai guru dan sekretaris PGHB, juga ikut mendirikan Boedi Oetomo dan menjabat sebagai Sekretaris Pengurus Besar Boedi Oetomo.
Beliau adalah tokoh guru yang disegani bangsa pribumi dan dihormati bangsa Hindia Belanda.
Didorong oleh keprihatian yang mendalam terhadap nasib para guru bumiputera, bersama Adimidjojo dan Soebroto, Dwidjosewojo menemukan fakta ternyata sistem proteksi asuransi sudah dijalankan dalam sistem gotong royong yang berlaku di masyarakat pribumi.
Gagasan itu diungkapkan dalam Kongres Boedi Oetomo yang digelar pada 1910.
Gagasan tersebut secara aklamasi diterima, namun tertunda atau belum bisa langsung terlaksana.
Tidak menyerah, Dwidjosewojo melontarkan lagi buah pikirannya pada Kongres PGHB pada 12 Februari 1912 di Magelang, kali ini gagasannya juga diterima secara aklamasi, tanpa penundaan.
Jadi Pendiri AJBB 1912 sejak awal senantiasa taat dan tertib dalam mengambil Keputusan strategis, saat itu melalui mekanisme Kongres.
Badan usaha segera dibentuk dengan nama Onderlinge Levenszekering Maatschappij PGHB (OLMIJ PGHB) yang menjadi cikal bakal AJBB 1912 yang merupakan peletakan batu pertama perasuransian di Bumi Nusantara.
Dengan modal awal nol sen AJBB 1912 memulai usahanya.
Perusahaan asuransi ini berbentuk Onderling atau Mutual (Usaha Bersama), perusahaan dapat didirikan tanpa harus menyediakan modal terlebih dahulu. Perusahaan ini hanya mengutamakan pembayaran premi sebagai modal kerjanya dan para pengurusnya tidak mendapatkan honorarium, mereka bekerja dengan sukarela.
Pada Oktober 1913 OLMIJ PGHB mendapatkan subsidi dari Pemerintah Hindia Belanda sebesar 300 gulden setiap bulannya selama 10 tahun.
Kini saat menjelang usianya yang ke 109 tahun, AJBB 1912 sedang sakit keras di ICU, semoga Dokter Spesialis menemukan resep obat yang mujarab dan melakukan tindakan yang tepat, tidak menyelesaikan masalah yang melahirkan masalah, sehingga dapat terpenuhinya harapan semua rakyat pempol yang menginginkan AJBB 1912 bisa sehat dan bangkit lagi serta eksis di Nusantara untuk berkontribusi membantu mensejahterakan rakyat NKRI kini hingga masa depan dan seterusnya.
Semoga juga kita semua menjadi bangsa yang selalu mengingat dan memelihara sejarah, agar generasi penerus bisa belajar dari sejarah dan memetik hikmahnya.
Hati-hati dan perlu saling mengingatkan agar jangan mudah melupakan apalagi menghilangkan sejarah.
Bangsa yang maju adalah bangsa yang memelihara sejarah dan menghormati pahlawan leluhurnya.
Selamat berjuang penerus para Guru/Orang Tua/Pemimpin demi mencetak SDM Indonesia yang unggul di masa depan. Fastabiqul Khairat Aamiin.
* Catatan kecil: Diolah dari berbagai sumber. Alumni Manajemen Pendidikan Pascasarjana UNJ.